Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Wanita Cantik Lahir Batin, Calon Istri Idaman

Wanita Cantik Lahir Batin, Kamu Harus Segera Nikahi Dia Model wanita seperti ini sangat langka. Baca selengkapnya: https://www.genpi.co/gaya-hidup/33478/wanita-cantik-lahir-batin-kamu-harus-segera-nikahi-dia

5 Mobil Mewah Termahal Yang Pernah Dijual di Indonesia

Punya khalayak otomotif yang kuat, lima mobil mewah termahal ini pernah dijual di Indonesia! https://carro.id/blog/5-mobil-mewah-termahal-yang-pernah-dijual-di-indonesia/

Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16

Bola.net - Asisten Shin Tae-yong, Nova Arianto mengapresiasi keberhasilan Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16 2022. https://www.bola.net/tim_nasional/timnas-indonesia-juara-piala-aff-u-16-2022-asisten-shin-tae-yong-jangan-layu-sebelum-berkemba-ca151c.html

Tesla Cybertruck Asli dalam Video Baru Dari Peterson

Diupload: 13 Apr 2023, Museum Otomotif Peterson memiliki prototipe Cybertruck pertama yang dipamerkan dalam pameran, selengakapnya di https://id.motor1.com/news/662022/tesla-cybertruck-asli-museum-peterson/

Kabar Baik untuk ARMY! BTS Kembali Dinobatkan sebagai Penyanyi K-Pop Terpopuler

Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman Soompi, BTS kembali menempati peringkat pertama sebagai penyanyi K-Pop terpopuler https://cirebon.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-042118224/kabar-baik-untuk-army-bts-kembali-dinobatkan-sebagai-penyanyi-k-pop-terpopuler-di-bulan-juni-2021

Pencarian

13 Desember 2013

Peribahasa Indonesia T -- Z (Pengertian dan Contohnya)


.




Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme.

Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama".

"Tak ada bunga mawar yang tiada berduri."
"Tabuhan meminang anak laba-laba."
"Tahan jerat sorong kepala."
"Tahu asam garamnya."
"Tahu di angin turun naik."
"Tahu di angin berkisar."
"Tahu makan, tahu simpan."
"Tajam pisau karena diasah."
"Tak ada api, masakan ada asap."
"Tak ada gading yang tak retak."
"Tak ada guruh bagi orang pekak, tak ada kilat bagi orang buta."
"Tak ada rotan, akar pun jadi."
"Tak ada tolak angsurnya."
"Tak ada umpat yang membunuh, tak ada puji yang mengenjang."
"Tak air hujan ditampung."
"Tak air telang dipancung, tak emas bungkal diasah."
"Tak berorang diair."
"Tak bisa menari dikatakan lantai yang berjungkit."
"Tak dapat tanduk, telinga dipulas."
"Tak emas bungkal diasah."
"Tak kayu jenjang dikeping."
"Tak kenal maka tak sayang."
"Tak lalu dandang di air, di gurun ditanjakkan."
"Tak lekang karena waktu."
"Tak pandai menari dikatakan lantai yang terjungkat."
"Tak tentu hilir mudiknya."
"Takkan dua kali orang tua kehilangan tongkat."
"Takkan harimau makan anaknya."
"Takkan lari gunung dikejar."
"Takut akan hantu, lari ke pandam."
"Takut titik, lalu tumpah."
"Takutkan tuma, kain dibadan dibuang."
"Tali berlembar empat, bagai tungku sejerangan."
"Tali jangan putus kaitan jangan sekah."
"Tali yang tiga lembar itu tak suang-suang putus."
"Tambah air tambah sagu."
"Tampan sudah, langgam terbawa."
"Tampuk bertangkai."
"Tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah."
"Tangan mencencang bahu memikul."
"Tangguk lerek dengan bingkainya."
"Tangguk rapat, keruntung bobos."
"Telah berasap hidungnya."
"Telah berurat berakar."
"Telah dapat gading bertuah, tanduk kerbau mati terbuang."
"Telah dijual maka dibeli."
"Telah jadi air."
"Telunjuk lurus kelingking berkait."
"Tanaman padi yang belum siap dipanen, mereka menundukkan kepala mereka."
"Terajak pada orang yang enggan."
"Terajar pada banteng pincang."
"Terapung tak hanyut, terendam tak basah."
"Teras terunjam, gubal melayang."
"Terbang bertumpu, hinggap mencengkam."
"Terbulang ayam betina."
"Tercabut lidah mati."
"Tercacak seperti lembing tergadai."
"Tercengang puar bergerak andilau."
"Tercekau pada ikan bersengat."
"Tergolek pada tempat yang datar."
"Terkatung macam biduk patah kemudi."
"Terpegang di abu arang."
"Terpegang di abu dingin."
"Terpeluk biawak sial."
"Terpijak benang arang, hitam telapak."
"Tersabung di ayam betina."
"Tersendeng-sendeng bagai sepat dibawah mengkuang."
"Tertampi beras bubuk."
"Tertangkup sama makan tanah, terlentang sama minum air."
"Tertumbuk biduk dikelokkan, tertumbuk kata dipikiri."
"Tertumpang biduk tiris."
"Tiada beban dicari beban, pergi ke pulau batu digalas."
"Tiada berorang di air."
"Tiada buruk yang tiada elok."
"Tiada elok yang tak buruk."
"Tiada kuning oleh kunyit, tiada hitam oleh arang."
"Tiada membesarkan air."
"Tiba di dada dibusungkan, tiba di perut dikempiskan."
"Tidak ada Penderitaan, Tidak akan Mendapatkan."
"Tidak berhati berjantung."
"Tidak biduk karam sebelah."
"Tidak dirauk menjeriau."
"Tidak dua kali orang tua kehilangan tongkat."
"Tidak ingat badan celaka, ingat amat badan binasa."
"Tidak tahu antah terkunyah."
"Tidak terindang dedak basah."
"Tidur bertilam pasir."
"Tidur berulam air mata."
"Tiga di atas kepala setiap orang ada dewa."
"Tinggi kayu ara dilangkahi, rendah bilang-bilang disuruki."
"Tolak tangga, berayun kaki."
"Tong kosong nyaring bunyinya."
"Tongkat membawa rebah."
"Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi."
"Tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak."
"Tuah anjing, celaka kuda."
"Tuah tidak dapat direjan-rejan."
"Tuak terbeli, tunjang hilang."
"Tumbuk tanak terserah pada badan seorang."
"Tumpul ke bawah, lancip ke atas."
"Tunggang hilang berani mati."
"Tunggang hilang tak hilang, tunggang mati tak mati."
"Tunjuk satu jari ke orang lain, tunjuk tiga jari ke diri sendiri."





"Ubun masih bergerak sudah angkuh."
"Udang dalam tangguk."
"Udang dibalik batu."
"Udang hendak mengatai ikan."
"Udang tak tahu dibungkuknya."
"Ujung jari sambungan lidah."
"Ular berkepala dua."
"Ular bukan, ikanpun bukan."
"Umpama anjing makan muntahnya."
"Umur baru setahun jagung, darah baru setampuk pinang."
"Untung ada, tuah tidak."
"Untung sabut terapung, untung batu tenggelam."
"Untung sepanjang jalan, malang sekejap mata."
"Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak."
"Upah bidan pun tak terbayar."
"Upah terterima, kerbau pincang."
"Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati."
"Utang sebelit pinggang."





