Translate

Jumat, Maret 01, 2013

Profesor-Profesor Termuda di Dunia - 18 dan 19 Tahun

Alia Sabur



Wanita kelahiran Northport, New York 22 Februari 1989 ini meraih gelar profesor di bidang matematika saat berusia 18 tahun 362 hari. Pemegang sabuk hitam tae kwon do di usia 9 tahun ini menjadi profesor termuda di dunia, menumbangkan rekor Colin Maclaurin yang bertahan selama 293 tahun. Maclaurin meraih gelar profesor di usia 19 tahun pada 1717.

***


Colin Maclaurin

  

Pria kelahiran Kilmodan, Skotlandia, Februari 1698 ini adalah mahasiswa penemu teori gravitasi Sir Isaac Newton. Maclaurin meraih gelar profesor di bidang matematika saat mengikuti acara 10 hari kompetisi matematika di Marischal College, Universitas Aberdeen pada 1717 saat berusia usia 19 tahun. Dia memegang rekor sebagai profesor termuda selama 293 tahun hingga akhirnya dikalahkan Alia Sabur pada Maret 2008 yang meraih gelar profesor di usia 18 tahun 362 hari.






Tulisan ini sudah dibaca Free Hit Counter kali

Read more »

Firmanzah - Dekan Fakultas Ekonomi UI Termuda - Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Firmanzah, kini memiliki jabatan baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk dirinya menjadi salah satu staf khusus Presiden bidang ekonomi.

 http://www.ui.ac.id/images/images/fiz_1.jpg


"Memang sejauh ini belum ada bidang ekonomi. Presiden membutuhkan masukannya," kata Juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Halim Perdanakusuma, Jumat (15/6).

Sementara itu, Firmanzah mengaku merasa terhormat dengan tawaran baru itu. Mengingat sejauh ini, ia mengaku baru berkecimpung di dunia kampus. "Ini sebuah dunia baru selama ini besar di kampus. Sekarang mendampingi Presiden memberikan masukan dan data perekonomian dalam dan luar negeri," katanya.

Firmanzah bilang, sudah dua hari ini menjabat selaku staf khusus. Bahkan, pada kesempatan Presiden melakukan kunjungan kerja ketiga negara Amerika, Mexico, Brasil dan Ekuador dirinya turut serta.

"Ekonomi salah prioritas dan semua hal masalah ekonomi dan minta dibantu pemikiran dan analisa termasuk KTT G20 di Mexico," katanya.

Setelah menempati posisi di lingkungan Istana. Firmanzah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya selaku Dekan dan fokus menjalani hari-harinya sebagai Staf Khusus Presiden.

Perlu diketahui, Firmanzah PhD merupakan salah satu profesor termuda di kampus kuning. Meski terbilang muda, pria ini sudah mendulang banyak pujian dari kalangan intelektual atas prestasinya.

Ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi UI sejak 2009, sekaligus menobatkan dirinya sebagai dekan termuda dalam sejarah UI. Saat lulus SMA, Ia kuliah di Fakultas Ekonomi UI dan lulus dalam waktu 3,5 tahun.

Ia sempat menjajal dunia asuransi sebagai analis pasar, sebelum memutuskan kembali ke bangku kuliah, setahun kemudian. Pria yang akrab dipanggil Fiz itu mengambil program S-2 di bidang yang sama dan menyelesaikannya dalam tempo dua tahun.

Ia melanjutkan studi di Universitas Lille di Prancis, merupakan momen titik balik Fiz mengenal dunia yang lebih luas. Ia mendalami bidang strategi organisasi dan manajemen atas beasiswa dari universitas itu.

Fiz juga menjalani studinya pada tingkat doktoral dalam bidang manajemen internasional dan strategis di Universitas Pau and Pays De l’Adour, dan selesai tahun 2005. Karena lulus tercepat di angkatannya, Fiz lantas mendapatkan tawaran beasiswa program doktoral dalam bidang manajemen strategis internasional dari University of Pau et Pays de l" Adour dan meraih PhD pada 2005.

Ia sempat mengajar setahun di almamaternya, sebelum dipanggil pulang oleh dekan FE UI saat itu dijabat oleh Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. Tiga tahun berikutnya, ketika berusia 32 tahun, Fiz terpilih sebagai Dekan ke-14 FE UI periode 2009-2013 yang tercatat sebagai dekan termuda dalam sejarah UI.

