Air Mata Ara
oleh: Abank Juki
Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang gadis cantik bernama Azzahra yang biasa dipanggil Ara. Kehidupan Ara penuh dengan kebahagiaan sederhana bersama ayah dan ibunya. Ayahnya adalah seorang petani yang rajin, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh kasih sayang. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ayah Ara tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia, meninggalkan Ara dan ibunya dalam kesedihan yang mendalam.
Setelah kepergian ayahnya, Ara dan ibunya harus berjuang untuk bertahan hidup. Mereka memutuskan untuk berjualan gorengan di pinggir jalan. Setiap pagi, Ara membantu ibunya menyiapkan bahan-bahan dan menggoreng makanan yang akan dijual. Meskipun hidup mereka sulit, Ara tidak pernah menyerah pada mimpinya untuk menyelesaikan pendidikan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Ara semakin terbiasa dengan rutinitas barunya. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk membantu ibunya menyiapkan gorengan. Setelah itu, ia pergi ke sekolah dengan semangat yang tinggi. Di sekolah, Ara dikenal sebagai siswa yang cerdas dan rajin. Guru-gurunya sangat mengagumi ketekunan dan semangatnya.
Namun, di balik senyum dan semangatnya, Ara menyimpan kesedihan yang mendalam. Ia merindukan ayahnya setiap hari dan sering kali merasa kesepian. Ibunya selalu berusaha menghiburnya dan memberikan dukungan penuh. “Kita harus kuat, Nak. Ayahmu pasti bangga melihatmu berjuang seperti ini,” kata ibunya suatu hari.
Dengan tekad yang kuat, Ara berhasil lulus SMA dengan nilai yang baik. Namun, impian untuk melanjutkan kuliah tampak jauh dari jangkauan karena keterbatasan finansial. Suatu hari, saat sedang berjualan, Ara bertemu dengan seorang pria baik hati bernama Pak Anwar. Pak Anwar adalah seorang pengusaha sukses yang terkesan dengan ketekunan dan semangat Ara.
Pak Anwar adalah seorang pengusaha sukses yang dikenal karena kebijaksanaannya dalam berbisnis. Ia memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari properti hingga teknologi. Meskipun telah mencapai puncak kesuksesan, Pak Anwar tetap rendah hati dan sering turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi masyarakat.
Suatu hari, Pak Anwar memutuskan untuk mengunjungi sebuah pasar tradisional di kota kecil tempat ia dibesarkan. Di sana, ia bertemu dengan Ara, seorang gadis muda yang menjual gorengan di pinggir jalan. Ara dikenal sebagai penjual yang jujur dan ramah. Setiap hari, ia bekerja keras untuk membantu keluarganya.
Pak Anwar tertarik dengan kejujuran Ara dan memutuskan untuk mengujinya. Ia membeli beberapa gorengan dan memberikan uang lebih dari yang seharusnya. "Ini uangnya, Mbak," kata Pak Anwar sambil menyerahkan uang tersebut.
Ara menghitung uang itu dan menyadari bahwa jumlahnya lebih banyak dari yang seharusnya. Tanpa ragu, ia mengembalikan kelebihan uang tersebut kepada Pak Anwar. "Maaf, Pak. Uangnya kelebihan. Ini kembaliannya," kata Ara dengan senyum tulus.
Pak Anwar tersenyum dan merasa kagum dengan kejujuran Ara. "Terima kasih, Nak. Kamu benar-benar jujur," katanya. "Saya adalah Pak Anwar, seorang pengusaha di kota ini. Saya ingin menawarkan kamu pekerjaan di perusahaan saya. Saya butuh orang-orang jujur seperti kamu."
Ara terkejut dan merasa sangat bersyukur. "Terima kasih banyak, Pak Anwar." jawab Ara dengan mata berbinar.
"Tapi, saya hanya lulusan SMA, Pak." lanjut Ara dengan perlahan.
Pak Anwar terdiam sejenak lalu menawarkan untuk menjadi ayah asuh Ara dan membantunya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan dukungan Pak Anwar, Ara berhasil masuk ke universitas dan meraih gelar sarjana. Selama masa kuliah, Ara juga menjalin persahabatan yang erat dengan anak lelaki Pak Anwar yang tampan dan baik hati, bernama Ferdi.
Namun, kehidupan Ara tidak selalu berjalan mulus. Di kampus, Ara menghadapi persaingan ketat dan tekanan akademis yang tinggi. Selain itu, ada beberapa teman sekelas yang iri dengan keberhasilannya dan mencoba menjatuhkannya dengan berbagai cara. Mereka menyebarkan rumor buruk tentang Ara dan berusaha membuatnya merasa tidak nyaman.
Ara merasa tertekan dan hampir menyerah. Namun, dengan dukungan dari Pak Anwar, ibunya, dan Ferdi, ia berhasil bangkit kembali. Ia belajar untuk tidak terpengaruh oleh omongan orang lain dan fokus pada tujuannya. Ara bekerja keras dan akhirnya lulus dengan predikat cum laude.