"Walau kecil tampak, kalau besar tak tampak."
"Waktu adalah ilmu."





"Yang berkurap pembawa buluh, yang buta pengembus lesung."
"Yang dijolok tidak dapat, penjolok tinggal diatas."
"Yang dikandung berceceran, yang dicari tiada dapat."
"Yang dipandang rupa, yang dimakan rasa."
"Yang hampa biar terbang, yang bernas biar tinggal."
"Yang menabur angin, akan menuai badai."
"Yang menggali lubang, akan terperosok lubang sendiri."
"Yang secupak takkan jadi segantang."
"Yang terbujur lalu, yang terlintang patah."




.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Peribahasa Indonesia Q -- S (Pengertian dan Contohnya)


.




Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme.

Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama".

"Qur'an adalah dasar hidup orang Minang."





"Rawe-rawe rantas malang-malang putung."
"Racun diminum haram tak mabuk."
"Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah."
"Rajin pangkal pandai."
"Rasa air ke air, rasa minyak ke minyak."
"Rebung tiada jauh dari rumpunnya."
"Rekah tidak, rekat pukah."
"Rendah gunung, tinggi harapan."
"Rezeki musang tak akan didapat elang."
"Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul."
"Rumah besar perabung perak."
"Rumah besar perabung upih."
"Rumah sudah, tukul pahat berbunyi."
"Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri."
"Rupa boleh diubah, tabiat dibawa mati."
"Rupa harimau, hati tikus."
"Rupa seperti pulut, bila dimasak berderai."
"Rusak anak oleh menantu."
"Rusak badan karena penyakit, rusak bangsa karena laku."





"Sabung selepas hari petang."
"Sakit menimpa, sesal terlambat."
"Salah bunuh memberi bangun, salah cencang memberi pampas."
"Salah langkah surut kembali."
"Salah makan memuntahkan, salah tarik mengembalikan."
"Sambil berdendang biduk hilir."
"Sambil berdiang nasi masak."
"Sambil berlayar sambil menampan."
"Sambil menyelam minum air."
"Sambil menyuruk, galas lalu."
"Sampan ada pengayuh tidak."
"Sarak serasa hilang, bercerai serasa mati."
"Satu tangan menunjuk ke orang lain, tiga tangan menunjuk ke diri sendiri."
"Satu orang makan nangka, semua kena getahnya."
"Sawah berpematang, ladang berbintalak."
"Sayang akan garam sececah, kerbau seekor dibusukkan."
"Sayangkan anak tangan-tangani, sayangkan istri tinggal-tinggalkan."
"Sayangkan kain, buangkan baju."
"Sayang-sayang buah kepayang, dimakan mabuk dibuang sayang."
"Seayun bagai berbuai."
"Sebab buah dikenal pohonnya."
"Sebagai abu di atas tanggul."
"Sebagai anjing terpanggang ekor."
"Sebagai gagak pulang ke benua."
"Sebagai melihat asam."
"Sebelum ajal berpantang mati."
"Sebesar-besar bumi ditampar tak kena."
"Sebingkah tanah terbalik, sebatang pohon rebah."
"Seciap bagai ayam, sedencing bagai besi."
"Sedepa jalan kemuka, setelempap jalan kebelakang."
"Sedia payung sebelum hujan."
"Sedikit bubur banyak sendoknya."
"Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit."
"Sedikit hujan banyak yang basah."
"Seekor kerbau berkubang, semua kena lulutnya."
"Segan bergalah, hanyut serantau."
"Seguru, seilmu, jangan mengganggu."
"Sehampir-hampir tepi kain, hampir juga tepi bebat."
"Sehari selembar benang, lama-lama jadi sehelai kain."
"Seidas bagai benang, sebentuk bagai cincin."
"Seiring bertukar jalan."
"Sejelek-jelek pemimpin pasti punya anak buah, sebaik-baik pemimpin pasti punya musuh."
"Sejengkal jadi sehasta."
"Sekali air besar, sekali tepian berubah."
"Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya."
"Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang."
"Sekali melempar batu, dua burung yang kena."
"Sekali membuka pura, dua tiga utang terbayar."
"Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui."
"Sekali tepuk dua lalat."
"Sekerat ular, sekerat belut."
"Selama air hilir, selama gagak hitam."
"Semut-semut selalu bekerja sama dalam segala kegiatan."
"Sendok berdegar-degar, nasi habis budi dapat."
"Sendok besar tak mengenyang."
"Sendok dan periuk lagi berantuk."
"Senjata makan tuan."
"Seorang makan cempedak, semua kena getahnya."
"Sepandai-pandai membungkus yang busuk berbau juga."
"Sepandai-pandai tupai meloncat, jatuh juga."
"Sepanjang-panjang tali tidak sepanjang mulut orang."
"Sepasin dapat bersiang."
"Seperti abu di atas tunggul."
"Seperti air dengan kolam."
"Seperti air di daun talas."
"Seperti air pembasuh tangan."
"Seperti anai-anai bubus."
"Seperti anak ayam kehilangan induk."
"Seperti anak sepat ketohoran."
"Seperti anak yang baru dibedung."
"Seperti anjing bercawat ekor."
"Seperti anjing berebut tulang."
"Seperti anjing berjumpa pasir."
"Seperti anjing beroleh bangkai."
"Seperti anjing dengan kucing."
"Seperti anjing digosok kepala, menjungkit ekor."
"Seperti anjing kedahuluan."
"Seperti anjing mengunyah tulang."
"Seperti anjing terpanggang ekor."
"Seperti antah ditepi gantang, masuk tak genap keluar tak ganjil."
"Seperti api dalam sekam."
"Seperti api makan ladang kering."
"Seperti aur ditarik sungsang."
"Seperti ayam beranak itik."
"Seperti ayam beroleh ubi."
"Seperti ayam dimakan tungau."
"Seperti ayam gadis bertelur."
"Seperti ayam mengarang telur."
"Seperti ayam pulang ke pautan."
"Seperti ayam termakan rambut."
"Seperti ayam, kais pagi makan pagi, kais petang makan petang."
"Seperti bangau di ekor kerbau."
"Seperti Belanda minta tanah."
"Seperti belut jatuh ke lumpur."
"Seperti berdiang di abu dingin."
"Seperti berjejak diatas bara."
"Seperti berlindung di balik sehelai daun."
"Seperti biduk dikayuh hilir."
"Seperti birah tidak berurat."
"Seperti birah tumbuh di tepi lesung."
"Seperti bisai makan sepinggan."
"Seperti buah masak seulas."
"Seperti bujang jolong bekerja, gadis jolong bersubang."
"Seperti bujang jolong berkeris."
"Seperti buku gaharu."
"Seperti bulan dipagar bintang."
"Seperti bunga kembang setaman."
"Seperti cacing kepanasan."
"Seperti cendawan dimusim hujan."
"Seperti Cina karam."
"Seperti Cina kebakaran jenggot."
"Seperti diiris-iris dengan sembilu."
"Seperti disalak anjing bertuah."
"Seperti ditempuh gajah lalu."
"Seperti elang menyongsong angin."
"Seperti emas yang baru diupam."
"Seperti embun di atas daun."
"Seperti embun di ujung rumput."
"Seperti gergaji bermata dua."
"Seperti gunting makan diujung."
"Seperti harimau menyembunyikan kuku."
"Seperti hujan balik kelangit."
"Seperti ikan dalam air."
"Seperti ikan dalam belanga."
"Seperti itik mendengarkan guntur."
"Seperti itik pulang petang."
"Seperti jamur dimusim hujan."
"Seperti janggut pulang ke dagu."
"Seperti jentayu rindukan hujan."
"Seperti katak dalam tempurung."
"Seperti katak hendak jadi lembu."
"Seperti kelapa sompong."
"Seperti kerbau dicucuk hidung."
"Seperti kucing lepas senja."
"Seperti lalat mencari puru."
"Seperti lipas kudung."
"Seperti membakar lalang."
"Seperti menampalkan kersik ke buluh."
"Seperti menatang minyak penuh."
"Seperti mendapat durian runtuh."
"Seperti menggantang asap."
"Seperti menggenggam bara, terasa hangat dilepaskan."
"Seperti menghasta kain sarung."
"Seperti menghela rambut ditepung, rambut tak putus, tepung tidak terserak."
"Seperti meniup api diatas air."
"Seperti negeri dialahkan garuda."
"Seperti nyawa ayam."
"Seperti orang buta baru melek."
"Seperti orang buta kehilangan tongkat."
"Seperti orang darat jolong menurun."
"Seperti padi hampa, kepalanya mencongak."
"Seperti pinang dibelah dua."
"Seperti pinang pulang ke tampuknya."
"Seperti pipit menelan jagung."
"Seperti rusa masuk kampung."
"Seperti sayur dengan rumput."
"Seperti sayur tidak berbumbu."
"Seperti seludang menolak mayang."
"Seperti sirih pulang ke gagangnya."
"Seperti talam dua muka."
"Seperti telur di ujung tanduk."
"Seperti tidak berjejak di bumi."
"Seperti tikus jatuh ke beras."
"Seperti udang dipanggang."
"Seperti ular dicubit ekor."
"Seperti ular kena palu."
"Seperti unta menyerahkan diri."
"Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga."
"Sepuluh batang bertindih yang di bawah juga yang kena."
"Sepuluh jung masuk pelabuhan, anjing bercawat ekor jua."
"Serigala berbulu domba."
"Seringgit dua kupang."
"Sesak alam tempat diam, tak berbumi tempat tegak."
"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna."
"Sesat di ujung jalan surut ke pangkal jalan."
"Sesat surit terlangkah kembali."
"Sesayat sebelanga juga."
"Sesungguhpun kawat yang dibentuk, ikan yang dilaut yang diadang."
"Setajam-tajam pisau, masih lebih tajam lidah."
"Setali tiga uang."
"Setinggi-tinggi bola melambung, jatuhnya ke tanah jua."
"Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga."
"Siang bermatahari, malam berbulan."
"Siang berpanas, malam berembun."
"Siapa berkotek, siapa bertelur."
"Siapa cepat boleh dapat, siapa kemudian putih mata."
"Siapa melompat, siapa patah."
"Siapa yang kena cubit, itulah yang merasa sakit."
"Siapa yang mau mengaku berak di tengah jalan."
"Siapa yang menabur angin, akan menuai badai."
"Siapa yang menggali lubang, akan terperosok lubang sendiri."
"Sia-sia menggiring angin, terasa ada tertangkap tidak."
"Sia-sia utang tumbuh."
"Sidingin tampal di kepala."
"Sigai sampai ke langit."
"Silap mata, pecah kepala."
"Sirih pulang ke gagang, pinang pulang ke tampuk."
"Sudah beruban baru bergaum."
"Sudah besar maka hendak melanda."
"Sudah biasa makan emping."
"Sudah busuk maka dipeda."
"Sudah buta baru celik."
"Sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula."
"Sudah jadi abu arang."
"Sudah jatuh, tertimpa tangga pula."
"Sudah ketengah makan api."
"Sudah makan baru bismillah."
"Sudah masuk kedalam mulut harimau."
"Sudah memakai adat."
"Sudah seayun bagai berbuai."
"Sudah tahu peria pahit."
"Sudah terantuk baru tengadah."
"Surga berada di telapak kaki ibu."
"Susu di dada tak dapat dielakkan."