Pria yang suka melahap buku-buku filsafat ini mengidolakan filsuf dari Jerman, Schopenhauer. Ia juga mengalahkan kandidat kuat, seperti Prof Sidharta Utama PhD CFA dan Arindra A Zainal Ph.D.

Bahkan sebelum masuk tiga besar kandidat, ia bersaing dengan calon yang jam terbangnya sudah tinggi, seperti Dr Nining Soesilo (kakak kandung mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati), Dr Chaerul Djakman dan Dr Syaiful Choeryanto.

Firmansyah menghabiskan masa kecil hingga SMA di Surabaya. Ibunya, Kusweni, adalah seorang buta huruf yang bercerai ketika usianya dua tahun. Namun, Fiz kecil yang saat itu bercita-cita menjadi astronot, tak lantas minder.

Anak ke-8 dari 9 bersaudara ini justru mempelajari semangat juang tinggi dari sang ibu. Selain intisari hidup terkait dengan kesetiaan, persahabatan dan kasih sayang.



Read more »

Nelson Tansu - Profesor Termuda di Amerika Asal Indonesia

Prof. Nelson Tansu, Ph.D dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, tanggal 20 Oktober 1977. Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas di Jerman.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6xmRsnwAQ0vIW4aq4GuX2RsdcHC8aRtTN7JrCVn0AcfpVEUhZrgR-yeizKlPgIvyvFeiuswTCHSiPvrAEHe0a1HmGvbr_vVtBn5X-4BE81a0FP3rkgG1O9grB-ZVBMHaL_aDZslb51x0K/s1600/_nelson_tansu.jpg



Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan. Ia adalah lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan pada tahun 1995 dan juga menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).

Setelah menamatkan SMA, ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude. 

Setelah menyelesaikan program S-1 pada tahun 1998, ia mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilih tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada bulan Mei 2003.

Selama menyelesaikan program doktor, Prof. Nelson memperoleh berbagai prestasi gemilang di antaranya adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires juga meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.

Setelah memperoleh gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai universitas ternama di Amerika Serikat. Akhirnya pada awal tahun 2003, ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and computer engineering, Lehigh University. Lehigh University merupakan sebuah universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Amerika Serikat.

Saat ini Prof. Nelson menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3) dan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya telah dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. 

Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, baik di berbagai kota di AS dan luar AS seperti Kanada, Eropa dan Asia. Prof Nelson telah memperoleh 11 penghargaan dan tiga hak paten atas penemuan risetnya. Ada tiga penemuan ilmiahnya yang telah dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.

Ketika masih di Sekolah Dasar, Prof. Nelson gemar membaca biografi para fisikawan ternama. Ia sangat mengagumi prestasi para fisikawan tersebut karena banyak fisikawan yang telah meraih gelar doktor, menjadi profesor dan bahkan ada beberapa fisikawan yang berhasil menemukan teori (eyang Einstein) ketika masih berusia muda. Karena membaca riwayat hidup para fisikawan tersebut, sejak masih Sekolah Dasar, Prof. Nelson sudah mempunyai cita-cita ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat.

Walaupun saat ini tinggal di Amerika Serikat dan masih menggunakan passport Indonesia, Prof. Nelson berjanji kembali ke Indonesia jika Pemerintah Indonesia sangat membutuhkannya.

Dia sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di berbagai seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan, dia sering pergi ke mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia.

Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset lainnya, dua buku Nelson sedang dalam proses penerbitan. Bukan main!!

Kedua buku tersebut merupakan buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam.

Karena itu, Indonesia layak bangga atas prestasi anak bangsa di negeri rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu sampai sekarang masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum satu dekade di AS, prestasinya sudah segudang. Ke mana pun dirinya pergi, setiap ditanya orang, Nelson selalu mengenalkan diri sebagai orang Indonesia. Sikap Nelson itu sangat membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya.

"Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia," katanya, serius.

Di Negeri Paman Sam, kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan ketekunan serta prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimic pemuda itu terlihat sungguh-sungguh dan jauh dari basa-basi.

"Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja keras," kata Nelson menjawab koran ini.

Anak muda itu memang enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar dan penuh semangat. Layaknya profesor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan bahkan suka merendah. Busana kesehariannya juga tak aneh-aneh, yakni mengenakan kemeja berkerah dan pantalon.

