Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Wanita Cantik Lahir Batin, Calon Istri Idaman

Wanita Cantik Lahir Batin, Kamu Harus Segera Nikahi Dia Model wanita seperti ini sangat langka. Baca selengkapnya: https://www.genpi.co/gaya-hidup/33478/wanita-cantik-lahir-batin-kamu-harus-segera-nikahi-dia

5 Mobil Mewah Termahal Yang Pernah Dijual di Indonesia

Punya khalayak otomotif yang kuat, lima mobil mewah termahal ini pernah dijual di Indonesia! https://carro.id/blog/5-mobil-mewah-termahal-yang-pernah-dijual-di-indonesia/

Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16

Bola.net - Asisten Shin Tae-yong, Nova Arianto mengapresiasi keberhasilan Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16 2022. https://www.bola.net/tim_nasional/timnas-indonesia-juara-piala-aff-u-16-2022-asisten-shin-tae-yong-jangan-layu-sebelum-berkemba-ca151c.html

Tesla Cybertruck Asli dalam Video Baru Dari Peterson

Diupload: 13 Apr 2023, Museum Otomotif Peterson memiliki prototipe Cybertruck pertama yang dipamerkan dalam pameran, selengakapnya di https://id.motor1.com/news/662022/tesla-cybertruck-asli-museum-peterson/

Kabar Baik untuk ARMY! BTS Kembali Dinobatkan sebagai Penyanyi K-Pop Terpopuler

Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman Soompi, BTS kembali menempati peringkat pertama sebagai penyanyi K-Pop terpopuler https://cirebon.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-042118224/kabar-baik-untuk-army-bts-kembali-dinobatkan-sebagai-penyanyi-k-pop-terpopuler-di-bulan-juni-2021

Pencarian

09 Maret 2014

Bagian 7 - Bahasa Tubuh dalam Pergaulan Sehari-Hari

.



Situasi: Jual Beli


HK Flee Market Royalty Free Stock Photos - 33246888
http://thumbs.dreamstime.com/thumbimg_3324/33246888.jpg

Penjual

  • Penjual yang akan mengambil untung sangat besar dari Anda biasanya tidak berani menatap mata Anda saat tawar-menawar, saling mencuri-curi pandang dengan temannya sesama pedagang dan ketika Anda sedang mempertimbangkan harga yang ditawarkannya, dia kemudian pergi menjauh dan pura-pura sibuk, lalu melirik Anda sambil berharap Anda menerima tawaran tersebut.
  •     
  • Penjual yang berbohong tentang keaslian suatu barang, biasanya tidak berani menatap mata Anda saat tawar-menawar dan berkesan tidak mau banyak bicara untuk menjelaskan spesifikasi barang tersebut dan tidak mau berlama-lama dalam tawar-menawar.

Pembeli

  • Pembeli yang memegang-megang banyak barang dia tidak benar-benar berniat membelinya satu pun. Atau entah dia bingung dengan pilihannya.
  •  
  • Pembeli yang memegang satu macam barang dan dengan serius menanyakannya kepada Anda (penjual) dia benar-benar berniat membelinya.
  •  
  • Pembeli yang kehilangan senyumannya setelah Anda memberitahukan harganya dia sedang mempertimbangkan untuk menawar harganya atau tidak jadi membelinya.
  •  
  • Pembeli yang pergi menjauh namun matanya masih melirik barang yang tidak jadi dibelinya dia benar-benar berminat terhadap barang itu.
 
.

Sumber Informasi


Share:

07 Maret 2014

Tes IQ (Mensa Test 2014) tanggal 29 Maret 2014 di Jakarta

.


http://www.mensa.org/sites/all/themes/mensa/images/mensa_logo.jpg 
 (copyright: http://www.mensa.org)
 
 
MENSA Indonesia bekerja sama dengan MENSA International akan menyelenggarakan test masuk untuk menjadi anggota Mensa, The High IQ Society.

 
Waktu: Sabtu, 29 Maret 2014

Test gelombang 1 : 9.00 - 9.30 wib
Test gelombang 2 : 9.30 - 10.00 wib

 
Tempat :

Mayapada Tower, 11th Floor
Jl. Jend. Sudirman Kav.28
Jakarta


 
 
Biaya Test: Rp 100.000
Ditransfer ke rekening BCA no. 467.137.913.1 a.n. Anne Kurniawati Adijuwono.
 