.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Peribahasa Indonesia M -- P (Pengertian dan Contohnya)


.




Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme.

Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama".

"Mahal tak dapat dibeli, murah tak dapat diminta."
"Main api hangus, main air basah."
"Maju kena, mundur kena."
"Majelis-majelis udang, tahi di kepala."
"Makan bubur panas-panas."
"Makan hati berulam jantung."
"Makan upas berulam racun."
"Makanan enggang takkan menjadi makanan pipit."
"Makanan sudah tersedia, jamu belum juga datang."
"Makin murah, makin ditawar."
"Maksud bagai maksud manau."
"Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai."
"Malang bagai ayam, padi masak makan kehutan."
"Malu berdayung hanyut serantau."
"Malu bertanya, sesat di jalan."
"Maling teriak maling."
"Mana ada maling yang mengaku maling."
"Mancit satu, gada seratus."
"Mandi dengan air secupak."
"Mandi di air kiambang, pelak lepas gatalpun datang."
"Mandi sedirus."
"Manikam sudah menjadi sekam."
"Manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan."
"Manusia merencanakan, Tuhan menentukan."
"Manusia tertarik oleh tanah airnya, anjing tertarik oleh piringnya."
"Mara jangan dipukat, rezeki jangan ditolak."
"Masak diluar, mentah didalam."
"Masak malam, mentah pagi."
"Masakan ada ayam memantangkan jemuran."
"Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak."
"Masuk tak genap, keluar tak ganjil."
"Masuk tiga, keluar empat."
"Matahari itu bolehlah ditutup dengan nyiru."
"Mati anak berkalang bapak, mati bapak berkalang anak."
"Mati dicatuk katak."
"Mati harimau karena belangnya, mati kesturi karena baunya."
"Mati harimau meninggalkan belang, mati gajah meninggalkan gading."
"Mati ikan karena umpan, mati saya karena budi."
"Mati rusa karena jejaknya."
"Mati rusa karena tanduknya."
"Mati satu tumbuh seribu."
"Mati seladang."
"Mati takkan menyesal, luka takkan menyiuk."
"Mati-mati berdawat biarlah hitam, mati-mati mandi biarlah basah."
"Mati-mati minyak biarlah licin."
"Melepaskan anjing terjepit."
"Meletakkan api dibubungan."
"Melihat pungguk di dahan, punai di tangan dilepaskan."
"Memagar kelapa condong."
"Memahat di dalam garis."
"Memakan habis-habis, menyuruk hilang-hilang."
"Memancing di air keruh."
"Memang lidah tidak bertulang."
"Memasukkan minyak ke api."
"Membasuh muka dengan air liur."
"Membawa garam ke laut."
"Membeli kerbau bertuntun."
"Membubuhkan arang dimuka orang."
"Memikul diatas bahu."
"Mempertajam sanding."
"Menabur bijan ke tasik."
"Menangguk di air keruh."
"Menang jadi arang, kalah jadi abu."
"Menahan jerat ditempat genting."
"Menaikkan air ke gurun."
"Menanak semua beras."
"Menari di ladang orang."
"Mencabik baju didada."
"Mencabut harus dengan akar-akarnya."
"Mencari jejak diair."
"Mencari lantai terjungkat."
"Mencari umbut di batu."
"Mencari jarum di tumpukan jerami."
"Mencari yang sehasta sejengkal."
"Mencencang berlandasan, melompat bersitumpu."
"Mencencang memampas, membunuh membangun."
"Mencoreng arang di muka sendiri."
"Mencubit paha sendiri barulah paha orang lain."
"Mendapat pisang terkubak."
"Menanti kucing bertanduk."
"Menebas buluh serumpun."
"Menepak nyamuk menjadi daki."
"Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri."
"Menerka ayam dalam telur."
"Mengabui mata orang."
"Mengadu nasib."
"Mengadu tuntung jarum."
"Mengadu petah lidah."
"Mengadu ujung jarum."
"Mengadu ujung penjahit."
"Mengambil puntung pemukul kepala."
"Menggantang anak ayam."
"Menggantang asap."
"Menggenggam erat, membuhul mati."
"Menggenggam tak tiris."
"Mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan."
"Mengharapkan hujan turun, air di tempayan ditumpahkan."
"Menghendaki kuda bertanduk."
"Menjemur sementara hari panas."
"Menjentik puru di bibir."
"Menjilat ludah di lantai."
"Menjilat air liur sendiri."
"Menjerit bagai kucing biang."
"Menjual petai hampa."
"Menjunjung uban."
"Melanting menuju tampuk."
"Menuhuk kawan seiring menggunting dalam lipatan."
"Menunggu ara hanyut."
"Menunjukkan ilmu kepada orang menetek."
"Menyelam sambil minum air."
"Menyelam tertumus seperti babi."
"Merajuk air diruang, hendak karam ditimba juga."
"Merak mengigal di hutan."
"Merdeka atau mati."
"Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak."
"Mulut bau madu, pantat bau sengat."
"Mulut bicara, badan binasa."
"Mulut kapuk dapat ditutup."
"Mulut manis kucandan murah."
"Mulut manis mematahkan tulang."
"Mulut terdorong, emas tantangannya."
"Mulutmu harimaumu."
"Mumbang ditebuk tupai."
"Mundur satu langkah, maju dua langkah."
"Murah di mulut mahal di timbangan."
"Musang berbulu ayam."
"Musang terjun, lantai terjungkat."
"Musuh dalam selimut."
"Musuh jangan diadang, selisih jangan dicari."