Sekilas, dia terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik penampilannya yang seperti tak suka bicara. Tapi, ketika dia mengajar atau berbicara di konferensi para intelektual, jati diri akademisi Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang menjadi dunianya. Dia selalu peduli pada kepentingan serta dahaga pengetahuan para mahasiswanya di kampus.

Ada yang menarik di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.

"Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device physics. Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya. September hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar Nelson sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology.

"Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini," jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.

Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu dengan segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam tersebut,ada cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal Taipei tersebut merupakan wanita pertama Asian-American yang menjadi menteri selama sejarah AS.

Negara Superpower tersebut juga sangat baik menempa bakat serta intelektual Nelson. Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli 1995. Di sana, dia menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics. Sedangkan untuk PhD, dia mengambil bidang electrical engineering.

Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali," ujarnya.

Ada kisah menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akhirnya menjawab imipian Nelson tersebut.

"Jadi, terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya.

Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan sesuatu," jelasnya.

Sisihkan 300 Doktor AS, tapi Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di Amerika. Tapi, hanya sedikit yang tahu bahwa profesor belia itu berasal dari Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan famili dengan mantan PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?

NAMA Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak mengindikasikan identitas etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu, di Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengetahui, atau berkenalan dengan profesor belia tersebut.

Malah ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu muncul jika dikaitkan dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM) Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan mencantumkan nama dan kiprah Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah mereka yakin betul bahwa fisikawan belia yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari negerinya Kemal Ataturk.

Ada pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terang-terangan melamar Nelson dan meminta dia "kembali" mengajar di Jepang. Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu.

Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak professor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang memang asal Indonesia. Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala kekeliruan terhadap dirinya.

"Biasanya saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada profesor asal aslinya dari Indonesia,"jelas Nelson.

Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir, Nelson sudah diberi nama belakang "Tansu", sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu.

"Saya suka dengan nama Tansu, kok,"kata Nelson dengan nada bangga.

Nelson adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas.

"Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya.

Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit memenangi berbagai beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan penghargaan dan anugerah beasiswa yang pernah dia raih selama ini di AS.

Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang sudah menjadi cita-cita dia sejak lama. Walau demikian, posisi assistant professor (profesor muda, Red) tak pernah terbayangkannya bisa diraih pada usia 25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan keluarga atau masyarakat di Indonesia, umumnya apa yang didapat pemuda 25 tahun?

Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang status guru besar. Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1 dalam proses penerbitan.

Tapi, bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita-citanya mulia sekali. Dia akan tetap melakukan riset-riset yang hasilnya bermanfaat buat kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS, dia seperti meniti jalan suci mewujudkan idealisme tersebut.

Ketika mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan terperanjat. Cukup fenomenal. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan mimic serius.

Tapi, orang bakal mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD, Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata Sudah diakrabi Nelson cilik.

"Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu," jelas Nelson penuh kagum.

Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga hebat-hebat.


Sumber Tulisan

Read more »

Natalsen Basna - DOKTOR (S3) Termuda UGM

Natalsen Basna sumringah. Rasa bangga seolah terpencar dari senyumnya karena berhasil lulus pada ujian doctor dengan predikat comloude. Natalsen adalah doktor termuda Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan dari Tanah Papua dengan usia yang masih 30 tahun.

http://www.radarjogja.co.id/images/stories/2012/OKTOBER/25/MOCH-ASIM24102012_DOKTOR-MU.jpg

SATU per satu tamu yang hadir menyalami Natalsen usai ujian berakhir. Hampir sebagian besar tamu yang hadir adalah keluarga, kerabat, dan teman seperjuangan Natalsen. Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup Prof. Balthasar Kambuaya hadir secara langsung.

Dirinya mengaku bahwsannya kuliah adalah prioritas utama dalam hidupnya. Dorongan untuk belajar dengan giat muncul dari seorang ayah Soleman Heref Basna. Sebelum meninggal, sang ayah berpesan kepada dirinya untuk rajin belajar dan sekolah.

Akibat nasihat ayah tersebut, Natalsen bercita-cita meraih gelar setinggi-tingginya. Setelah lulus S2 pada program yang sama dirinya berniat langsung sekolah lagi mengambil program S3. ”Saya kuliah dengan biaya sendiri,” ujar Natalsen di Auditorium Fakultas Kehutanan Rabu (24/10).

