Gedung Balai Kota ini memiliki luas bangunan 2.639,7 m² di atas lahan seluas 9.060 m². Bangunan gedung ini semula bergaya kolonial dan mengalami renovasi, arsitekturnya mengadopsi campuran antara gaya arsitektur Sunda dan Eropa. Semua ruang dialasi lantai papan dan mempunyai kolong.
Gedung utama Balai Kota berdenah persegi panjang menghadap ke arah Jalan Ir. H. Juanda atau Istana Bogor, dan memiliki halaman yang cukup luas. Bagian muka gedung utama beratap segitiga, yang dihiasi dengan ukiran kayu, memiliki pilar-pilar ramping, dan pada bagian kaki diberi batu alam, lalu dindingnya diberi cat warna putih yang menimbulkan kesan sebagai bangunan megah.
Gedung ini, dulunya berada di
Jakarta yang didirikan pada tahun 1776 dengan nama Societiet de Harmonie yang dimiliki Belanda pada jaman dahulu, juga dikenal dengan tempat adu kemewahan. Gedung ini
diprakasai oleh Jendral Reinier de Klerk, yang mulai dikerjakan pada tahun 1810-1814. Gedung Societeit sendiri merupakan wadah untuk
kalangan tertentu alias eksklusif di masa itu. Tidak semua orang bisa masuk ke
dalamnya. Biasanya yang hadir berasal dari kalangan de Buitenzorg atau Istana
Bogor atau para tamu dan pejabat penting lainnya. Sisi ekslusivitas juga dijaga
dari warna kulit. Orang pribumi hanya bisa masuk ke dalam Gedung Societeit
dalam fungsi sebagai pelayan dan bukan sebagai tamu. Dengan semakin banyaknya
orang-orang Eropa/Belanda di Buitenzorg, maka terbentuklah societeit (klub
social) di Buitenzorg. Societeit adalah klub social yang bertujuan social untuk
menyelenggarakan kegiatan untuk membantu pemerintah dibidang social. Klub
social societeit ini juga menyelenggarakan bentuk-bentuk hiburan bagi keluarga kaya dalam bentuk pagelaran musik, olahraga dan sebagainya.
Lambat-laun societeit ini membangun gedung sendiri, berdasarkan iuran atau
sumbangan dari anggota. Gedung societeit juga menjadi tempat
pertemuan-pertemuan social bahkan juga tempat pesta-pesta dilakukan seperti
pesta perkawinan. Gedung societeit yang dilengkapi dengan kantin atau café
menjadi pusat social terpenting saat itu. Klub sosial di Buitenzorg sejauh yang
diketahui tidak memiliki nama khusus (seperti di Batavia: Harmonie dan
Concordia).
Setelah penyerahan kedaulatan
Indonesia, Societeit de Harmonie terlupakan dan bahkan dirubuhkan karena suatu
alasan. Tempat yang dulunya menjadi tempat bersenang-senang para kaum elite
Eropa, tak lagi bergaung seheboh di masa lalu. Pesta dansa yang digelar pun, tak lagi mampu menyamai kemeriahan masa lalunya. Akhirnya, di tahun 1949-an, Societeit de Harmonie ditutup
dan bangunan Societeit de Harmonie pun dirobohkan. Alasan pembongkaran sangat
sepele. Lahan bangunannya akan digunakan untuk perluasan area parkir Kantor Sekretariat Negara dan pelebaran jalan di
samping gedung. Sebenarnya rencana pembongkaran gedung pernah ditentang keras
kalangan arkeolog, sejarawan, budayawan, dan arsitek. Namun saat itu golongan
konservasionis hampir selalu dicap “menentang kebijakan pemerintah dalam bidang
pembangunan” karena “pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat banyak”.
Societeit de Harmonie jadi salah satu bangunan yang hancur sebagai tumbal
revolusi, bersamaan dengan bangunan lain seperti Hotel Des Indes, Bioskop Capitol, Rumah Cina Kuno,
dan beberapa pasar tua di Jakarta.