"Nafas tak sampai ke hidung."
"Nan lurah juga diturut air."
"Nasi sama ditanak, kerak dimakan seorang."
"Nasi sudah menjadi bubur."
"Nasi tak dingin, pinggan tak retak."
"Nasib sabut terapung, nasib batu tenggelam."
"Neraca palingan bungkal, hati palingan Tuhan."
"Neraca yang palingan, bungkal yang piawai."
"Niat hati nak getah bayan, sudah tergetah burung serindit."
"Nibung bangsai bertaruk muda."
"Nila setitik rusak susu sebelanga."
"Nyamuk mati gatal tak lepas."





"Obat jauh penyakit hampir."
"Oleng seperti cupak hanyut."
"Ombak yang bersabung, baru dikenal siapa kawan siapa lawan."
"Ombak yang kecil jangan diabaikan."
"Ombaknya kedengaran tapi pasirnya belum kelihatan."
"Orang berdendang dipentasnya, orang beraja dihatinya."
"Orang bersiselam, awak bertimba."
"Orang haus diberi air, orang mengantuk disorongkan bantal."
"Orang karam dilaut, awak karam didarat."
"Orang kaya suka dimakan, orang elok selendang dunia."
"Orang muda menanggung rindu, orang tua menanggung ragam."
"Orang penggamang mati jatuh, orang pencemas mati hanyut."
"Orang terpegang pada hulunya, kita terpegang pada matanya."
"Orang yang runcing tanduk."





"Padam menyala, tarik puntung."
"Padi ditanam tumbuh lalang."
"Padi masak, jagung mengupih."
"Pahit jangan lekas dimuntahkan manis jangan lekas ditelan."
"Panci mengatakan belanga hitam."
"Panas mentari di kepala orang banyak, panas hati dirasa sendiri."
"Panas mentari setahun, dihapuskan hujan sehari."
"Pandai berminyak air."
"Pandai-pandai meniti buih, selamat badan di seberang."
"Panjang jalan karena di turut, besar jalan karena dilalui."
"Parang gabus menjadi parang besi."
"Patah lidah alamat kalah."
"Patah tumbuh hilang berganti."
"Patah tongkat, berjermang."
"Payah dilamun ombak, tercapai juga tanah tepi."
"Panas setahun dihabiskan hujan sehari."
"Pecah menanti sebab, retak menanti belah."
"Pecak boleh dilayangkan, bulat boleh digulingkan."
"Pegang kepala, ekor tak berdaya."
"Pejatian awak, pantangan orang."
"Pekak-pekak badak."
"Pelabur habis Palembang tak jauh."
"Pelanduk ditengah cerang."
"Pelanduk lupakan jerat, jerat tak melupakan pelanduk."
"Pembuat periuk bertanak ditembikar."
"Pena lebih tajam daripada pedang."
"Pencegahan lebih baik daripada pengobatan."
"Pepat di luar, rancung di dalam."
"Perang habis pencak teringat."
"Pesan berturuti, petaruh bertunggu."
"Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna."
"Pikir itu pelita hati."
"Pilin jering hendak berisi."
"Pindah ke negeri cacing."
"Pinjaman kayu ara."
"Pipit berperang lawan garuda."
"Pipit jantan tidak bersarang."
"Pipit sama pipit, enggang sama enggang."
"Pipit tuli makan dihujan, hendak dihalau kain basah, tidak dihalau padi habis."
"Potong hidung rusak muka."
"Potong kambing, nangka makan."
"Pucuk bulat dalam negeri."
"Pucuk dicinta ulam tiba."
"Pucuk diremas dengan santan, urat direndam dengan tengguli, namun peria pahit juga."
"Pucuk layu disiram hujan."
"Pukat sudah terijuk."
"Pukul anak sindir menantu."
"Punggung parang pun jika diasah menjadi tajam."
"Putih tapak lari."
"Putus tali tempat bergantung, terban tanah tempat berpijak."




.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Peribahasa Indonesia I -- L (Pengertian dan Contohnya)


.




Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme.

Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama".

"Ijuk selembang, tali di situ, keluan di situ."
"Ijuk tidak bersagar, lurah tidak berbatu."
"Ikan biar dapat, serampang jangan pukah."
"Ikan terkilat jala tiba."
"Ikut hati mati, ikut rasa binasa."
"Ilmu pengetahuan adalah kekuatan."
"Ilmu padi, makin berisi, makin merunduk."
"Inai tertepung, kuku tanggal."
"Ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai."
"Isi lemak dapat ke orang, tulang bulu pulang ke kita."
"Itik diajar berenang."