Setelah lulus, Natalsen memiliki dua rencana. Yakni bekerja di Jakarta atau Papua. ”Sudah ada informasi, tapikan tidak mungkin saya bicara terang-terangan disini,” kata pria yang semasa kuliah aktif menjadi pembicara pada seminar-seminar tentang lingkungan hidup ini.Pria kelahiran tahun 1982 ini berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul Model Pengelolaan Lingkungan Taman Wisata Alam Gung Meja Berbasis Analisis Structural Equation Modelling.Disertasi tersebut terinspirasi atas tanah kelahirannya Papua yang kini hutannya semakin berkurang akibat penebangan liar dan penambangan. ”Hutan di Papua kini masih 80 persen. Jika dibiarkan, lambat laun bias habis hutan Papua,” Metode penelitian yang digunakan melalui analisis citra satelit dengan system geografi terhadap lingkungan. Dari citra satelit tersebut terlihat kurusakan hutan selama lima tahun terakhir.

Natalsen mengatakan bukan gelar doctor semata yang diinginkan ketika kuliah S3. Menurutnya, yang lebih utama adalah ketika nanti b isa menerapkan ilmunya di masyarakat.Dirinya mengakui, kondisi pendidikan di Papua tidak seperti di Pulau Jawa yang cukup banyak sekolah dan kampus. Namun setidaknya, dengan ilmu yang dia peroleh bias menularkan kepada masyarakat Papua tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan Papua.Langkah yang dapat dilakukan, adalah dengan merekayasa struktur hutan dan tanaman, yang dirancang seperti hutan alam.”Hutan di Papua bermanfaat bagi bangsa Indonesia,” ujarnya.



Read more »

Sarjana Termuda di Dunia - 11 Tahun

Bocah ini mungkin menjadi sarjana termuda di dunia. Dalam usia 11 tahun, Moshe Kai Cavalin telah lulus kuliah dari East Los Angeles College, Jumat (5/6). Bahkan, ia memperoleh dengan IPK 4,0 alias sempurna. Luar biasa!


Bocah dari seorang ibu berdarah Taiwan dan ayah Israel ini, seperti dilansir Dailymail, memulai studi di perguruan tinggi pada usia 8 tahun dan menjadi mahasiswa termuda di kampusnya. Yang menarik, dia justru memberi les privat bagi teman-teman sekelasnya yang berusia 19-20 tahun dalam mata pelajaran matematika dan fisika.

Walaupun begitu, Moshe menolak disebut sebagai bocah jenius. “Saya hanya anak biasa yang belajar tekun dan melakukan yang terbaik,” katanya, dalam wawancara dengan MSNBC, Sabtu (6/6).

Selain dikenal sebagai bocah berprestasi, Moshe juga mahir seni bela diri dan memenangkan sejumlah kejuaraan seni berperang.

“Saya tidak tertarik dengan video game, karena permainan itu tidak memberi keuntungan bagi umat manusia,” ucapnya. Bocah yang mengidolakan Albert Einstein dan Bruce Lee ini berencana ingin belajar menyelam dan menulis buku mengenai anak-anak. Ia juga ingin menulis buku mengenai kiat-kiat sukses di sekolah.


Read more »

UGM Meraih Penghargaan dari MURI atas Keberhasilan Meluluskan Sarjana Kedokteran Termuda

Universitas Gadjah Mada meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas keberhasilan meluluskan sarjana kedokteran termuda, umur 17 tahun 9 bulan atas nama Riana Helmi yang diwisuda 19 Mei 2009 lalu. Penyerahan piagam rekor MURI ini diterima secara simbolis oleh Sekretaris Eksekutif UGM Drs. Djoko Moediyanto, M.A., Sabtu (5/6) di Gedung Auditorium Fakultas kedokteran. Selain memberikan penghergaan ke UGM, MURI juga menyerahkan penghargaan kepada Riana Helmi selaku pemegang rekor lulusan termuda.

Sekretaris Eksekutif UGM Drs. Djoko Moerdiyanto, M.A., dalam sambutannya mengatakan UGM memberikan apresisai kepada MURI yang telah memberikan penghargaan kepada UGM secara kelembagaan dan Riana Helmi selaku mahasiswa yang berhasil lulus sebagai sarjana termuda. Menurut Djoko, penghargaan tersebut sebagai bentuk dari keberhasilan pendidikan yang telah diterapkan oleh Fakultas Kedokteran UGM, dimana Riana Helmi tidak hanya lulus termuda tapi meraih predikat IPK cumlaude. “Dia meraih IPK 3,67,” kata Djoko.