 
Setelah transfer agar dikonfirmasi 
via sms ke 08563095938 
atau via email: mensa_indonesia@yahoo.o.id 
atau register@mensa-id.org. 
 
Bukti transfer dibawa sebagai bukti untuk dapat mengikuti test.


Syarat Peserta:
Sudah berusia 14 tahun atau lebih.


 
Pendaftaran dan Informasi:
Via email: mensa_indonesia@yahoo.co.i
d / register@mensa-id.org
via sms: 08563095938

 
 
FB Event : Mensa Test 2014 March 29 in Jakarta


 
 
Apakah MENSA?

MENSA, the high IQ society, adalah perkumpulan orang-orang yang ber-IQ tinggi, menyelenggarakan forum-forum pembicaraan intelektual diantara para anggotanya. Anggota MENSA di seluruh dunia kini berjumlah 117.000 orang terdapat di lebih dari 100 negara di seluruh dunia.

Kegiatannya meliputi pertukaran ide-ide melalui kuliah, diskusi, jurnal, kelompok minat khusus, dan pertemuan-pertemuan lokal, nasional dan internasional; mengayomi opini dan sikap para anggotanya; dan membatu penelitian-penelitian, di dalam dan di luar MENSA untuk proyek-proyek yang berkaitan dengan intelegensia atau MENSA.

Bagaimana bergabung dengan MENSA?

Keanggotaan Mensa terbuka untuk semua orang yang mencapai nilai IQ 2% teratas dari populasi melalui test kecerdasan yang diakui dan didaftarakan dan disupervisi oleh MENSA International.

 
Sumber :
http://www.mensa.org/
http://www.mensa.web.id/


Share:

Aya Lancaster, pengarang novel ”Chronicles of The Fallen: Rebellion”

.




Novelis muda dan berprestasi, demikian kesan pertama bertemu dengan Aya Lancaster, 24, pengarang novel ”Chronicles of The Fallen: Rebellion.” Novel itu sudah tersebar di 28 negara, tapi malah terasing di negerinya sendiri.

Gadis berambut panjang ini bisa berkarya tulis dalam bentuk novel setebal 665 halaman berbahasa Inggris. Novel Aya lebih dihargai di mancanegara daripada di Tanah Air. Karyanya sempat ditolak beberapa penerbit lokal, tapi hikmahnya justru dilirik penerbit internasional. ”Saat itu sulit mencari penerbit yang mau menerbitkan naskah saya. Saya pernah menawarkan novel pertama saya ini ke beberapa penerbit besar di Indonesia. Saya sempat dipingpong ke sana kemari selama dua minggu di sebuah penerbitan besar.

Mereka bilang waktu itu, novel saya belum jadi tren di Indonesia,” kata Aya. Penolakan itu tidak mematahkan semangat Aya untuk menerbitkan novel tersebut. ”Saya disarankan oleh teman untuk menawarkan novel ini ke penerbit luar dan memang penerbit luar malah menerima dan mau menerbitkan novel saya,” kata mahasiswi Jurusan IT International di Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB) Bandung ini.

Meski kurang diminati penerbit Indonesia, novel terbitan perusahaan asal Inggris, Author Haouse, disambut hangat pembaca di banyak negara di dunia. Hingga akhirnya novel karya Aya ini mendapat perhatian cukup luas di kalangan pembaca dan peminat dunia perbukuan di Indonesia, menjadi diskusi panjang di beberapa jejaring sosial, juga portalportal di internet. ”Di Indonesia belum ada yang menjual. Sejauh ini yang ingin membeli biasanya viaeBay atau Amazon.

Saat saya mengikuti Festival Ubud Writers and Readers (UWRF), beberapa eksemplar dikirimkan ke Bali,” ujar Aya. Karya wanita asal Jakarta ini berisi tentang tema besar yaitu kekuasaan Tuhan yang tak bisa dipatahkan. Aya menjelaskan, novel tersebut berisi cerita fantasi layaknya kisah supranatural, thriller, dan suspense.

Sejak diluncurkan pada Oktober 2011, novel yang menggunakan bahasa Inggris- Amerika ini sudah banyak dibaca banyak orang di Inggris, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Serikat, termasuk Australia. Sementara di kawasan Asia hanya bisa didapatkan di Singapura, Korea, China, dan Jepang. Novel yang telah dibuat resensinya oleh Readers Digest ini akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun Aya masih mengalami kendala bahasa untuk menerjemahkannya.