"Jadi abu arang."
"Jadilah orang pandai bagai padi yang merunduk."
"Jagung tua tak hendak masak."
"Jalan diasak orang menggalas."
"Jalan mati lagi dicoba, ini pula jalan binasa."
"Jalan raya titian batu."
"Jangan didengarkan siul ular."
"Jangat liat kurang panggang."
"Janji sampai, sukatan penuh."
"Jatuh ke tilam empuk."
"Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai."
"Jauh di mata, dekat di hati."
"Jauh di mata, jauh di hati."
"Jauh panggang dari api."
"Jawi hitam banyak tingkah."
"Jelatang di hulu air."
"Jemuran terkekar, ayam tiba."
"Jerat halus kelindan sutera."
"Jerat serupa jerami."
"Jerih menentang laba."
"Jika ingin di hormati oleh orang lain, hormati lah orang lain dahulu."
"Jika air orang disauk, ranting orang dipatah, adat orang diturut."
"Jika keruh dihulu, tak dapat tidak dihilir keruh juga."
"Jika tak ada rotan, akar pun berguna."
"Jika takut dilanggar batang, jangan duduk di kepala pulau."
"Jika takut dilimbur pasang, jangan berumah di tepi pantai."
"Jika tangan kanan memberi, sebaiknya tangan kiri tidak mengetahui."
"Jinak-jinak merpati, sudah dekat terbanglah dia."
"Jual emas beli intan."
"Jung pecah hiu kenyang."
"Jung satu nakhoda dua."





"Kacang lupa kulitnya."
"Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus sehari hanyut."
"Kail sejengkal janganlah menduga dalam lautan."
"Kain basah kering di pinggang."
"Kain dalam acar dikutip cuci ia hendak ke longkang lagi."
"Kain ditangkap maka duduk."
"Kain lama dicampak buang, kain baru pula dicari."
"Kain pendinding miang, uang pendinding malu."
"Kaki naik kepala turun."
"Kaki tertarung inai padahannya, mulut terdorong emas padahannya."
"Kalah jadi abu, menang jadi arang."
"Kalah membeli, menang memakai."
"Kalau di hutan tak ada singa, beruk rabun bisa menjadi raja."
"Kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga."
"Kalau kaki sudah terlangkahkan, pantang dihela surut."
"Kalau kena tampar, biar dengan tangan yang bercincin."
"Kalau kena tendang, biar dengan kaki yang berkasut."
"Kalau mandi biarlah basah."
"Kalau padi yang ditanam, rumput ikut tumbuh; Kalau rumput yang ditanam, padi tak akan ikut tumbuh."
"Kalau pandai mencencang akar, mati lalu ke puncaknya."
"Kalau sorak dahulu daripada tohok, tidak mati babi."
"Kalau tak ada angin bertiup, takkan pokok bergoyang."
"Kalau tak ingin terlimbur pasang, jangan berumah di tepi laut."
"Kalau tidak berada-ada takkan tempua bersarang rendah."
"Kapal besar ditunda jongkong."
"Kapal satu nakhoda dua."
"Karam berdua, basah seorang."
"Karam di laut boleh ditimba, karam di hati bilakah sudah."
"Karam sambal oleh belacan."
"Karena mata buta, karena hati mati."
"Karena mulut badan binasa."
"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga."
"Karung tak berisi tak dapat ditegakkan."
"Kasih anak dipertangis, kasih di bini ditinggal-tinggalkan."
"Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan."
"Kata banyak, kata bergalau."
"Kata dahulu bertepati, kata kemudian kata bercari."
"Kata raja melimpahkan, kata penghulu menyelesaikan."
"Kayu besar ditengah padang."
"Ke bawah tidak berurat, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah ditebuk kumbang."
"Ke gunung sama mendaki, ke lurah sama menurun."
"Ke gunung tak dapat angin."
"Kebaikan akan mendapat balasan kebaikan, kejahatan akan mendapat balasan setimpal pula."
"Kebesaran air."
"Kecil bernama, besar bergelar."
"Kecil dikandung ibu, besar dikandung adat, mati dikandung tanah."
"Kecil-kecil anak, sudah besar menjadi onak."
"Kecil-kecil cabai rawit."
"Kecil-kecil lada padi."
"Kecil tapak tangan, nyiru saya tadahkan."
"Kecil teranja-anja besar terbawa-bawa, tua berubah tidak."
"Kecubung berulam ganja."
"Kecundang lebih bagai kebaji."
"Kehulu menongkah surut, kehilir menongkah pasang."
"Kejujuran adalah abadi, kebohongan akan berubah selamanya."
"Kejujuran bertahan sangat lama."
"Kelekatu hendak terbang ke langit."
"Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya."
"Kena tendang biarlah dengan kaki berkasut, kena tampar biarlah dengan jari yang bercincin."
"Kemana angin deras, kesitu condongnya."
"Kemarau setahun dihapuskan hujan sehari."
"Kepala boleh panas, tetapi hati harus tetap dingin."
"Kepala sama hitam, isi hati siapa tahu."
"Ketika ada sama dimakan, waktu tak ada sama ditahan."
"Ketika ada jangan dimakan, telah habis maka dimakan."
"Ketika gagak putih, bangau hitam."
"Kilat cermin sudah ke muka, kilat beliung sudah ke kaki."
"Kuah tercucur ke nasi, nasi akan dimakan juga."
"Kuat ikan karena insang, kuat burung karena sayap."
"Kunyah dahulu maka telan."
"Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu."





"Lain dimulut lain di hati."
"Lain biduk kalang diletak."
"Lain biduk, lain digalang."
"Lain gatal, lain yang digaruk."
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya."
"Laki pulang kelaparan, dagang lalu ditanakkan."
"Laksana kera dapat bunga."
"Laksana apung-apung di tengah laut, dipukul ombak hanyut ke tepi."
"Laksana garam dengan asam."
"Lalu jarum, lalu kelindan."
"Lancar kaji karena diulang, lancar jalan karena ditempuh."
"Lebih baik mati berkalang tanah, dari pada hidup bercermin bangkai."
"Lebih baik satu burung di tangan dari pada sepuluh burung di pohon."
"Lembah juga yang dituruti air."
"Lembu dongkol hendak menyondol."
"Lempar batu sembunyi tangan."
"Lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya."
"Lewat dari manis, masam; lewat dari harum, busuk."
"Lidah bercabang bagai biawak."
"Lidah lebih tajam daripada pedang."
"Lidah tak bertulang."
"Lonjak seperti labu dibenam."
"Lubuk akal tepian ilmu."
"Lubuk alam tepian bumi."
"Luka boleh sembuh, parutnya tinggal juga."
"Luka di kaki, sakit seluruh badan."
"Luka di tangan karena pisau, luka di hati karena kata."
"Lunak gigi daripada lidah."





.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Peribahasa Indonesia C -- H (Pengertian dan Contohnya)


.




Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme.

Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama".

"Cabik-cabik bulu ayam."
"Cacat-cacat cempedak, cacat-cacat nak hendak."
"Cacing menjadi ular naga."
"Cadik terkedik, bingung terjual."
"Calak-calak ganti asah, menunggu tukang belum datang."
"Cencang dua segeragai."
"Cencang putus, tusuk tembuk."
"Cerdik perempuan melebuhkan, saudagar muda mengutangkan."
"Cerdik tak membuang kawan, gemuk tak membuang lemak."
"Cium tapak tangan, berbau atau tidak."
"Coba-coba bertanam mumbang, siapa tahu jadi kelapa."
"Condong yang akan menimpa."