Sebagai sarjana termuda, kata Djoko, Riana merupakan sosok yang pantas ditauladani oleh mahasiswa lainnya. Namun begitu yang patut dicontoh lagi bimbngan dari keluarganya yang berhasil mendorong anaknya bisa mengenyam pendidikan di usia muda. “Kita patut bangga, apa yang telah dilakukan keluarganya pantas untuk kita tiru karena berhasil mendorong putrinya bisa seperti ini,” tandasnya.

Untuk Riana, Djoko berpesan agar pendidikan koasistensi yang dijalaninya sekarang ini bisa diselesaikan dengan baik. Setelah dilantik menjadi dokter, djoko berharap Riana bisa melaksankan tugasnya sebagai dokter untuk menagnai maslah kesehatan yang kian berat di tengah masyarakat. “Anda telah berhasil mengharumkan nama UGM. Saya harap setelah anda dilantik sebagai dokter, anda bisa menangani langsung masalah kesehatan di masyarakat,”kata Djoko yang juga menjabat sekretaris POTMA FK UGM ini.

Sementara Riana Helmi, mengucakan ucapan terima kasih atas penghargaan yang diterimanya. Dia pun tidak menyangka akan mendapat penghargaan dari MURI. Satu-satu orang yang telah berjasa mendidiknya disebutkan Riana telah berhasil membimbingnya hingga bisa kuliah di UGM. Mulai dari Guru, Dosen dan hingga teman seangkatan kuliahnya di FK UGM.

Namun yang lebih berjasa lagi, kata Riana adalah orang ayah dan ibunya. Terutama sang ayah yang rela menghabiskan akhir pekannya untuk datang menengok dirinya tiap minggu saat baru-baru pertama kuliah di UGM. Sedangan ibunya, menurut Riana tidaka pernah berhenti mendukungnya untuk sukses.ia ingat, ibunya selalu membantu mengerjakan tugas sekolahnya saat ia masuk kelas akselerasi di bangkku SD, SMP dan SMA.

“Kita sering mendengar,di balik kesuksesan seorang laki-laki yang hebat pasti ada seorang wanita yang hebat di belakangnya, namun lebih dari itu bagi saya, dari seorang anak yang hebat, dibelakangnya pasti ada orang tuanya yang tidak kalah hebatnya,” ujar Riana yang disambut tepuk tangan dari hadirin yang mayoritas orang tua mahasiswa yang tergabung dalam Paguyuban Orang Tua Mahasiswa (POTMA) FK UGM.

http://www.ugm.ac.id/new/files/u7/DSC01233.jpg
Museum Rekor Indonesia memberikan piagam MURI ke UGM

Semenjak beberapa tahun lalu pihak Kementerian Pendidikan Nasional mengizinkan sekolah-sekolah di Indonesia untuk melakukan program percepatan pendidikan (akselerasi), sejak SD hingga SMU. Dengan sistem akselerasi itu, maka pendidikan di SD bisa diselesaikan 4 tahun, SMP hanya 2 tahun dan di SMU hanya 2 tahun, sehingga total 8 tahun selesailah seluruh pendidikan dasar itu. Kalau si anak didik masuk SD pada usia 6 tahun, berarti dia bisa lulus SMU pada usia 14 tahun (seperti kasus Riana diatas itu).

Selanjutnya pendidikan di S1 itu, secara teoritis bisa diselesaikan paling cepat sekitar 3 tahunan (@ 24 SKS persemester, sehingga Universitas yang mengambil jumlah total SKS sebanyak 144 SKS untuk sarjana S1, bisa diselesaikan si mahasiswa hanya dalam 6 semester atau 3 tahun. Apalagi kalau fakultas yang bersangkutan, menyelenggarakan pula program semester singkat atau semester pendek, mengisi waktu kosong saat perpindahan semester ganjil ke semster genap setiap tahunnya). Itu artinya si anak didik bisa menyelesaikan studi S1 bisa pada usia 17 tahun. Dan, sekiranya dia dulu masuk SD pada usia 5 tahun (banyak terjadi sebenarnya), maka si anak akan lulus lebih cepat lagi yaitu sekitar usia 16 tahun.