”Agak sulit mencari beberapa padanan kata untuk beberapa kata slankAmerika. Memang ada bagian-bagian dimana saya memakai bahasa Inggris umum, tapi banyak bagian lain terutama dialog sarkasme yang akan meleset pengertiannya kalau diterjemahkan dan malah terasa aneh,” ungkap Aya.

Berhubung tema novelnya agak rumit, dialog-dialog ini yang akan menyegarkan pembaca setelah dihadapkan dengan perpaduan cerita yang kompleks antara konspirasi, kesetiaan, cinta dan keyakinan dengan sentuhan aksi dan semidetektif ini. Dia menerima banyak masukan dari orangorang terdekat untuk menolak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.

”Lagipula saya menulis sejak awal sudah dengan Bahasa Inggris, jadi agak mikir juga ketika diminta diterjemahkan,” ucap Aya. Kini, dia sedang menggarap lanjutan dari buku pertamanya ”Buku kedua ini berjudul Chronicles of The Fallen: Rebirth, ” katanya.



https://www.google.com/search = AYA+LANCASTER

http://www.goodreads.com/author/show/5348612.Aya_Lancaster

https://twitter.com/ayalancaster
Share:

Chronicles of the Fallen : Rebellion - DIPUJI di negeri orang, tapi tak dilirik di negeri sendiri

.


DIPUJI di negeri orang, tapi tak dilirik di negeri sendiri. Itulah perjalanan novel "Chronicles of the Fallen : Rebellion" karya Tasya Agustina Thalib (23) yang memiliki nama pena Aya Lancaster. Novel berbahasa Inggris dengan tebal 448 halaman itu dicetak di Amerika Serikat oleh perusahaan penerbitan yang berpusat di Inggris. Novel Rebellion ini telah beredar di sejumlah negara Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Serikat.


 
"Saya pernah menawarkan novel pertama saya ini ke beberapa penerbit besar di Indonesia. Saya sempat diping-pong ke sana kemari selama dua minggu di sebuah penerbitan besar. Mereka bilang, novel saya ini belum tren di Indonesia. Ide dan ceritanya belum biasa dan khawatir memunculkan kontroversi karena tokoh utamanya iblis perempuan dan malaikat. Padahal ini novel fiksi dan jalan ceritanya tidak seperti yang mereka bayangkan," katanya kepada wartawan, Sabtu (21/1/12) siang dalam acara Meet and Greet di aBhi Cuisine Jln. Belakang Pasar No. 110, Kota Bandung.

Mahasiswi Jurusan Teknologi Informasi di Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB) Bandung itu, nyaris patah arang karena tak ada satupun penerbit di Indonesia yang mau melirik novel perdananya. Apalagi, Aya membutuhkan hampir 10 tahun untuk menyusun novel fiksi bergenre fantasi dan supernatural itu. Namun, titik terang itu muncul tatkala Aya mengunjungi saudaranya di Batam. Di sana, Aya melihat adanya tawaran penerbitan untuk penulis pemula dari sebuah perusahaan penerbitan di Inggris.

"Saya cukup kirim e-mail (pos-el). Lalu atas dorongan dan dukungan teman-teman, saya coba kirim email penawaran termasuk tulisan mentah saya. waktu itu, belum saya bikin resensi bukunya. Ternyata e-mail saya langsung di-reply. Dan saya terus e-mail-e-mailan dengan orang dari penerbitan itu hingga akhirnya dicetak dan didistribusikan. Mereka sangat antusias dengan novel ini karena novel dengan genre inilah yang mulai tumbuh di Eropa dan Amerika," ucap bungsu dari tiga bersaudara itu.

Sejak diluncurkan pada Oktober 2011 silam, sudah cukup banyak orang yang membeli novel Rebellion tersebut. Hampir seluruh pembelinya berasal dari luar Indonesia seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Di beberapa negara malah sudah sold out. Kebanyakan pembelian via online yaitu www.amazon.com, www.ebay.com, www.authorhouse.com, dan toko buku tertua di Inggris "Barnes and Noble". Novel ini juga telah diresensikan Reader's Digest.

Secara singkat, novel yang ditulis sejak Aya duduk di bangku SMP itu, mengangkat sisi lain pertarungan antara malaikat dan iblis, serta menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan Yang Maha Kuasa. Di dalamnya juga ada intrik-intrik asmara, persahabatan, dan penghianatan. Rencananya, novel itu akan diluncurkan juga di dua daerah di Indonesia yaitu Jakarta dan Bali.

