Sejak 2010 pemerintah mulai menggodok kurikulum pendidikan nasional baru
sebagai pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Alasannya,
kurikulum lama sudah ”ketinggalan zaman” dan tidak dapat menghasilkan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi berpikir analitis dan
kreatif.
Berdasarkan laporan McKinsey Global Institute ”Indonesia
Today”, yang selalu menjadi acuan pemerintah, kompetensi dan
kreativitas pelajar Indonesia berada di bawah Jepang, Thailand,
Singapura, dan Malaysia, terutama di bidang matematika dan sains.
Padahal, kedua bidang itu merupakan dasar dari kemampuan berpikir
rasional.
Harapan pemerintah, kurikulum yang baru itu juga akan
mampu menjawab konvergensi peradaban. Ada keinginan, Indonesia tidak
sekadar membangun ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun peradaban
dunia. Untuk mencapai itu, kompetensi siswa dan guru mau tidak mau harus
diubah karena tuntutan zaman pun berubah.
Hanya saja, bagi
sebagian kalangan, rumusan kurikulum sementara yang muncul justru
bertolak belakang dengan semua harapan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ”hilang” dari kurikulum.
Hal itu segera menuai kritik dan protes, terutama di kalangan ilmuwan.
Di
dalam lingkaran tim penyusun kurikulum yang baru itu pun masih terjadi
silang pendapat. Sebagian menilai dua mata pelajaran itu lebih baik
menjadi obyek pembelajaran saja dan tidak perlu muncul sebagai mata
pelajaran tersendiri. Namun, sebagian lagi menilai dua bidang itu lebih
baik dimunculkan sebagai mata pelajaran tersendiri di kelas IV, V, dan
VI sekolah dasar (SD).
Belum ada keputusan final karena naskah
kurikulum saat ini masih berada di tahap uji publik yang akan berakhir
dua pekan mendatang.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh dalam berbagai kesempatan selalu menjelaskan, kedua mata pelajaran
itu tidak dihilangkan, tetapi menjadi obyek pembelajaran dalam tematik
integratif. Artinya, kedua bidang itu tidak menjadi mata pelajaran
tersendiri, tetapi bergabung ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
”Misalnya,
ketika membahas sungai di Bahasa Indonesia, dari sisi IPA masuk materi
soal curah hujan, lingkungan, dan sebagainya. Materi IPS-nya masuk dalam
bentuk manfaat sungai bagi masyarakat, perlunya menjaga lingkungan, dan
sebagainya,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
Kemdikbud Suyanto menjelaskan, materi IPA atau IPS itu akan lebur ke
dalam tema-tema yang telah ditentukan. Semua fenomena alam sejatinya
bisa dimasukkan ke dalam pelajaran membaca di Bahasa Indonesia.
Penggabungan
itu dilakukan karena jumlah mata pelajaran kini dipadatkan. Seperti di
SD, mata pelajaran dipadatkan dari 10 mata pelajaran menjadi enam mata
pelajaran, yakni Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, dan Matematika, sebagai
mata pelajaran pokok. Mata pelajaran lain adalah Olahraga dan Kesehatan
Jasmani serta Seni Budaya dan Prakarya. Meski jumlah mata pelajaran
dipadatkan, lama belajar di sekolah ditambah dari 26 jam menjadi 30 jam
per minggu.
Bingung
Penggabungan IPA dan
IPS ke balam Bahasa Indonesia disesalkan banyak kalangan karena
dikhawatirkan justru akan memperburuk kemampuan nalar dan logika siswa.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto menjelaskan, selama
ini siswa ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah dan dibuat fokus
mengejar kecakapan kedaluwarsa, seperti kognitif rutin. Anak-anak
jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21 yang
bernalar tingkat tinggi. ”Rangkaian kebijakan pendidikan nasional justru
kerap bertolak belakang seperti kurikulum baru ini,” ujarnya.
Bagi
banyak pihak, langkah penggabungan ini justru membingungkan. Mengapa
bukan sebaliknya, materi Bahasa Indonesia masuk ke mata pelajaran IPA
dan IPS atau semua mata pelajaran. Bahasa Indonesia justru akan lebih
fleksibel untuk diintegrasikan ke dalam tema apa pun.
Guru SMA
Negeri 13 Jakarta, Retno Listyarti, menilai lebih baik Bahasa Indonesia
digabung ke mata pelajaran lain daripada mata pelajaran IPA dan IPS
dihilangkan. Lebih baik Bahasa Indonesia saja yang masuk ke mana-mana.
Namun, ia juga menyadari bahwa jika Bahasa Indonesia dihilangkan, bisa
jadi akan ada penilaian tidak nasionalis.
”Padahal, substansinya
bukan soal nasionalis atau tidak. Saya, kalau disuruh mengajar atau
menulis buku tentang Bahasa Indonesia, juga pasti akan bingung,” kata
Retno.
Suyanto menegaskan, tidak mungkin Bahasa Indonesia
digabungkan ke mata pelajaran lain karena akan bertentangan dengan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam aturan
perundang-undangan itu disebutkan bahwa Bahasa Indonesia harus berdiri
sebagai mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum.
Dosen Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, Sam Mukhtar
Chaniago, tidak sependapat jika konten IPA dan IPS diintegrasikan ke
dalam Bahasa Indonesia meski hal itu bisa saja dilakukan. Dalam konteks
ini, secara substantif bahasa Indonesia tetap menjadi materi utama,
sementara IPA dan IPS hanya berfungsi sebagai teks atau bahan bacaan.
Sebagai bahan bacaan, teks IPA dan IPS hanya akan ditujukan untuk
mendapatkan pemahaman murid terhadap teks seperti bahan bacaan lain.
”Akibatnya, pengetahuan konseptual tentang ke-IPA-an dan ke-IPS-an tidak akan dapat dipahami siswa secara maksimal,” kata Sam.
Jika
sebatas teks, penekanan tentu lebih difokuskan untuk meningkatkan
keterampilan membaca. Jika teks itu dibacakan guru, aspek yang
dikembangkan adalah keterampilan menyimak. Jika teks itu didiskusikan
atau menjadi bahan diskusi, aspek berbahasa yang dikembangkan adalah
keterampilan berbicara. Jika isi teks itu dikembangkan menjadi tulisan,
yang dikembangkan adalah keterampilan menulis.
”Kalau begitu,
keempat keterampilan berbahasa itu bisa dikembangkan dengan memakai
wacana atau teks IPA, IPS, olahraga, seni, atau apa pun,” ujarnya.
Sam
menilai, jika akan digunakan prinsip pembelajaran tematik integratif,
sebenarnya tidak perlu ada penghapusan mata pelajaran apa pun karena
semua pelajaran bisa diajarkan kepada siswa. Sam mencontohkan integrasi
beberapa mata pelajaran yang memiliki keterikatan yang kuat dan mengikat
dengan Bahasa Indonesia, yakni Sains, Bahasa Indonesia, dan Matematika
(SBM); Sosial, Bahasa Indonesia, Seni Budaya, dan Muatan Lokal (SBSBM);
Agama, Bahasa Indonesia, dan PPKn (ABP); serta Pendidikan Jasmani,
Kesehatan, Pengembangan Diri, dan Bahasa Indonesia (PPB).
”Bahasa Indonesia berfungsi sebagai mata pelajaran pengikat atau pemandu mata pelajaran terkait (language across curriculum). Dengan cara ini siswa sebenarnya hanya belajar empat rumpun pelajaran,” kata Sam.
Melihat
pro-kontra kurikulum baru, ada baiknya sebelum diterapkan, kurikulum
baru ini diujicobakan di sejumlah sekolah. Jika setelah dievaluasi
hasilnya ternyata bagus, barulah diterapkan di semua sekolah.