Kalau dia terus ke pascasarjana, di luar negeri program master (S2) ada yang bisa diselesaikan hanya dalam 1 tahun saja, dan bila lanjut ke S3 (Ph.D program), kalau dia memang cerdas, di dalam dan di luar negeri … ada yang bisa menyelesaikan cuma dalam awaktu 1,5 tahun. Di UI beberapa waktu lalu, bahkan ada Doktor ilmu ekonomi yang bisa meyelesaikan disertasi doktornya hanya 1,3 tahun. Dus berarti, kalau si Riana dibiarkan studi terus hingga mencapai gelar Ph.D, dia bisa menjadi Doktor pada usia 20 tahun depan.



Read more »

Peraih Gelar Sarjana Kedokteran pada Usia 17 Tahun 11 Bulan

Prestasi akademis Riana Helmi sungguh luar biasa. Mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengantongi gelar sarjana kedokteran pada usia 17 tahun 11 bulan. Calon dokter yang tidak suka bermain boneka itu sekaligus pemegang gelar sarjana termuda dalam wisuda UGM Selasa (19/5/2010).



Riana meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,67. Masa kuliahnya tiga tahun enam bulan. Perempuan kelahiran Banda Aceh, 22 Maret 1991, itu masuk Fakultas Kedokteran (FK) UGM Jogjakarta melalui PBS (penelusuran bakat swadana) usia 14 tahun pada 1 September 2005. Dia lulus 25 Februari 2009.

Saat acara wisuda di Grha Sabha Pramana, Rektor UGM Prof Sudjarwadi menyebut nama Rinana dan meminta untuk berdiri. Riana merebut perhatian peserta wisuda. Saat berdiri, Riana masih menjadi pembicaraan. Sosok imut berkerudung itu pun maju untuk menerima penghargaan sebagai lulusan termuda.

Bagaimana perasaannya setelah diwisuda? Tentu saja senang dan lega. Alhamdulillah, jawab Riana setelah acara wisuda.

Riana lantas membeberkan pengalaman kuliah pada usia relatif belia. Dia menyatakan tidak menemui banyak kesulitan selama menempuh studi di FK UGM. Tugas-tugas yang cukup berat dikerjakan dengan riang. Kesulitan sih ada. Tapi, semua bisa diatasi. Kalau di kedokteran, tugasnya memang banyak, kata Riana. Saat wisuda, Riana didampingi ayah, ibu, dan seorang adiknya.

Ditanya apakah masih ingin melanjutkan sekolah, Riana mengiyakan. Sehabis ini masih ingin terus belajar lagi, tutur alumnus dengan skripsi tentang kanker payudara itu, lantas tersenyum manis. Riana ingin mewujudkan cita-citanya sebagai dokter spesialis kandungan.

Sang ayah, Helmi, menyatakan bangga atas prestasi Riana. Menurut Helmi, Riana sejak kecil memang suka belajar. Dia sangat antusias setiap hendak berangkat ke sekolah. Itu terjadi sejak di bangku SD.

Bagi Riana, lanjut Helmi, berangkat sekolah ibarat pergi ke taman bermain. Saat diantar ayahnya ke sekolah dengan sepeda motor, Riana kecil selalu tidak sabar untuk segera turun dan berlari ke dalam sekolah. Dia menikmati betul setiap proses belajar, tutur perwira polisi pendidik di Sekolah Perwira Polri Lido, Sukabumi, Jawa Barat, itu. Oh ya, Riana selalu datang lebih pagi daripada teman-temannya, imbuhnya.

Riana mulai masuk SD pada usia 4 tahun. Menurut Helmi, dirinya dan istri tidak pernah memaksa anaknya bersekolah lebih awal. Namun, kecerdasan Riana sudah tampak dari usia tiga tahun. Dari usia segitu, dia sudah bisa membaca. Meski sudah malam, dia selalu minta diajari membaca, tutur Helmi sambil memandang Riana. Helmi menambahkan, setelah lulus SD, Riana menyelesaikan SMP dan SMA Negeri 3 Sukabumi dengan program akselerasi.

Helmi juga membeberkan, Riana sejak kecil tidak suka bermain boneka. Menurut Helmi, boneka adalah sosok yang mengerikan. Sebab itu, saat anak seusianya sibuk bermain boneka, Riana justru lebih suka belajar membaca. Dia takut main boneka. Lihat boneka malah menjerit. Makannya, kerjanya belajar terus, papar Helmi, lantas tertawa.