"Untuk sementara memang tetap pakai bahasa American-English. Memang ada orang Prancis yang ingin menerbitkan novel ini dalam bahasa Indonesia dan meminta saya untuk menerjemahkannya. Tapi sampai saat ini, saya belum sempat. Soalnya agak sulit mencari beberapa padanan kata untuk beberapa kata slank Amerika. Dan kemungkinan akan menjadi sangat tebal jika dicetak dalam versi Bahasa Indonesia. Namun, suatu saat pasti ada versi Bahasa Indonesia-nya. Doakan saja yah," ucap cewek berambut panjang itu.


Google Search: Chronicles of The Fallen: Rebellion
http://www.amazon.com/Chronicles-Fallen-Rebellion-Aya-Lancaster/dp/1456779494

Share:

24 Februari 2014

Akhirnya Cinta

.


http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/21/fiksi-cinta-akhirnya-cinta-634813.html





  
sumber gambar: http://images6.fanpop.com/image/photos/33000000/Love-Wallpapers-love-33002163-1920-1200.jpg



“Jangan terlalu baik padaku, Ndra.”

Kepala lelaki itu sontak menoleh padanya. Menghentikan kesibukannya. Menatapnya dengan sorot mata tajam. Sorot mata yang menggetarkan hati Tania. Membuatnya menundukkan wajah. Tak sanggup membalas tatap Andra.

“Apa yang kau takutkan?”

Ada nada kesal dalam suara Andra. Nada kesal yang jarang Tania dengar keluar dari mulut lelaki yang selama ini selalu bersikap baik padanya.

Sepercik rasa bersalah hadir dalam hati Tania. Bukan maksud Tania membuat Andra kesal. Hanya saja kebaikan lelaki itu mulai menakutkan bagi Tania. Andai Andra tahu apa yang Tania rasakan. Andai Andra tahu tentang ketakutannya. Tentang rasa nyaman dan ketergantungan yang mulai dinikmatinya. Tentang kedatangan Andra yang mulai dia nantikan setiap harinya. Tentang perasaan lain yang mulai hadir di hatinya. Yang mulai mengkhawatirkannya. Memaksanya untuk menghentikan semuanya. Sebelum dia kembali terluka!

Tania menghela nafas panjang. Meraih gelas cappucino di atas meja. Meneguknya pelan. Mengaburkan kesedihan.

Dia tahu siapa dan bagaimana dirinya sebagai perempuan. Tania sadar bahwa dia bukan lagi perempuan sempurna. Bukan lagi perempuan dambaan para pria. Tania sadar dia hanyalah perempuan bodoh yang tak lagi berharga. Perempuan bodoh yang rela begitu saja menyerahkan mahkotanya yang berharga pada lelaki brengsek yang tak bertanggung jawab. Yang meninggalkannya tanpa kata sehari setelah Tania mengatakan tentang kehamilannya!

Perempuan bodoh yang tak pantas mengharapkan apapun dari sosok lelaki sebaik Andra. Yang bahkan tak pantas menerima kebaikan Andra.

“Apa kehadiranku mengganggumu, Tania?”

“Tidak! Tentu saja tidak!” Sambar Tania cepat.

Bodoh! Kenapa dia justru membuat Andra berpikir yang tidak-tidak? Tentu saja Andra tak pernah mengganggunya. Dan tentu saja Tania tak berhak membuat Andra merasa telah mengganggu hidupnya. Justru Tania harus berterima kasih pada Andra. Harus mensyukuri kehadiran Andra. Harus mampu membalas budi baik Andra. Dan bukan justru membuat Andra merasa serba salah.

Bukankah selama ini Andralah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan padanya. Yang menyelamatkan hidupnya. Yang menyelamatkan jiwa Tania sebulan lalu saat menemukannya berdarah-darah di toilet lantai dua kantor mereka. Yang memapahnya keluar gedung perkantoran. Membantunya menutupi apa yang tengah terjadi dari mata rekan kerja mereka. Yang mengantarkan ke rumah sakit terdekat. Yang menemaninya melalui saat-saat menegangkan menjalani kuret untuk menyelamatkan rahimnya. Yang menggenggam tangannya erat selama dia tak sadar.