Lalu, pada tahun 1960 atau 1970an Gedung Societiet ini kembali didirikan di
Bogor. Namanya sendiri tidak berubah karena fungsi dari gedung ini pun masih
sama, yaitu
sebagai tempat berpesta orang-orang Belanda
dan kaum elite lainnya guna menghilangkan kepenatan setelah menghabiskan
hari-hari untuk bekerja. Tempatnya sangat megah
dimana di dalamnya terdapat bar, ruang bilyar, panggung dan lantai dansa. Tidak sembarangan orang bisa memasuki bangunan ini kala itu,
hanya para Meneer (tuan) dan Mevrouw (nyonya) besar bangsa Belanda dan Eropa
yang seakan bisa bergembira ria menikmati kehidupan malam. Dulunya dibagian
dinding tampak depan bangunan ini tertulis jelas nama 'Harmonie' yang artinya
mengenang betapa harmonisnya mereka saat berkumpul disini. Jadi semua
keserasian, kebersamaan orang-orang Belanda saat berkumpul ada disini. Setelah
itu, bangunan gedung ini digunakan sebagai Kantor Gemeente Buitenzorg seiring
dibentuknya Staadsgemeente di Buitenzorg (nama lampau Bogor).
Lalu, pada tahun 70an, Gedung de Societeit menjadi Markas Komando Resort 061/
Surya Kencana. Tempat ini menjadi markas militer yang membawahi Bogor,
Sukabumi, Cianjur dan Kabupaten Bogor. Barulah di tahun 1971 tersebut ketika
jabatan Wali Kota Bogor dipegang oleh Achmad Syam, tempat tersebut difungsikan
sebagai Balai Kota Bogor.
Saat ini yang menjabat sebagai Wali Kota Bogor adalah Bima Arya Sugiarto, beliau lahir di klinik dr. Soekoyo Paledang Bogor 17 Desember 1972. Ia anak sulung dari tiga bersaudara. Seluruh keluarga besarnya berasal dari Bogor. Pendidikan dasar hingga SMA ditamatkan di Bogor. Sekolah Dasar di SDN Polisi IV kemudian lulus dari SMPN 1, dan SMAN I Bogor. Setelah menamatkan SMA pada 1991, Ia mengambil jurusan Hubungan Internasional, di Universitas Parahyangan, Bandung. Di kampus Unpar inilah “kegilaan” berorganisasi semakin tersalurkan. Sempat menjadi wakil ketua Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI), Ketua II Senat Mahasiswa FISIP dan Badan Pekerja Sekretariat Forum Mahasiswa HI Indonesia. Beberapa kali dipilih untuk mengetuai organisasi kepanitiaan dengan puncaknya pada 1995 menjadi ketua umum Panitia Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) ke VII di Gedung Asia Afrika Bandung.
Ia
melanjutkan studinya di Development Studies, Monash University, Melbourne pada
tahun 1996. Sepulang dari Melbourne pada 1998, Bima kembali ke almamaternya dan
mengawali karier sebagai staf pengajar di jurusan HI Unpar. Awal 2001, Bima
memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Dia memulai karier baru di Universitas
Paramadina. Tahun 2002, dia mendapat beasiswa dari pemerintah Australia untuk
menempuh program doktor. Pada Juni 2002, dia terbang ke Adelaide untuk memulai
program doktor ilmu politik. Saat ini Bima Arya Sugiarto aktif mengajar di
Universitas Paramadina, memimpin the Lead Institute, sebuah pusat studi di
bawah naungan Universitas Paramadina.
Bima kemudian menjadi salah satu deklarator berdirinya PAN pada tahun 1998 dan menjabat sebagai Sekretaris DPD PAN Kota Bandung pada tahun 1998-2000. Saat ini Bima menjabat sebagai Ketua DPP Bidang Politik dan Komunikasi.