Read more »

Rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) - Dokter Termuda dari UGM

Riana Helmi tampil menjadi pemegang rekor MURI ( Museum Rekor Indonesia ) sebagai dokter termuda asal Universitas Gadjah Mada (UGM). Perempuan kelahiran Banda Aceh, 22 Maret 1991, menjadi perempuan termuda dari Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta dengan indek prestasi kumulatif (IPK) 3,67. Dia diwisuda oleh Rektor UGM Sudjarwadi di gedung Graha Sabha Pramana, Selasa (19/5).




Anak pertama dari pasangan Helmi dan Rofiah, diterima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM pada usia 14 tahun, tepatnya pada 1 sepetember 2005.Lulus pada 25 februari 2009. Masa kuliah dia tempuh dalam waktu tiga tahun, enam bulan. Atau lulus pada usia 17 tahun 11 bulan. “Alhamdulillah saya menjadi wisudawan termuda“, kata dia di sela-sela acara wisuda.

Putera perwira polisi pendidik di Sekolah Perwira Polri Lido, Sukabumi, menceritakan tidak kesulitan selama kuliah. Faktor umur yang muda tidak menjadi kendala untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fakultas. Yang dirasakan masalah beban tugas kuliah banyak, sebagai anak termuda di kelas kadang merasa gelisah.

Buku-buku tebal memang jadi santapan mahasiswa kedokteran. Contohnya,referensi soal fisiologi bukunya tebal sekali. Kesulitannya, tugas banyak. Alhamdulillah semua bisa diatasi,” kata dia.

Menurut dia mulai sekolah dasar pada usia 4 tahun. Kemudian SMP dan SMA Negeri 3 Sukabumi masuk siswa program akselerasi. Masing-masing tingkatan sekolah ditempuh empat hari.

Saya ingin meneruskan sekolah lagi biar menjadi dokter spesialis kandungan,” ujar Riana. Skripsi kedokterannya soal penyakit kanker payudara.

Helmi, ayahnya. mengatakan Riana sangat aktif dan rasa ingin tahu sangat tinggi. Pada usia 3 tahun lancar membaca. Bahkan, orangtua sampai kepayahan mengajari, karena dia tidak mau berhenti belajar.

Sementara perilakunya semasa kecil sedikit unik. Bila anak balita senang main boneka, dia lebih senang membaca buku. Kalaupun bermain, dia harus tetap sambil melihat buku.

Dia takut sama boneka.Kalau melihat boneka di mana-mana, Riana langsung menjerit,” ujar dia.

Kemudian Riana merasa sekolah sebagai taman bermain. Setiap tiba di sekolah, dia selalu gembira. Bahkan dia menuntut harus tiba lebih pagi di sekolah.



Read more »

Riana Helmi - Sarjana Kedokteran Termuda dari UGM

Wajahnya masih terlihat cukup muda, bahkan imut-imut. Dengan kacamata tipisnya, wajah itu semakin terlihat imut dibandingkan wajah teman-teman di sekelilingnya. Bahkan toga wisuda yang dikenakan di atas kepala berjilbab itu pun terlihat agak kedodoran. Namun wajahnya tetap tenang dan penuh percaya diri saat berdiri bersama sesama sesama sarjana lainnya pada upacara wisuda di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta akhir pekan lalu.



Dia adalah Riana Helmi, sarjana termuda lulusan Fakultas Kedokteran Umum UGM. Riana berhasil meraih gelar sarjana (SI) di usia yang masih cukup muda, 17 tahun 11 bulan. Ia lulus 25 Februari 2009 lalu, diwisuda akhir pekan lalu.

Riana bahkan hampir tak terlihat tertutup oleh rekan-rekannya yang cukup tinggi di barisan upacara wisuda tersebut. Bahkan saat Rektor UGM Prof Dr Sudjarwadi memanggil namanya sebagai lulusan termuda, hadirin yang datang hampir tak bisa melihat badannya yang kecil meski telah berdiri.

Riana memang cukup spektakuler. Masuk sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM, 2005, dia juga tercatat sebagai mahasiswa termuda yang saat itu berusia 14 tahun. Meski usianya cukup muda namun prestasi akademik Riana cukup membanggakan. Buktinya, dalam kurun waktu 3,6 tahun Riana berhasil menggondol lulus Kedokteran dengan nilai Indeks Prestasi Akademik (IPK) 3,67.  "Alhamdulillah, saya sudah lulus. Memang saat masuk saya paling muda tetapi saya bisa menjalaninya dan tidak banyak kendala," papar gadis kelahiran Banda Aceh, 22 Maret 1991 ini.