Bahkan Andra rela berpura-pura mengaku sebagai suaminya untuk menyelamatkan nama baik Tania. Bahkan Andra tak pernah menyalahkan Tania atas tindakan konyol yang dilakukannya di toilet kantor mereka. Andra juga tak pernah menganggapnya perempuan rendah. Perempuan murahan yang rela menyerahkan mahkotanya pada pacar brengseknya. Pada Putra, lelaki brengsek tak bertanggung jawab yang meinggalkannya begitu saja setelah tahu tentang kehamilannya!

“Jika kau memang tak terganggu, kenapa kau memintaku menjauh?”

“Aku…”

‘Aku tak ingin jatuh cinta padamu, Andra. Karena aku bukan perempuan baik yang pantas bersanding denganmu.’

Tania mengatupkan mulutnya rapat. Khawatir isi hatinya meloncat keluar.

“Aku.. Aku tak ingin mengikatmu Andra. Kau punya kesibukan sendiri. Kau memiliki duniamu sendiri. Dan selama kau mengenalku, kau telah banyak meninggalkan kebiasaanmu. Kau banyak berkorban untukku. Aku hanya.. Kau.. Ahhh.. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Andra.”

“Benarkah itu alasannya? Bukan karena kau tak menginginkan kehadiranku?”

‘Itu juga!’

Tapi tentu saja tak Tania katakan. Dia tak mungkin mengatakan pada Andra bahwa dia memang tak menginginkan kehadiran lelaki itu lebih lama di dekatnya. Bahwa Andra harus secepatnya menjauh dari hidup Tania. Sebelum Tania jatuh cinta. Sebelum Tania tak mampu lagi membendung rasanya.

“Jika hanya itu alasannya, kau tak perlu khawatir Tania. Aku baik-baik saja. Tak ada yang kukorbankan. Justru aku mendapatkan lebih dari apa yang kuharapkan. Aku bahagia ada di dekatmu.”

‘Oh tidak!’

Tatapan Andra begitu lembut. Dengan binar-binar yang semakin menggetarkan dada Tania.

“Aku mencintaimu, Tania. Ijinkan aku membuatmu bahagia.”

Tania tergagap. Tak mampu berkata. Menatap Andra dengan sorot tak percaya. Jeda tercipta untuk beberapa saat di antara mereka. Andra masih dengan sorot lembut dan binar di matanya. Dan Tania masih dengan rasa tak percaya yang memenuhi dadanya.

“Tapi aku…”

“Kau perempuan luar biasa yang pernah kutemui, Tania. Please, jangan menolakku. Setidaknya biarkan aku membuatmu bahagia.”

Ingin rasanya mengatakan banyak hal pada Andra. Bahwa dia bukan perempuan sempurna. Bahwa Andra berhak mendapatkan perempuan yang lebih segalanya dari Tania. Tapi sorot mata lelaki itu, kebaikan Andra selama ini padanya dan jantungnya yang bertalu-talu tak mau diam. Membuat Tania hanya mampu menundukkan wajah. Terdiam dengan benak yang tak mau diam. Terus terdiam saat tangan lelaki itu meraih telapaknya. Menggenggamnya penuh kehangatan. Mengalirkan rasa percaya akan adanya cinta antara mereka.

***

Goresan Cerita Bungailalang





Share:

Momen

.

http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/20/momen-633398.html







sumber gambar: http://static3.wikia.nocookie.net/__cb20130430222043/creepypasta/images/9/92/Love2.jpg


 ========================


The Moment, Kenny G menggelitik lembut telingaku. Kuraih ponsel dan kumatikan alarm pertama yang kuset setiap hari.  Pelan kusingkirkan lengan Karso dari atas perutku. Rambut ikal panjangku, kutarik ke belakang dan kuikat dengan karet gelang bekas pembungkus makan siang yang melingkari pergelangan tanganku. Aku turun dari kasur dengan melangkahi Karso yang masih terlelap.

Kubuka jendela kamarku untuk menerima hadiah yang semesta berikan kepadaku setiap hari – kesejukan embun pagi. Karso sering menanyakan alarm pagiku yang mendayu-dayu dan terlalu awal di setiap paginya – jam 3 pagi.

“Jam segitu enak-enaknya kelonan tau!” dan “Alarm itu yo musik yang nge-rock, metal! Ini kok si kribo melankolis!”

Karso, pria yang terkadang tidak peka dan aku mencintainya. Keseharianku bergumul dengan debu, panas matahari, teriakan, sampah, dan anak-anak kolong. Gerah dan berkeringat. Kapan lagi aku merasakan sejuknya dunia kalau bukan pagi seperti ini. Aku tidak mau melewatkannya. Ini hakku. Aku menarik nafas dalam-dalam, membiarkan udara sejuk mengisi paru-paruku. Dan tentang alarm itu. Tidak semua orang mesti ditendang dulu baru bekerja. Sebuah tepukan atau sentuhan halus juga mampu.

-

Karso yang baru saja masuk kamar mandi sudah keluar lagi. Tangannya cepat meraih sebatang filter dari meja kecil di kamar. Membakar ujungnya. Menghisap dalam-dalam.

“Buku yang baru kubeli mana beb?”

Aku tidak menjawab. Aku sedang menyiapkan nasi goreng untuk sarapan di dapur. Karso menuju rak buku gantung di kamar, matanya menelusuri setiap punggung buku. Sepertinya buku yang dicari tidak ada, tangannya meninju udara.

“Buruan! Kebelet boker nih!”

“Buku apaan?”

“Buku Sketsa pensil, baru gue beli…”

Aku menuju ruang depan tempat motor diparkir. Mengambil kantongan hitam yang menggantung di stang motor. Dan kulempar ke arahnya.

“Nih!”

Dengan sigap Karso menangkap buku itu. Sambil mengedipkan matanya dia berlari ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, suaranya yang serak, membahana di kamar mandi.

“Kopi hitam, kental, gak pake gula!”

-

Matahari meninggi, anak-anak bersemangat melatih tulisan mereka. Aku baru saja membagikan mereka buku gambar baru dan selusin pensil warna. Kehidupan mereka keras, aku tidak mungkin bisa memahami mereka dengan memberikan mereka pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka merasa asing dan tertekan. Jadi, aku memutuskan memahami karakter mereka melalui coretan jemari kurus dan dekil mereka.

Aku menatap wajah mereka satu persatu. Aku sedih. Masa depan seperti apa yang bisa mereka wujudkan dengan masa kecil sesulit ini.

“Ada yang melihat Cuki? Kenapa dia nggak datang hari ini?”

Beberapa anak menatapku, menggeleng dan melanjutkan tulisannya.

Cuki. Anak itu paling rajin. Jam delapan pagi di sudah duduk di salah satu bongkahan batu itu. Duduk melipat tangan di dada dan menatap kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Cuki satu di antara anak-anakku yang mempertanyakan kehidupan mereka, “kenapa sih kami hidup di jalanan?”.

Jam makan siang sudah dekat Cuki belum juga datang. Biasanya dia dengan sigap membantuku membagikan nasi bungkus kepada anak-anak yang lain. Kata Cuki, “Begini, aku nggak hanya nerima doang. Aku memberi…”

Setelah makan siang aku melepas anak-anak. Aku  nggak bisa dengan seenaknya saja masuk ke dalam kehidupan mereka dan menjejalkan hal-hal baru ke dalam otak mereka. Mereka punya jalan hidup yang istimewa. Aku ingin menyentuhnya dengan halus dan tenang. Ada waktu untuk belajar dan ada waktu untuk mencari uang.

Kulirik pergelangan tanganku, sudah jam tiga sore. Matahari sudah melunak. Aku memutuskan untuk berjalan. Lumayan jauh untuk sampai ke kontrakan. Tapi aku jadi punya waktu yang banyak untuk merenung.

Ini tahun kelima sejak aku melarikan diri dari rumah. Lima tahun tidak bertegur sapa dengan semua keluargaku. Apa kabar mereka di sana.  Entahlah, kenapa aku memikirkan mereka belakangan ini. Mungkin aku sudah capek dengan rasa yang berkecamuk di pikiranku.

-

Aku bisa merasakan keringat mengalir di punggungku dan meluncur dari belahan dadaku padahal aku baru berjalan satu kilometer. Aku berhenti pada sebuah warung, mengambil sebotol air  mineral dan membayarnya.

Belum ada seratus langkah aku menemukan tubuh yang tergelung di samping tong sampah. Aku berhenti, menatap lekat. Memastikan kalau bercak merah di lengan bajunya bukan darah. Aku mendekat.

Ya Tuhan!

Darah! Lukanya masih baru. Aku panik. Aku melihat sekelilingku entah untuk apa. Aku tidak pernah menghadapi yang berdarah-darah seperti ini.  Aku mendorong tubuh itu pelan tak ingin menambah sakit padanya.