Bima
adalah putra dari Toni Sugiarto, seorang perwira polisi. Ketika Bima
dilahirkan, ayahnya berpangkat Kapten. Ketika wafat pada tahun 1997 ayahnya
masih bertugas sebagai anggota DPR dari fraksi ABRI dengan pangkat Brigadir
Jendral. Semasa hidupnya Toni Sugiarto dikenal sebagai tokoh Bogor, pemimpin
yang sangat merakyat dan luas pergaulannya di Kota Bogor. Beliau adalah salah
satu tokoh Bogor yang banyak berkiprah dibidang organisasi kemasyarakatan di
Bogor, salah satunya melalui Paguyuban Bogoriensis yang ia dirikan beserta
tokoh-tokoh Bogor lainnya. Toni Sugiarto adalah Ketua Umum Paguyuban
Bogoriensis tahun 1993-1997. Walikota Bogor Diani Budiarto yang ketika itu
masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata sempat pula terlibat dalam
aktivitas Paguyuban Bogoriensis.
Semangat dari Paguyuban Bogoriensis inilah yang 14 tahun kemudian dilanjutkan oleh Bima Arya menjadi Paguyuban Bogor. Walikota Bogor Diani Budiarto meresmikan berdirinya Paguyuban Bogor pada tanggal 17 Desember 2011. Didukung oleh sejumlah tokoh senior di Bogor seperti Dewi Pandji, H. Karna Sapoetra, H. Atjep Zainal Arifin, H. Koerman Sabur dan dimotori para aktivis muda Bogor, organisasi ini bergerak di bidang sosial ekonomi, budaya, dan pendidikan.
Ibunda dari Bima Arya, Melinda Susilarini adalah juga figur yang penuh dengan prestasi di Bogor. Melinda adalah Juara kedua Ratu Pariwisata Karesidenan Bogor, setelah itu menjadi Juara kedua Ratu Pariwisata Jabar, dan kemudian pada tahun 1971 mewakili Bogor di pentas nasional terpilih menjadi juara kedua Ratu Indonesia. Kakek Bima Arya, Barna Muhammad (dari pihak ibu) adalah Kepala Rumah Tangga Istana Bogor pada jaman Presiden Soekarno dan R. Soekojo, (dari pihak ayah) adalah pensiunan pegawai kehutanan yang ketika itu tinggal di Gang Nurkas, Paledang Bogor (13 November 52)
Bima Arya menikah dengan Yane Ardian, seorang gadis Bogor pada 28 Desember 2002. Yane lahir di Panaragan Bogor dan keluarga Yane tinggal di Gang Aut Bogor. Ayah Yane almarhum Ardi Rahman (Tan Ki Hoan) semasa hidupnya adalah pengusaha angkot. Bima dan Yane kini dikaruniai dua orang anak, Kinaura Maisha (Kin), putri berusia 8 tahun dan Kenatra Mahesha (Ken) putra berusia 4 tahun.
Kenangan Societeit Harmonie terus memudar. Kalau ada kasus yang bisa membangkitkannya, paling-paling berupa cerita dan foto-foto lama berseliweran. Ada penyesalan tersirat dalam ekspresi wajah kawasan Harmonie saat ini. Sebuah hal yang kita sesalkan karena melupakan perkataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles: Jangan pernah menghancurkan apa yang tidak dapat Anda bangun kembali.
Balai Kota Bogor termasuk dalam daftar bangunan Cagar Budaya Bogor. Meskipun bangunan ini sudah dipindah tempatkan dari Jakarta ke Bogor, gedung bersejarah ini tetap menjadi destinasi para masyarakat sekitar. Bahkan disisi pintu masuk Gedung Balai Kota ini memfasilitasi sebuah bus yang biasa masyarakat sekitar sebut dengan nama Uncal. Dimana, bus ini membawa kita kebeberapa tempat untuk mengetahui sejarah dari Kota Hujan ini, dengan ditemani Para Tour Guide yang siap mendongengi penumpang saat perjalanan. Tidak ditanggung biaya sama sekali, cukup scan barcode yang diberikan petugas lalu menunggu giliran untuk menaiki Uncal tersebut.
Sekarang, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Wali kota Bogor. Seperti halnya beberapa perkantoran Kota Bogor lainnya, pada bagian belakang gedung terdapat bangunan tambahan (tidak menempel pada bangunan lama), seperti gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pendidikan dan sebagainya.