Didampingi kedua orang tuanya, Riana tampak puas atas prestasinya itu. Menurutnya, saat masuk ke UGM, ia Riana tidak memperoleh perlakuan istimewa dari dosen maupun dari teman-temannya. Dia tetap memperoleh tugas dari staf pengajar di UGM sama dengan teman-teman lainnya yang usianya jauh lebih tua tiga hingga empat tahun darinya. "Kalau di kedokteran itu tugasnya banyak, tetapi alhamdulillah semua bisa terselesaikan," ujarnya.

Ayah Riana, Helmi saat mendampingi putrinya usai wisuda mengatakan, selama duduk di bangku sekolah SMP dan SMA, anaknya mengikuti program akselerasi (percepatan). Riana masuk sekolah dasar (SD) di usia tahun. "Sejak umur 3 tahun, Riana sudah bisa membaca. Dia ngotot ingin sekolah karena senang sekali melihat sekolahan. Akhirnya umur 4 tahun saya masukkan ke SD," Helmi menuturkan.

Dia menceritakan, anak sulungnya ini sejak usia dua tahun sudah memperlihatkan kesukaanya terhadap buku. Bahkan di usia seperti itu Riana suka minta dibelikan buku-buku untuk belajar. "Buku-buku itu juga dipelajarinya. Kita seringkali dipaksa untuk mengajarinya sampai bisa, bahkan sampai larut malam," paparnya.

Salah satu sifat Riana sejak kecil yang cukup menonjol, menurut Helmi, selain suka membaca adalah tidak suka bermain boneka. Bahkan Riana cenderung takut terhadap boneka. "Setiap hari kerjaannya hanya belajar-belajar, dan membaca. Riana senang sekolah. Menurutnya, sekolah seperti bermain," tutur Helmi yang juga seorang staf pengajar Perwira Polri di Sukabumi, Jawa barat ini.

Meski sudah lulus dalam usia muda, Riana memiliki keinginan melanjutkan sekolahnya dan bercita-cita untuk menjadi dokter spesialis kandungan. Jika hal itu tercapai, maka Riana akan menjadi dokter spesialis kandungan termuda Indonesia.


Read more »

Lulusan UGM Termuda - Sarjana Kedokteran Termuda

Universitas Gadjah Mada (UGM) meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas keberhasilan meluluskan sarjana kedokteran  termuda.


 
Riana Helmi yang  berusia 17 tahun 9 bulan 
saat diwisuda 19 Mei 2009


Penyerahan piagam rekor MURI ini diterima secara simbolis oleh Sekretaris Eksekutif UGM,  Djoko Moediyanto Sabtu, 5 Mei 2010 di Gedung Auditorium Fakultas Kedokteran.

Selain memberikan penghargaan pada UGM, MURI juga menyerahkan penghargaan kepada Riana Helmi selaku pemegang rekor lulusan termuda.

Djoko Moerdiyanto dalam sambutannya mengatakan, UGM memberikan apresisai kepada MURI yang telah memberikan penghargaan kepada UGM secara kelembagaan dan Riana Helmi selaku mahasiswa yang berhasil lulus sebagai sarjana termuda.

Menurut Djoko, penghargaan tersebut sebagai bentuk dari keberhasilan pendidikan yang telah diterapkan oleh Fakultas Kedokteran UGM, dimana Riana Helmi tidak hanya lulus termuda tapi meraih predikat IPK cumlaude.

 “Dia meraih IPK 3,67,” kata Djoko.

Kata dia, sebagai sarjana termuda, Riana merupakan sosok yang pantas ditauladani oleh mahasiswa lainnya. Yang juga patut dicontoh lagi bimbngan dari keluarganya yang berhasil mendorong anaknya bisa mengenyam pendidikan di usia muda.

 “Kita patut bangga, apa yang telah dilakukan keluarganya pantas untuk kita tiru karena berhasil mendorong putrinya bisa seperti ini,” tandasnya.

Untuk Riana, Djoko berpesan agar pendidikan koasistensi yang dijalaninya sekarang ini bisa diselesaikan dengan baik. Setelah dilantik menjadi dokter, Djoko berharap dia bisa menangani masalah kesehatan yang kian berat di tengah masyarakat.

Riana memecahkan rekor yang sebelumnya dibuat Alexander Randy Angianto. Saat diwisuda, usia Randy baru 19 tahun. Dia lulus dengan  IPK 3,56.

Read more »

Infomersial

Pencarian

Infomersial