“Hey,”

Tubuh itu bergerak. Wajahnya yang disembunyikan di antara kedua kakinya yang ditekuk  diperlihatkan kepadaku. Mataku memanas dan jantungku berdetak sangat kencang. Wajah sendu dengan tatapan kosong tanpa air mata, ditambah luka sayat memanjang di pipi gadis kecil itu.

Ya Tuhan!

Aku berteriak dan melambaikan ke arah tukang ojek di persimpangan. Tubuh gadis itu kaku di gendonganku saat hendak menaikkan ke boncengan. Luka di pipinya cukup dalam. Berbahaya bila dibiarkan begitu saja. Bisa infeksi.

“Klinik terdekat bang!”

-

Aku berjongkok di ruang tunggu. Aku marah. Siapa yang tega melakukan itu kepada anak kecil. Jahat. Keterlaluan. Kurang ajar. Bangsat!

Gadis kecil itu berjalan menghampiriku. Begitu dingin. Aku tidak pernah bertemu anak kecil sedingin ini. Bekas jahitan di pipinya membuat hatiku meringis pedih. Aku memintanya duduk saat aku membayar tagihan di kasir.

Sebelum mengantarnya pulang, aku mengajaknya makan. Gadis kecil itu tidak banyak bicara. Dia melahap ayam goreng yang kupesankan untuknya. Sepiring nasi dan segelas es teh manis dilahap juga sampai tandas.

Aku tidak memesan makanan. Aku masih marah. Aku tidak berselera kalau sedang marah.

“Siapa yang melakukan itu?” tanyaku setelah dia menyedot habis es teh manis.

Dia menatapku, dia ragu untuk menjawab. Aku tersenyum.

“Aku pengen tau aja kok.”

Dia menunduk menggumam lirih.

“Apa? Gak kedengeran.”

Dia menatapku kali ini, lebih menantang, “Ibuku.”

Belum sempat aku menanggapi dia menambahkan.

“Enggak apa-apa kok, enggak begitu sakit. Ibu marah banget tadi sama Ayah. Samaku juga. Karena aku nakal, aku enggak dapat duit banyak. Aku bermain-main. Ibu marah, jadi Ibu pukul aku. Supaya aku enggak nakal lagi. Eggak sakit kok. Beneran.”

Aku tak bisa berkata-kata. Ini luar biasa.

“Kamu masih mau pulang sama Ibu?”

“Iya, pulang sama siapa lagi.”

“Kamu nggak benci sama Ibu?”

“Enggak. Aku sudah bilang, Ibu cuma marah karna aku nakal.”

Aku mengantarkan gadis kecil itu ke tempat aku menemukannya dan dia akan pulang sendiri – seperti permintaannya.

“Ibu akan memukulku kalau aku pulang dengan orang lain.”

-

Aku membuka kasar pintu kontrakan, melewati Karso yang sedang sibuk dengan laptopnya. Aku tak ingin dia melihat airmata yang membanjiri wajahku.  Aku mengunci kamar dan menangis sepuasnya.

“Beb? Ada apa?”

Kenangan berusia lima tahun yang kupendam selama ini menari-nari di mataku…

Saat itu aku baru saja lulus SMA, Timothy pacarku berniat serius dan ingin melamarku. Aku memintanya menunggu dua tahun lagi. Kupikir orangtuaku pasti tidak setuju. Timothy bersikeras mengingat usianya sudah 35. Akupun mengiyakan. Aku mencintai Tim lebih dari apapun. Tak ada yang lebih bahagia selain hidup bersama pria yang aku cintai.

Malam minggu, Tim datang dengan niatnya yang tulus. Mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangku. Meyakinkan orangtuaku tentang cinta kami. Kupikir orangtuaku akan bijak menanggapi putri kecilnya dilamar pria dewasa dan mapan. Ternyata tidak.

Ibu memeluk dan berusaha membawaku ke kamar. Ayah, mengusir Tim di depan mataku. Ayah mengancam 
akan melapor ke polisi kalau Tim berusaha mendekati aku.

Aku meronta dari pelukan Ibu. Kukejar Tim yang tertunduk lesu keluar dari rumah. Aku menangis, memohon supaya Tim membawaku pergi. Tim menggenggam kedua tanganku. Matanya berkaca-kaca. Tapi tak satu katapun keluar dari mulutnya.

“Bawalah aku Tim! Kumohon!”