Pakuan adalah sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran yang terkenal pada pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baginda Maharaja) yang penobatanya tepat pada tanggal 3 Juni 1482, yang selanjutnya hari tersebut dijadikan hari jadi Bogor, karena sejak tahun 1973 telah ditetapkan oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor sebagai hari jadi Bogor dan selalu diperingati setiap tahunnya sampai sekarang. Sejak itu, bangunan tersebut digunakan sebagai Balai Kota Bogor dan terus membenahi perkantoran Pemerintah Kota Bogor dengan membangun beberapa gedung perkantoran yang berada di bagian belakang Gedung Balai Kota Bogor.
Sekadar mengetahui. Pada masa ini lokasi gedung Societeit ini adalah lokasi Bank Mandiri yang sekarang. Diberbagai tulisan, ditulis eks Societeit Buitenzorg ini adalah cikal bakal gedung Balai Kota Bogor yang sekarang. Namun tampaknya itu semua keliru. Gedung Balai Kota Bogor yang sekarang sesungguhnya adalah eks Hotel Buitenzorg (lihat Peta 1880) yang sejak 1890an keberadaan hotel ini menghilang tetapi gedungnya tetap eksis, yang besar kemungkinan difungsikan sebagai tempat tinggal. Kelak menjadi kantor/rumah Burgemeester Buitenzorg. Dengan demikian, gedung Societeit bukan menjadi gedung Balai Kota Bogor; lokasi gedung Societeit menjadi lokasi bangunan-bangunan yang berada di Bank Mandiri yang sekarang.
Kisah dibalik perjalanan ke Kota Hujan
Disini, kami kembali lagi untuk menepati janji saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota Hujan ini. Jauhnya perjalanan yang kami tempuh, sama sekali tidak membuat kami mengeluh. Tiga jam yang cukup banyak membuang tenaga, kami adu kepada semesta yang sudah mau bersahabat dengan kami saat itu. Banyak hal yang kami dapatkan di kota ini, terutama cerita sejarah sebuah gedung yang kami teliti. Tak hanya mencari tahu tentang Gedung Balai Kota Bogor, kami juga mengelilingi seperempat dari kota Bogor ini. Salah satu tempat yang membuat kami terkesan ialah, Kebun Raya Bogor. Sedari awal, kami sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, dan baru kali ini kami berkesempatan mengunjungi salah satu tempat yang orang-orang sering kunjungi saat pergi ke Bogor. Kota Bogor disebut juga dengan 'Kota Hujan', kenyataannya memang benar seperti itu, kami benar-benar diguyur oleh rintikan air hujan. Namun untungnya sesaat kemudian langit kembali cerah dan kami melanjutkam perjalanan kami. Sesampainya disana, kami berkeliling mencari tempat-tempat yang cocok untuk menjadi ‘ruang’ istirahat dan tempat untuk menumpahkan semua keluh kesah kami.
Pilihan kami jatuh kepada taman kecil yang ada di sana, Taman Meksiko, begitulah yang
tertulis dipapan nama tak jauh dari tempat kami berdiri. Kami pun lekas
menggelar alas diatas rerumputan hijau dan fokus menikmati keindahan alam di
sana. Sembari
menunggu kelompok Ketua Kelas kami yang mendapatkan tempat paling jauh dari Kebun Raya. Tepatnya di
Institut Pertanian Bogor, mereka membutuhkan waktu
satu jam perjalanan.
Lamanya waktu yang kami habiskan untuk menunggu teman kami yang lain, membuat kami sangat jenuh, kami pun akhirnya bertukar cerita satu sama lain. Banyaknya topik yang kami bahas, membuat kami semakin dekat dengan satu sama lain. Mulai dari topik persahabatan, konflik antar kelas, bahkan masalah percintaan satu persatu kami luapkan disana. Dua jam berlalu, orang yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Dan semua cerita yang sebelumnya rumpang, kini sudah rampung. Harap-harap Bogor tetap menjadi Kota pelajar yang selalu bersahabat dengan semesta indah kami ini, terutama bumi kami. Sederhananya, semua ini adalah kenangan yang hanya tinggal cerita.
========================