Pada hari kelulusan, Ara berdiri di atas panggung dengan toga dan topi wisuda. Saat namanya dipanggil, ia melangkah maju dengan hati yang berdebar. Ketika menerima ijazahnya, air mata mengalir di pipinya. Ia melihat ke arah ibunya yang duduk di barisan depan, tersenyum bangga sambil menghapus air mata. Pak Anwar dan Ferdi juga hadir, memberikan tepuk tangan meriah.
Setelah upacara kelulusan, Ara berlari ke arah ibunya dan memeluknya erat. “Terima kasih, Bu. Terima kasih untuk semua pengorbanan dan dukunganmu,” kata Ara dengan suara bergetar. Ibunya membalas pelukan itu dengan hangat. “Ayahmu pasti sangat bangga padamu, Nak. Kamu telah mewujudkan impian kita,” jawab ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Anwar dan Ferdi mendekat, memberikan ucapan selamat. “Kami sangat bangga padamu, Ara. Kamu telah membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja keras, semua impian bisa tercapai,” kata Pak Anwar. Ferdi, dengan senyum hangatnya, menambahkan, “Aku selalu percaya padamu, Ara. Kamu luar biasa.”
Ferdi adalah putra tunggal Pak Anwar, seorang pengusaha sukses yang dikenal di seluruh kota. Sejak kecil, Ferdi hidup dalam kemewahan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, meskipun memiliki segalanya, Ferdi merasa ada yang kurang dalam hidupnya.
Sementara itu, Ara adalah anak yatim yang diangkat menjadi anak asuh oleh Pak Anwar setelah melihat kejujurannya saat menjual gorengan di pasar. Ara adalah gadis yang cantik, sederhana, dan penuh semangat. Kehadirannya membawa kehangatan baru di rumah Pak Anwar.
Ferdi awalnya tidak terlalu memperhatikan Ara. Baginya, Ara hanyalah seorang gadis biasa yang tinggal di rumah mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, Ferdi mulai melihat sisi lain dari Ara. Ia terpesona oleh ketulusan dan kebaikan hati Ara. Setiap kali Ara tersenyum, Ferdi merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu malam, saat Ferdi sedang duduk di taman belakang rumah, Ara datang menghampirinya. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari mimpi-mimpi mereka hingga kenangan masa kecil. Ferdi merasa nyaman berbicara dengan Ara, dan tanpa disadari, ia mulai jatuh cinta pada gadis itu.
Namun, Ferdi merasa ragu untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut jika perasaannya akan merusak hubungan mereka yang sudah baik. Selain itu, ia juga khawatir bagaimana reaksi ayahnya jika mengetahui bahwa ia jatuh cinta pada anak asuhnya sendiri.
Suatu hari, Ferdi memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya. "Ayah, aku ingin bicara sesuatu yang penting," kata Ferdi dengan suara bergetar.
Pak Anwar menatap putranya dengan penuh perhatian. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Ferdi?"
Ferdi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengungkapkan perasaannya. "Ayah, aku jatuh cinta pada Ara. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku benar-benar mencintainya."
Pak Anwar terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Ferdi, cinta tidak pernah salah. Jika kamu benar-benar mencintai Ara, maka ungkapkanlah perasaanmu padanya. Ara adalah gadis yang baik, dan aku yakin dia akan mengerti."
Dengan dorongan dari ayahnya, Ferdi akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada Ara. Di bawah sinar bulan yang lembut, Ferdi menggenggam tangan Ara dan berkata, "Ara, aku mencintaimu. Aku tahu ini mungkin mengejutkan, tapi aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi."
Ara terkejut, namun senyumnya perlahan muncul. "Ferdi, aku juga mencintaimu. Aku hanya tidak berani mengatakannya karena aku takut merusak hubungan kita."
Mereka berdua tertawa dan merasa lega. Cinta mereka akhirnya terungkap, dan mereka berjanji untuk selalu bersama, menghadapi segala tantangan yang ada di depan mereka.
Ara dan Ferdi semakin dekat dan akhirnya cinta mereka semakin tumbuh. Mereka memutuskan untuk menikah, dan Ara merasa sangat bersyukur atas semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh Pak Anwar dan keluarganya. Kehidupan Ara yang penuh perjuangan akhirnya berbuah manis, dan ia menjalani hidup bahagia bersama keluarga barunya. Tak lupa ia mengajak ibunya untuk tinggal bersama di rumahnya yang baru. Kini ibunya tak perlu lagi berjualan gorengan seperti dahulu.
Mengingat perjuangannya dahulu, Ara selalu meneteskan air mata. Tapi, kini ada Ferdi yang selalu menyeka air matanya.
*** TAMAT ***
========================