"Di bawah kasur ada duit."
"Di bawah tanah masih ada tanah. Di bawahnya tanah masih ada minyak bumi, batu bara, emas, timah, tembaga, uranium, dll."
"Dahulu bajak daripada jawi."
"Dahulu timah sekarang besi."
"Dalam lautan bisa diduga, dalam hati siapa tahu."
"Dangkal telah keseberangan, dalam telah keajukan."
"Dapur tidak berasap."
"Dari jung turun ke sampan."
"Dari telaga yang jernih, tak akan mengalir air yang keruh."
"Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah."
"Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang."
"Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri."
"Datang tampak muka, pulang tampak punggung."
"Datang tidak berjemput, pulang tidak berantar."
"Daunnya jatuh melayang, buahnya jatuh ke pangkal."
"Dekat mencari induk, jauh mencari suku."
"Deras datang, deras kena."
"Diam di bandar tak meniru, diam di laut asin tidak."
"Diam-diam penggali berkarat, diam-diam ubi berisi."
"Diam emas, bicara perak."
"Dianjak layu, dibubut mati."
"Di atas langit masih ada langit."
"Diberi kuku hendak mencengkam."
"Diberi sehasta hendak sedepa."
"Dibuat karena alah, menjadi murka karena alah."
"Diganjur surut bagai bertanam."
"Digantung tak bertali."
"Digenggam takut mati, dilepaskan takut terbang."
"Digila beruk berayun."
"Diindang ditampi teras, dipilih antah satu-satu."
"Diindang tidak berantah."
"Di mana ada kemauan, di sana ada jalan."
"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."
"Di mana tak ada lang, akulah lang, kata belalang."
"Di mana tembilang terentak, di situ cendawan tumbuh."
"Dikasih hati minta jantung."
"Dikati sama berat, diuji sama merah."
"Dimandikan dengan air segeluk."
"Dinding sampai ke langit, empang sampai ke seberang."
"Dinding teretas, tangga terpasang."
"Dipandang dekat, dicapai tak dapat."
"Di rumah beraja-raja, di hutan berberuk-beruk."
"Disisih sebagai antah."
"Dua kali pisang berbuah."
"Duduk berkisar, tegak berpaling."
"Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah."
"Duduk sama rendah, tegak sama tinggi."
"Duduk seperti kucing, melompat seperti harimau."
"Dunia tak selebar daun kelor."
"Dusta yang diucapkan seribu kali adalah kebenaran."





"Elok berarak di hari panas."
"Embacang buruk kulit."
"Emping terserak, hari hujan."
"Enak lauk dikunyah-kunyah, enak kata diperkatakan."
"Enau sebatang dua sigainya."
"Enggang lalu, atal jatuh, anak raja mati ditimpanya."
"Enggang sama enggang, pipit sama pipit."
"Esa hilang, dua terbilang."





"Fajar menyingsing, elang menyongsong"





"Gabak di hulu tanda akan hujan."
"Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak"
"Gajah derum tengah rumah."
"Gajah dialahkan oleh pelanduk."
"Gajah ditelan ular lidi."
"Gajah mati karena gadingnya."
"Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang."
"Gajah mati tulang setimbun."
"Gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah."
"Gali lubang, tutup lubang."
"Garam di laut asam di gunung bertemu dalam belanga."
"Gayung bersambut, kata berjawab."
"Geleng bukan, angguk ia."
"Geleng serupa cupak hanyut."
"Genting menanti putus, biang menanti tembuk."
"Getah terbangkit kuaran tiba."
"Getikkan puru dibibir."
"Gila di abun."
"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari."





"Habis adat dengan kerelaan, hilang adat tegal mufakat."
"Habis beralur, maka beralu-alu."
"Habis manis sepah dibuang."
"Hafal kaji karena diulang, pasar jalan karena ditempuh."
"Hampa berat menjadi sekam."
"Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua."
"Harap akan anak buta mata sebelah, harap akan teman buta mata keduanya."
"Harap pada yang ada, cemas pada yang tidak ada."
"Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan."
"Harapkan guntur di langit, air di tempayan dicurahkan."
"Harimau mengaum takkan menangkap."
"Hari pagi dikejar-kejar, hari petang dibuang-buang."
"Harum menghilangkan bau."
"Harum seperti malaikat lalu."
"Hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai."
"Hati bagai baling-baling."
"Hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicecah."
"Hati gatal, mata digaruk."
"Hemat pangkal kaya."
"Hendak air pancuran terbit."
"Hendak menangguk ikan, tertangguk pada batang."
"Hendak ulam, pucuk menjulai."
"Hidung dicium pipi digigit."
"Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah."
"Hidup enggan mati tak mau."
"Hidup seperti anjing dengan kucing."
"Hidup seperti umang-umang."
"Hidup tolong-menolong, sandar-menyandar."
"Hilang adat, tegal bermufakat."
"Hilang di mata di hati jangan."
"Hilang geli oleh gelitik, hilang bisa oleh biasa."
"Hujan berpohon, panas berasal."
"Hujan tak sekali jatuh, simpai tak sekali erat."
"Hujan turun, kambing lari."
"Hulu malang pangkal celaka."





.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Peribahasa Indonesia A -- B (Pengertian dan Contohnya)


.



Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme.

Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama".

"Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang."
"Ada asap ada api."
"Ada batang ada cendawan ada cendawan tumbuh."
"Ada bunga ada lebah."
"Ada gula ada semut."
"Ada nyawa ada rezeki."
"Ada nyawa, nyawa ikan."
"Ada padang ada belalang."
"Ada sama dimakan, tak ada sama ditahan."
"Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang."
"Ada ubi ada talas, ada budi ada balas."
"Ada udang di balik batu."
"Ada umur ada rezeki."
"Ada sampan hendak berenang."
"Adakah air dalam tong itu berkocak, melainkan air yang setengah tong itu juga yang berkocak."
"Adakah dari telaga yang jernih mengalir air yang keruh."
"Adakah duri dipertajam."
"Adapun manikam itu jikalau jatuh ke dalam lumpur sekalipun, niscaya tiada akan hilang cahayanya."
"Adat air cair, adat api panas."
"Adat ayam ke lesung, adat itik ke pelimbahan."
"Adat bersendi syarak, syarak bersendi adat."
"Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah."
"Adat diisi lembaga dituang."
"Adat dunia balas-membalas, syariat palu-memalu."
"Adat gajah terdorong."
"Adat hidup tolong-menolong, syariat palu-memalu."
"Adat juara kalah menang, adat saudagar laba rugi."
"Adat lama pusaka usang."
"Adat menyabung, adat gelanggang."
"Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam."
"Adat negeri memagar negeri, adat berkampung memagar kampung."
"Adat pasang berturun naik."
"Adat periuk berkerat, adat lesung berdedak."
"Adat rimba raya, siapa berani ditaati."
"Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung."
"Adat teluk timbunan kapal, adat gunung tepatan kabut."
"Air beriak tanda tak dalam."
"Air besar batu bersibak."
"Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga."
"Air di daun talas."
"Air diminum serasa duri."
"Air ditetak takkan putus."
"Air jernih ikannya jinak."
"Air mata jatuh ke perut."
"Air orang disauk, ranting orang dipatah, adat orang diturut."
"Air pun ada pasang surutnya."
"Air sama air kelak menjadi satu, sampah itu ke tepi juga."
"Air susu dibalas dengan air tuba."
"Air tenang menghanyutkan."
"Air tenang jangan disangka tiada buayanya."
"Air udik sungai semua teluk diranai."
"Air yang dingin juga yang memadami api."
"Air yang tenang jangan disangka tak berbuaya."
"Akal akar berpulas tak patah."
"Akal tak sekali tiba, runding tak sekali datang."
"Akal singkat pendapat kurang."
"Alah bisa karena biasa."
"Alah limau oleh benalu."
"Alah membeli menang memakai."
"Alah sabung menang sorak."
"Alang berjawab, tepuk berbalas."
"Alang-alang berminyak biar licin."
"Alu patah lesung hilang."
"Anak anjing bolehkah menjadi anak musang jebat."
"Anak cantik, menantu molek."
"Anak dipangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan."
"Anak dipangku, kemenakan (keponakan) dibimbing."
"Anak harimau tidak akan jadi anak kambing."
"Anak polah bapa kepradah."
"Anak seorang, penaka tidak."
"Angan-angan mengikat tubuh."
"Angan lalu paham tertumbuk."
"Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam."
"Angin yang berputar, ombak yang bersabung."
"Angin bertiup layar terkembang."
"Angkuh terbawa, tampan tinggal."
"Anjing diberi makan nasi, bilakah kenyang."
"Anjing ditepuk, menjungkit ekor."
"Anjing galak, berani babi."
"Anjing menggongong, kafilah berlalu."
"Anjing mengulangi bangkai."
"Anjing menyalak takkan menggigit."
"Antah berkumpul sama antah, beras sama beras."
"Apa yang ditanam itulah yang tumbuh."
"Apa yang ditabur itulah yang tuai'"
"Api kecil baik padam."
"Api padam puntung berasap."
"Api padam puntung hanyut."
"Arang habis besi binasa."
"Arang itu jikalau dibasuh dengan air mawar sekalipun tidak akan putih."
"Arang tersapu dimuka."
"Asal ada, kecil pun pada."
"Asal ayam ke lesung, asal itik ke pelimbahan."
"Asal insang, ikanlah."
"Asam di gunung garam di laut bertemu dalam satu belanga."
"Atap ijuk perabung timah."
"Atap ijuk perabung upih."
"Awak kalah gelanggang usai."
"Awak rendah sangkutan tinggi."
"Awak sakit daging menimbun, sakit kepala panjang rambut."
"Ayam berinduk, sirih berjunjung."
"Ayam bertelur di atas padi mati kelaparan."
"Ayam ditambat disambar elang."
"Ayam hitam terbang malam."
"Ayam menang kampung tergadai."
"Ayam putih terbang siang."





"Berjalan sampai batas,berlayar sampai ke pulau"
"Badai pasti berlalu."
"Badak makan anaknya."
"Bagai air dengan minyak."
"Bagai air di daun talas."
"Bagai air titik ke batu."
"Bagai alu pencungkil duri."
"Bagai anjing beranak enam."
"Bagai anjing melintang denai."
"Bagai anjing menyalak di ekor gajah."
"Bagai api dengan asap."
"Bagai api dengan rabuk."
"Bagai api makan sekam."
"Bagai aur dengan tebing."
"Bagai aur di atas bukit."
"Bagai ayam bertelur di padi."
"Bagai ayam lepas bertaji."
"Bagai bara dalam sekam."
"Bagai babi merasa gulai."
"Bagai bertanak di kuali."
"Bagai bulan kesiangan."
"Bagai bumi dan langit."
"Bagai cendawan dibasuh."
"Bagai denai gajah lalu."
"Bagai diiris dengan sembilu."
"Bagai getah dibawa ke semak."
"Bagai hujan jatuh ke pasir."
"Bagai inai dengan kuku."
"Bagai jampuk kesiangan."
"Bagai kacang lupa akan kulitnya."
"Bagai kambing dihela ke air."
"Bagai kambing harga dua kupang."
"Bagai katak dalam tempurung."
"Bagai keluang bebar petang."
"Bagai kena jelatang."
"Bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau."
"Bagai kerbau dicocok hidung."
"Bagai kucing dengan panggang."
"Bagai kucing dibawakan lidi."
"Bagai kucing menjemput api."
"Bagai kucing tak bermisai."
"Bagai kucing tidur dibantal."
"Bagai kuku dengan daging."
"Bagai kura dengan isi."
"Bagai melepaskan anjing terjepit."
"Bagai melihat asam."
"Bagai makan buah simalakama."
"Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati."
"Bagai membandarkan air ke bukit."
"Bagai meminum air bercacing."
"Bagai menampung air dengan limas pesuk."
"Bagai mencincang air."
"Bagai mendapat durian runtuh."
"Bagai mendapat gunung intan."
"Bagai menegakkan benang basah."
"Bagai menggantang anak ayam."
"Bagai mentimun dengan durian."
"Bagai musang berbulu ayam."
"Bagai musuh dalam selimut."
"Bagai orang kena miang."
"Bagai padi makin berisi makin merunduk."
"Bagai pagar makan tanaman."
"Bagai pelanduk di cerang rimba."
"Bagai pelita yang kehabisan minyak."
"Bagai pinang dibelah dua."
"Bagai pintu tak berpasak, perahu tak berkemudi."
"Bagai pungguk merindukan bulan."
"Bagai roda berputar."
"Bagai sekam dimakan api."
"Bagai semang kehilangan induk."
"Bagai tanduk diberkas."
"Bagai telur di ujung tanduk."
"Bagaimana biduk, bagaimana pengayuh."
"Bagaimana bunyi gendang, begitulah tepuk tarinya."
"Bagaimana hari takkan hujan, katak betung berteriak selalu."
"Bahasa menunjukkan bangsa."
"Banyak anak banyak rezeki."
"Bajak lalu ditanah yang lembut."
"Baji dahan pembelah batang."
"Bakar air ambil abunya."
"Barang tergenggam jatuh terlepas."
"Baru beranjur sudah bertarung."
"Batu di pulau tiada berkajang."
"Bayang-bayang sepanjang badan."
"Bayang-bayang sepanjang tubuh, selimut sepanjang badan."
"Bayang-bayang tidak sepanjang badan."
"Beban berat, senggulung batu."
"Belajar di yang pintar, berguru di yang pandai."
"Belalang dapat menuai."
"Belum besar sudah diambak."
"Belum beranak sudah ditimang."
"Belum bergigi hendak mengunyah."
"Belum bertaji hendak berkokok."
"Belum diajun sudah tertarung."
"Belum dipanjat asap kemenyan."
"Belum merangkak sudah belajar lari."
"Belum tahu akan pedas lada."
"Belum tentu, ayam masih disabung."
"Belum tentu si upik si buyungnya."
"Bengkok sedikit tak terluruskan."
"Benih yang baik tak memilih tanah."
"Beraja dihati bersutan dimata."
"Berakal ke lutut, berontak ke empu kaki."
"Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian."
"Beranak kandung beranak tiri."
"Beranak menurut kata bidan."
"Beranak tidak berbidan."
"Berani karena benar, takut karena salah."
"Berapa berat mata memandang, berat jugalah bahu memikul."
"Berarak tiada berlari."
"Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."
"Berbau bagai embacang."
"Berbelok kucing main daun."
"Berbenak ke empu kaki."
"Berdawat biar hitam."
"Berdiang di abu dingin."
"Bergantung tiada bertali, bersalai tiada api."
"Bergantung pada akar lapuk."
"Bergantung pada tali rapuh."
"Bergaduk-gaduk diri, saku-saku diterbangkan angin."
"Berguru dulu sebelum bergurau."
"Berguru ke padang datar, dapat rusa belang kaki."
"Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi."
"Berhakim kepada beruk."
"Berjagung-jagung sementara padi masak."
"Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah."
"Berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau."
"Berjenjang naik, bertangga turun."
"Berkelahi dalam mimpi."
"Berkelahi dengan perigi akhirnya mati dahaga."
"Berkepanjangan bagai agam."
"Berkerat rotan berpatah arang."
"Berkering air ludah."
"Berlayar bernakhoda, berjalan bernan-tua."
"Bermain air basah, bermain api terbakar."
"Berniaga di ujunga di ujung lidah."
"Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian."
"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."
"Bersuluh matahari, bergelanggang di mata orang."
"Bersuluh menjemput api."
"Bertampuk boleh dijinjing, bertali boleh dieret."
"Bertanam tebu di bibir."
"Bertangkai boleh dijinjing."
"Bertanjak baru bertinju."
"Bertemu beliung dengan ruyung."
"Bertukar beruk dengan cigak."
"Besar berudu di kubangan, besar buaya di lautan."
"Besar diambak tinggi dianjung."
"Besar kapal besar pula gelombangnya."
"Besar kayu, besar bahannya."
"Besar pasak daripada tiang."
"Betung ditanam, aur tumbuh."
"Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa."
"Biar alah sabung asalkan menang sosok."
"Biar badan penat asal hati suka."
"Biar buruk kain dipakai, asal pandai mengambil hati."
"Biar dahi berlumpur asal tanduk mengena."
"Biar kalah sabung asalkan menang sorak."
"Biar lambat asal selamat."
"Biar jatuh terletak, jangan jatuh terempas."
"Biarlah buruk, hatinya kasih."
"Biarpun kucing naik haji, pulang-pulang mengeong juga."
"Bibir saya bukan diretak panas."
"Biduk lalu kiambang bertaut."
"Biduk satu nakhkoda dua."
"Biduk upih, pengayuh bilah."
"Binatang tahan palu, manusia tahan kias."
"Bodoh-bodoh sepat, tak makan pancing emas."
"Bondong air, bondong ikan."
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya."
"Buah yang manis berulat di dalamnya."
"Bukan air muara yang ditimba, sudah disauk dari hulunya."
"Bukan biji tak mau tumbuh, tapi bumi tak mau terima."
"Bulan naik matahari naik."
"Bulan terang dihutan."
"Bumi mana yang tiada kena hujan."
"Bungkuk sejengkal tidak terkedang."
"Buruk baik tiada bercerai."
"Buruk-buruk bak embacang."
"Buruk dibuang dengan rundingan, baik ditarik dengan mufakat."
"Buruk muka cermin dibelah."
"Buruk perahu, buruk pangkalan."
"Buruk tak tahu akan hinanya."
"Burung terbang dipipiskan lada."
"Busuk berbau, jatuh berdebuk."
"Busuk-busuk embacang."





.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

27 November 2013

Ungkapan (Pengertian, Contoh, dan Penggunaannya dalam Kalimat)


.




Ungkapan merupakan gabungan kata yang maknanya sudah menyatu dan tidak ditafsirkan dengan makna unsur yang membentuknya. Idiom atau disebut juga dengan ungkapan adalah gabungan kata yang membentuk arti baru dimana tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya.

Ungkapan adalah gabungan dua kata atau lebih yang digunakan seseorang dalam situasi tertentu untuk mengkiaskan suatu hal. Ungkapan terbentuk dari gabungan dua kata atau lebih. Gabungan kata ini jika tidak ada konteks yang menyertainya memiliki dua kemungkinan makna, yaitu makna sebenarnya (denotasi) dan makna tidak sebenarnya (makna kias atau konotasi). Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah gabungan kata itu termasuk ungkapan atau tidak, harus ada konteks kalimat yang menyertainya.



Contoh ungkapan:
  • banting tulang : kerja keras
  • gulung tikar : bangkrut
  • angkat kaki : pergi
  • naik pitam : marah
  • buah bibir : topik pembicaraan
  • angkat tangan : menyerah
  • meja hijau : pengadilan
  • buah tangan : oleh-oleh
  • kutu buku : orang yg suka baca buku
  • kepala dingin : tenang

Contoh kalimat yang mengandung ungkapan:
  1. Mereka sudah banyak makan garam dalam hal itu. (banyak pengalaman)
  2. Hati-hati terhadapnya, ia terkenal si panjang tangan. (suka mencuri)
  3. Jeng Sri memang tinggi hati.(sombong)
  4. Karena ucapan orang itu, Waluyo naik darah.(marah)
  5. Itulah akibatnya kalau menjadi anak yang berkepala batu. (tidak mau menurut)
  6. Hati-hati terhadap orang yang besar mulut itu. (suka membual)
  7. Merah telinganya ketika ia dituduh sebagai koruptor. (marah)
  8. Karena gelap mata, dia mengamuk di kantor. (hilang kesabaran)
  9. Lebih baik berputih tulang daripada hidup menanggung malu seperti ini. (mati)
  10. Ketika kutinggalkan dulu engkau masih merah, sekarang sudah seorang jejaka. (masih bayi)
  11. Selama pertandingan sepak bola itu, benar-benar dia menjadi bintang lapangan. (pemain yang baik)
  12. Pidatonya digaraminya dengan lelucon sehingga menarik para pendengarnya. (dibumbui; dihiasi)
  13. Lagi-lagi aku yang dikambing hitamkan bila timbul keributan di kelas. (orang yang dipersalahkan)
  14. Maaf, aku tak sudi kaujadikan aku sebagai kuda tunggangmu. (kausuruh-suruh untuk kepentinganmu)
  15. Kalau rasa permusuhan itu tidak dicabut sampai akar-akarnya, hubungan kalian tak pernah baik. (dihilangkan benar-benar)
  16. “Gema Tanah Air” sebuah bunga rampai yang disusun oleh H.B. Jassin. (buku yang berisi kumpulan karangan beberapa orang)
  17. Kalau bekerja dengan setengah hati, hasilnya kurang memuaskan.(tidak sungguh-sungguh)






.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

20 November 2013

Hikayat Si Miskin


.





Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.

Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.

Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”

Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.

Setelah genap bulannya kandungan itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.

Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.

Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar. Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemui oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.

Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. 

Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.

Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.

Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya.



.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular


.






Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

"Kek," panggil ular itu benar-benar memelas, "kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."

"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: "Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."

"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat." Kontan ular itu mengancam.

"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku."

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, "Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku."

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:

"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan."

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:

"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu."

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, "Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?"

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:

"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.

Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.





.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Hikayat Patani


.






Bismillahirrahmanirrahiim.


Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu.

Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." 

Arkian setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok pagi-pagi kita berburu"

Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. 

Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai ini."

Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. 

Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?". Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih itu.

Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera). 

Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
Sumber: Hikayat Seribu Satu Malam





.




Cari informasi lainnya di bawah ini
Share:

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog