Sinta, Santo, Santi, Sunti, dan Senti
(oleh: Abank Juki aka temennya Kang Cilok yang jarang jualan)
Namaku Sunti. Kakak perempuanku bernama Santi. Adikku yang pertama bernama Sinta dan yang terakhir bernama Senti.
Kak Santi sudah punya pacar. Seringkali pacarnya datang ke rumah, tapi Kak Santi belum pulang kuliah. Akhirnya terpaksa aku menemani pacarnya itu ngobrol sampai Kak Santi pulang.
Pacar Kak Santi sedikit ahli servis motor karena memang dia kuliah di bidang otomotif. Kadang ketika ada kerusakan kecil dan baut-baut di motor kami yang kendor, sambil menunggu kedatangan Kak Santi, dialah yang memperbaiki motor dan memperkuat baut-baut tersebut.
Soal makanan biasanya pacar kakakku itu suka membawakan cumi-cumi goreng saus tiram. Kami memang suka makanan dari pacar kakakku itu.
Ketika Kak Santi pulang biasanya aku langsung menyingkir ke kamar dan membiarkan mereka berdua. Orang tua kami tidak terlalu khawatir dengan mereka berdua asalkan tidak melewati betas.
Mereka sih biasanya nonton TV di ruang keluarga. Kadang cuma ngobrol ngalor-ngidul atau melihat koleksi foto-foto berdua di hape masing-masing.
Membosankan menurutku, tapi hanya itulah yang bisa mereka lakukan di rumah. Jangan berharap lebih atau terima risiko dipecat dari daftar penerima warisan.
Orang tua kami bukan orang kaya raya. Mobil Avanza cuma 1, itu pun beli bekas. Lebih sering masuk bengkel daripada masuk parkiran mal.
Awalnya semua berjalan lancar hingga suatu saat pacar Kak Santi datang ketika aku sedang mandi. Sinta yang kebetulan sedang nonton TV membukakan pintu. Setelah pacar kakakku duduk, dia langsung pergi ke kamar.
Aku yang tak tahu kedatangan dia langsung saja keluar kamar mandi. Untung saja aku sudah mengenakan baju di kamar mandi.
Aku terkejut dan sedikit berlari ke kamar. Sialnya aku malah terpeleset dan jatuh. Aku terlentang tak sadarkan diri karena membentur meja. Posisiku persis di hadapan pacar kakakku itu.
Oya, nama pacar kakakku adalah Santo. Nama panjangnya sih, Eko Dwi Santoso. Bang Santo panggilannya.
Dia kaget ketika aku pingsan terlentang dengan rambut yang masih basah. Sejenak dia bingung. Diam atau menolong? Akhirnya dia mendekatiku dan menampar pelan sembari memanggil namaku.
Karena aku tak merespon, dia berteriak memanggil Sinta. Tidak ada orang lain. Orang tuaku belum pulang kerja. Sinta bergegas menghampiri. Tapi, dia malah lebih histeris dan berteriak-teriak memanggil namaku.
Aku mendengar teriakan Bang Santo dan Sinta, ingin rasanya aku menjawab panggilan mereka, tapi lidah dan seluruh ragaku kaku tak mau menuruti perintah otak dan hati.
Beberapa waktu kemudian Bang Santo membopongku dan memindahkan ke sofa. Entah sengaja atau tidak, ada bagian sensitif diriku yang tersentuh jemarinya.
Bang Santo masih panik dan bingung. Dia akhirnya mendapatkan ide untuk membawaku ke rumah sakit. Dipesannyalah taksi online menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana aku langsung dibawa ke UGD.
Setelah ditangani dokter, Bang Santo mendapat penjelasan bahwa benturan di kepalaku cukup parah. Kondisiku dinyatakan koma. Dokter bilang semoga ada keajaiban datang.
Kedua orang tuaku sudah ditelpon berkali-kali, tapi tak satupun panggilan yang dijawab. Sinta dan Senti yang turut ke rumah sakit juga sudah coba menghubungi lewat WA dan medsos lainnya, tapi semuanya cuma ceklis abu-abu alias belum dibaca.
Kami juga terkadang bingung. Orang tua kami hanya berjualan di sebuah kios kecil di seberang sekolah. Makanan yang dijajakan juga hanya cilok, cimin, cilung, cireng, dan berbagai cici yang lainnya. Tapi, kesibukan mereka melebihi manajer HRD di perusahaan asing.
Kami sudah terbiasa ditinggal di rumah. Aku yang masih menganggur selepas SMA bertugas mengantar jemput Senti yang masih sekolah di kelas 5 SD. Juga menemani dia di rumah selagi orang tua kami belum pulang.
Nah, Bang Santo inilah yang menambah keceriaan di tengah kesunyian hidup kami. Sambil menunggu Kak Santi pulang, Bang Santo sering menceritakan kisah-kisah lucu dari Facebook, terutama dari grup Komunitas Bisa Menulis. Kadang garing, sih. Tapi, lebih baik garing daripada tak ada tawa sama sekali.
Oya, Kak Santi pun sepertinya mengikuti gaya orang tua kami. Sok sibuk dan sulit dihubungi. Berbagai cara sudah dicoba, tapi belum ada respon.
Sudah sekitar dua jam aku terbaring kaku. Kedua orang tuaku dan Kak Santi masih belum juga datang. Aku bisa mendengar percakapan Bang Santo dan kedua adikku. Ia panik, tapi sanggup mengontrol dirinya dan menenangkan Sinta dan Senti. Aku hanya terdiam kaku tak mampu menggerakkan lidah sama sekali.
Sesekali Bang Santo mengusap keningku dan mengelus-elus punggung tanganku. Aku bisa merasakan sentuhan itu, tapi aku tak mampu merespon balik.
Tiga jam sudah berlalu. Tiba-tiba aku melihat cahaya putih. Terang dan semakin terang. Suara alat pemantau denyut nadi dan lainnya menunjukkan bunyi peringatan. Perawat dan dokter jaga bergegas datang. Mereka memberi penanganan lanjutan.
Suara-suara alat di ruangan UGD semakin gaduh, ditambah suara kepanikan Bang Santo, Sinta, dan Senti. Sepertinya mereka mulai menangis. Cahaya putih yang tadi kulihat semakin terang. Sekelilingku kini berwarna putih semua.
Tak berapa lama kemudian, suara-suara alat menghilang. Sepertinya sudah dilepas dari tubuhku dan dinonaktifkan. Sayup kudengar dokter meminta maaf kepada Bang Santo. Dokter meminta Bang Santo dan kedua adikku untuk bersabar dan menerima hal ini.
Mereka menangis histeris. Aku masih bisa mendengar teriakan tangis kedua adikku itu. Senti menangis paling keras. Terus tak berhenti. Perlahan aku merasa ada suara di dekat telingaku. Aku masih bisa mendengarnya.
“Sunti, selama ini aku berpura-pura. Sebenarnya aku tak mencintai kakakmu. Aku datang hanya untuk menemuimu. Kakakmu hanyalah alibiku untuk menemuimu. Maafkan aku belum sempat berterus terang. Aku sayang kamu, Sunti.”
Itulah suara yang terakhir kudengar. Setelah itu, semuanya hening, sepi.
*** Tamat ***
Bekasi, 21062019
Read more:
http://basando.blogspot.com/
Under Creative Commons License:
Attribution Non-Commercial
Follow us:
@Basando on Twitter
|
Basando on Facebook