Ayah berang kemudian menyeret dan melemparkanku ke kamar dan menguncinya dari luar. Aku berteriak begitu mendengar mesin motor Tim menjauh dari rumah. Aku hilang kendali. Aku tak sadar apa yang kulakukan dengan tubuhku.

Begitu aku bangun. Aku sudah terbaring lemah di rumah sakit. Kepalaku diperban, sakit sekali saat aku mencoba bangun. Kedua lenganku luka bekas dicakar, sepertinya dicakar hingga kuku tertancap ke kulitku.

Selama masa perawatan aku mogok bicara. Hingga aku kembali ke kamarku. Aku mendapati semua benda yang berbau Tim sudah lenyap dari kamarku. Masih dengan baju tidurku, aku meminta penjelasan kepada Ayah yang sedang menikmati kopi sore.

“Handphone Giselle mana Yah?” suaraku bergetar menahan amarah. Ayah diam saja.

“Beruang coklat Giselle? Gelang? Foto Tim, diary?!!” nadaku semakin meninggi dan membuat Ayah terkejut. Ayah bangkit, melempar koran ke lantai dan menjawab dengan dingin dan tegas.

“Sudah Ayah buang semua! Semua tentang laki-laki itu sudah Ayah buang!”

Spontan aku berlari menuju bak sampah di sudut komplek perumahan. Ayah mengejarku, Ibu menjerit-jerit histeris. Dengan kondisi tubuhku yang masih lemah, Ayah dengan mudah mendapatkanku. Ayah mencoba menyeretku. Aku menepis tangannya kasar. Aku menyelesaikan semuanya ketika tiba di rumah.

“Giselle bukan anak kecil!”

“Kamu mau menikah di umur 19 tahun? Yang benar saja!”

“Iya! Dan itu sudah Giselle pikirkan! Giselle sadar seratus persen sama apa yang keluar dari mulut Giselle!”

“Anakmu sudah gila Bu…” Ayah menggelengkan kepalanya sambil menatap Ibu yang berurai airmata.

“Ayah yang gila! Nggak bisa ngertiin anak perempuannya!” teriakku marah.

Plak!!!

Saat tamparan itu mendarat di pipiku. Untuk kedua kalinya aku tahu apa yang aku mau setelah yang pertama keinginanku untuk menikah diusia muda.

Aku membawa pakaianku seadanya dan aku meninggalkan rumah itu untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku mengikuti kemana hatiku akan membawaku.  Berhari-hari di bus, berhari-hari di kapal, dan berjalan jauh menyusuri jalanan.

Dan kemudian aku bertemu Karso, mengenal, menyayangi dan mencintainya.

-

Aku terbangun saat The Moment menelusup lembut di telingaku. Kukeluarkan ponsel itu dari sakuku. Kubuka jendela kamarku, sejuk empun pagi mencumbu wajahku. Aku berbisik lirih untuk diriku dan semesta.

“Aku ingin pulang.”

-

Karso bergelung di sofa ruang depan. Sebelum tanganku menyentuh puncak hidungnya dia terbangun. Nafasnya berat dan tersenyum sambil meraih tanganku.

“Sini, cerita sama Mas..”

Aku menyusup ke dalam pelukannya dan mulai bercerita tentang gadis kecil dengan luka sayat di wajah, yang membuat aku mengingat masa laluku, Ibu, Ayah, dan Giselle yang keras kepala. Karso mendengar sambil tangannya mengusap ubun-ubunku.

“Kita pulang ya sayang…?” Karso tahu apa yang aku mau. Aku tersenyum dan mengangguk.

-

Jemariku bergetar hebat saat menekan nomor telepon rumah. Wajahku panas dan mataku berair. Jantungku berdetak kencang saat telepon tersambung. Tiga nada sambung dan kemudian…

“Halo,” suara itu, aku sangat merindukannya. Air mataku mengalir. Karso yang duduk di sampingku menepuk halus pundakku.

“Bu, Giselle boleh pulang?” sekarang aku terisak-isak dan susah bernafas. Di seberang sana, Ibu berteriak memanggil Ayah dan menyebut namaku. Ibu menangis kencang. Di sela-sela tangisnya aku mendengar kerinduan untuk anak perempuan satu-satunya.

“Pulanglah Nak,”

***

Sumber gambar : http://www.djibnet.com/photo/2865201257-the-moment.jpg




Share:

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog