Pengertian
Kritik sastra adalah salah satu cabang ilmu sastra untuk menghakimi suatu karya sastra.[1] Selain menghakimi karya sastra, kritik sastra juga memiliki fungsi untuk mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas.[2] Kritik sastra biasanya dihasilkan oleh kritikus sastra.[1] Penting bagi seorang kritikus sastra untuk memiliki wawasan mengenai ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan karya sastra, sejarah, biografi, penciptaan karya sastra, latar belakang karya sastra, dan ilmu lain yang terkait.[1] Kritik sastra memungkinkan suatu karya dapat dianalisis, diklasifikasi dan akhirnya dinilai [1] Seorang kritikus sastra mengurai pemikiran, paham-paham, filsafat, pandangan hidup yang terdapat dalam suatu karya sastra.[1] Sebuah kritik sastra yang baik harus menyertakan alasan-alasan dan bukti-bukti baik langsung maupun tidak langsung dalam penilaiannya.[1]
Jenis-jenis Kritik Sastra
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, jenis kritik sastra dapat dibedakan menjadi:[8]
Kritik Mimetik
Kritik ini bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.[8]
Kritik Pragmatik
Kritik ini melihat kegunaan suatu karya sastra.[8] Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan, dan hal lainnya.[8]
Kritik Ekspresif
Kritik yang menekankan analisis pada kemampuan pengarang dalam mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastra.[8] Biasanya pendekatan ini untuk mengkaji puisi.[8]
Kritik Objektif
Pendekatan ini melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri.[8] Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.[8]
Contoh Kritik Sastra
Kritik Sastra Novel "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck"
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kritik Sastra Novel "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck"", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/patricaindira/6510f35cae1f07399044d152/kritik-sastra-novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck?page=all
Kreator: Patricia Orsa Indira
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
PENDAHULUAN
PENGENALAN KARYA
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, sebuah novel, dengan nomor ISBN 979-418-055-6, yang diterbitkan di tahun 1938 yang 84 tahun kemudian masih dikenal banyak orang di Nusantara. Novel ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim atau yang lebih dikenal dengan Hamka dengan tebal buku 224 halaman. Karena sudah berdekade-dekade lamanya sejak buku ini pertama kali diterbitkan, novel yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” ini sudah melewati 22 kali percetakan. Genre dari novel ini adalah fiksi, namun tragedi tenggelamnya kapal terkenal bernama “Van der Wijck” betul pernah terjadi. Karakter-karakter dengan latar belakangnya masing-masing dan alur ceritanya lah yang berbentuk fiksi. Selain itu, buku ini bisa dikatakan buku bergenre romansa juga karena kisah buku yang fokus ceritanya adalah kisah cinta yang berakhir tragis antara kedua tokoh utamanya. Novel ini telah melalui banyak perubahan gambar cover buku. Dari cetakan pertama desainnya relatif simpel, dari yang warnanya agak monotone, menjadi cover buku dengan banyak warna pastel yang indah, dengan ilustrasi kota besar Nusantara di zaman penjajahan Belanda, disertai kapal Van der Wijcknya sendiri. Selain melewati banyak perubahan cover, novel ini juga diterbitkan oleh berbagai penerbit sejak pertama kali dirilis di tahun 1938.
Hamka, dengan nama asli Haji Abdul Malik Karim, adalah seorang sastrawan sekaligus ulama, wartawan, pengajar dan filsuf dari periode sastra pujangga baru. Beliau lahir di Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981. Selama hidupnya, selain menulis novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, karya sastra Hamka lainnya adalah Tafsiran Al-Azhar dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Selain berkecimpung di dunia sastra dan edukasi, Hamka pernah terjun di dunia politik. Pemilu 1955, beliau terpilih untuk duduk di Konstituante, mewakili Masyumi. Di tahun 1964, karena berbagai macam tuduhan di era dominasi partai komunisme di Indonesia, Hamka ditangkap dan ditahan di Sukabumi, sebelum bebas saat berakhirnya era kepresidenan Soekarno.
SINOPSIS
Novel ini dimulai dengan Pendekar Sutan yang membunuh salah satu keluarganya karena masalah warisan. Tentunya, Pendekar Sutan kemudian diasingkan selama bertahun-tahun karena perbuatannya itu. Tak lama setelah ia dibebaskan, Pendekar Sutan merantau ke Makassar sebelum bertemu dengan wanita yang kelak menjadi ibu dari anaknya, Daeng Habibah. Pendekar Sutan dan Daeng Habibah dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Zainuddin. Kedua orangtua dari Zainuddin tak lama kemudian meninggal, sehingga ia harus diasuh oleh Mak Base. Banyak tahun kemudian, Zainuddin merantau ke tanah kelahiran almarhum ayahnya, di Batipuh, Minangkabau. Sayangnya ia tidak disambut baik oleh keluarga ayahnya sebab Zainuddin sudah mereka anggap tidak memiliki hubungan darah di detik almarhum Pendekar Sutan menikahi istrinya. Namun, di Batipuh, Zainuddin bertemu dengan Hayati, si kembang desa. Seorang gadis yang sangat cantik dan berasal dari keluarga yang terpandang di Batipuh. Sayangnya, keluarga Hayati tidak menyetujui hubungan keduanya, sehingga Zainuddin diusir dari Batipuh, dengan janji dari Hayati untuk selalu setia kepadanya sebagai hadiah perpisahan.
Sayangnya, janji tersebut tidak bertahan lama. Hayati dilamar oleh Aziz, seorang pria Minang yang kaya dan gagah, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mau tak mau, karena tekanan keluarga Hayati, gadis itu kemudian menikah dengan Aziz. Zainuddin yang mendengar kabar ini tentu merasa patah hati. Kata sedih tidak cukup untuk menggambarkan perasaannya di saat itu, sebab Zainuddin sampai jatuh sakit karena kabar itu. Lelah karena begitu lama terperangkap dalam kesedihan, Zainuddin memutuskan untuk merantau ke Batavia bersama sahabatnya Muluk. Disana, ia menjadi seorang penulis dengan nama Tuan Shabir, dan ceritanya yang menceritakan kisah cintanya dengan Hayati, berjudul Teroesir, digemari banyak orang. Dari hidupnya yang melarat, ia menjadi kaya dan memiliki rumah yang sangat megah. Zainuddin kemudian pindah ke Surabaya, dan di kota ini, ia kembali bertemu dengan Aziz dan istrinya, Hayati, yang ternyata juga baru saja pindah ke kota Surabaya. Tak disangka, Aziz ternyata masih memelihara sifatnya yang penuh nafsu, yang kemudian membawa kehidupannya ke ambang kehancuran. Ia terlilit hutang sana sini, dan preman merampok rumahnya karena tak mampu bayar hutang.
Di sisi lain, Zainuddin masih memelihara sifatnya yang rendah hati, sehingga ia menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara untuk Aziz dan Hayati. Sudah sadar akan kelakuannya yang tidak terpuji, dan tidak enak dengan Zainuddin, Aziz memutuskan untuk pergi dari rumah Zainuddin, sendiri, untuk mencari kerja. Istrinya, Hayati, ia minta untuk tetap tinggal bersama Zainuddin sampai ia mendapat kerja yang stabil, sebelum menjemput istrinya di kediaman teman barunya. Sayangnya, janji tidak bisa selalu ditepati. Aziz merasa dirinya tak pantas bagi istrinya. Ia sering memarahi istrinya tanpa alasan, dan mencemoohnya hanya karena Hayati datang dari desa. Aziz membunuh dirinya di hotel yang ditinggali, meninggalkan Hayati seorang janda. Di surat terakhir yang Aziz buat untuk istrinya, ia merelakan Hayati untuk kembali bersama Zainuddin, pria yang sampai sekarang masih istrinya cintai, ketimbang dirinya yang sudah sering berbuat jahat kepada Hayati. Dengan itu, Hayati berusaha memperbaiki hubungannya dengan mantan kekasihnya itu.
TEORI
Pada kritik sastra ini, pendekatannya akan menggunakan jenis kritik sastra mimetik. Kata mimetik ini berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Plato, filsuf tersohor dari Yunani, pernah membuat sebuah teori akan teori mimesis. Teori mimesis tersebut berisi bagaimana seni-seni yang ada di dunia ini merupakan interpretasi terhadap alam dan kehidupan. Sehingga, pendekatan mimetik dalam kritik sastra ini berarti kritik sastra yang dibuat memiliki fokus pada hubungan isi karya sastra dengan kehidupan nyata, baik itu alamnya, kehidupan sosialnya, dan aspek-aspek lainnya. Saya sendiri memilih pendekatan mimetik sebagai landasan kritik sastra karena berbagai adat dan penggambaran strata sosial yang sangat kental terkandung dalam novel ini. Cocok untuk menggunakan pendekatan kritik sastra mimetik.
PEMBAHASAN
ADAT MINANGKABAU
Minangkabau merupakan salah satu dari sedikit suku di Indonesia yang menganut sistem matrilineal sebagai penentu garis keturunan. Dengan itu, memiliki paling tidak seorang anak perempuan di sebuah keluarga Minangkabau adalah sebuah hal yang penting. Mereka yang tidak memiliki anak perempuan sama sekali, dianggap tali keluarganya sampai di situ saja. Begitu juga dalam perihal pernikahan. Jika seorang lelaki Minangkabau menikah dengan perempuan non-Minangkabau, maka darah Minangkabau lelaki tersebut sudah terputus dengan darah keluarganya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa adat Minangkabau mendominasi novel tersebut. Penyebab tidak bisa bersamanya Zainuddin dan Hayati adalah karena Zainuddin yang dianggap bukan sepenuhnya orang Minangkabau lagi. Ayahnya memang asli orang Minangkabau, akan tetapi tidak dengan ibunya, sehingga darah Minangkabau Zainuddin dianggap sudah tercampur. Datuk dan para mamak keluarga Hayati menginginkan keponakannya, Hayati untuk menikah dengan Zainuddin, seperti yang terdapat pada sepucuk surat yang dikirimkan pihak keluarga Hayati kepada Zainuddin perihal keinginannya meminang Hayati :
Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang.
Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami apa isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata dengan mufakat, maka kami panggillah kaum keluarga Hayati hendak memusyawarahkan hal permintaan orang muda itu. Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya, artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan, maka kai tolaklah permintaan orang muda, dengan mengatakan terus terang bahwa permintaan ini tida dapat kami kabulkan.
Lebih dan kurang, harap supaya dimaafkan
Datuk …
Datuk Garang, dll.
STRATA SOSIAL BERDASARKAN KEKAYAAN
Seperti yang sudah dikatakan di atas, permintaan Zainuddin untuk meminang Hayati ditolak oleh keluarga Hayati. Selain karena latar belakang orang tuanya yang tidak sepenuhnya orang Minangkabau, Zainuddin ini dari kecil sudah miskin. Apalagi ia sudah ditinggal kedua orang tuanya sehingga ia harus hidup diasuh oleh Mak Base yang keadaan finansialnya juga tidak berlimpah uang. Sedikitnya harta Zainuddin juga menjadi salah satu faktor ditolaknya permintaan menikahi Hayati. Ketika dibandingkan hartanya dengan miliknya Aziz di musyawarah yang dihadiri oleh keluarga Hayati dan para datuk, sudah pasti Zainuddin kalah jauh, karena mereka semua khawatir seandainya kebutuhan pokok Hayati tidak bisa terpenuhi karena suaminya yang tidak mampu.
Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang, sawahnya yang berbintalak, dikaji sasap jerami, pendam pekuburan, bekas-bekas harta yang telah dibagi dan yang belum dibagi di negerinya. Karena memang nyata bahwa dia (Aziz) orang asal, patut dijeput kita jeput, patut dipanggil kita panggil. Meskipun adat nan usali tidak boleh menerima menantu di luar kampung sendiri, aturan ini dikecualikan terhadap kepada menantu orang berasal usul, orang berbangsa, atau orang alin besar yang ternama. Bagi golongan yang dua ini, biasa juga dipakai adat.
Terlihat bahwa Aziz menerima perilaku spesial hanya karena latar belakang finansialnya. Kedua orang tuanya memiliki banyak uang, dan ia pun bekerja untuk seorang Belanda. Walaupun sering berjudi, pernah mengusik anak bini orang, pinangannya tetap mereka (keluarga Hayati dan para datuk) terima. Namun, lama kemudian, berbulan-bulan setelah Aziz dan Hayati menikah, setelah Zainuddin sudah menjadi seorang penulis yang terkenal, setelah keadaan finansialnya sudah berbalik 180°, rumah besar, harta, popularitas sudah ia miliki, ketiganya bertemu di opera buku “Teroesir”. Begitu Zainuddin sudah menjadi orang yang kaya dan dihormati banyak orang, Aziz, tidak lagi memandang Zainuddin sebelah mata lagi. Ucapannya begitu sopan, bahkan memanggil Zainuddin sahabatnya. Hal ini mencerminkan bagaimana beberapa orang sangat memperhatikan harta yang dimiliki orang lain untuk mendeterminasi perilaku seperti apa yang akan ia cerminkan pada orang tersebut.
PENUTUP
PENEGASAN TERKAIT ISI PENILAIAN
Isi dari novel ini banyak diisi oleh bagaimana orang Minangkabau memilih pasangan kerabatnya, terutama pasangan seorang Minangkabau. Adatnya yang begitu melekat, terutama di waktu itu, di awal abad ke-20, dimana globalisasi belum mendominasi dan adat istiadat masih kuat di kalangan orang Nusantara. Masalah ketimpangan sosial juga terpapar jelas di novel tersebut. Bagaimana keluarga Hayati lebih memilih seseorang dengan latar belakang keuangan yang jauh lebih baik daripada Zainuddin untuk menjadi suami dari Hayati, tidak peduli dengan sifat Aziz yang bejat, yang suka berjudi dan bermain wanita, menghamburkan uang, dan lain lain.
Novel ini cocok bagi mereka yang menikmati cerita romansa dengan akhir yang pahit, berlatar era kolonialisme Belanda. Karena novel ini juga ditulis di awal abad ke-20, bahasanya yang menggunakan banyak kiasan, majas metafora. Bahasa yang digunakan juga sepenuhnya baku, tidak seperti novel jaman sekarang. Maklum, novel ini dirilis di tahun 1938.
KESIMPULAN
Diambil dari (Indonesiana : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Pandangan Hamka atas Adat, Modernitas, dan Agama), Hamka menulis buku ini untuk mengkritik adat yang dilaksanakan dengan tidak adil. Bagaimana Hayati lebih memilih pria yang kaya tapi tidak baik ketimbang pria miskin yang meski darah Minangnya dianggap sudah putus, tapi memiliki cinta yang tulus kepada Hayati sebagai suami gadis tersebut. Memang, adat itu penting dan harus terus diturunkan kepada anak dan cucu, tapi jangan sampai kita melaksanakan adat tersebut tanpa memperhatikan nilai moral dan nilai agama. Hamka mampu menulis sebuah buku dengan isi yang beresiko, terutama di waktu itu, karena menyinggung, bahkan mengkritik adat istiadat. Dengan itu, buku “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” karya Hamka ini merupakan salah satu karya sastra yang baik dan diharapkan terus dibaca oleh banyak orang karena isinya yang mengedukasi mengenai uniknya adat Minangkabau yang menganut matrilineal, dan sisi buruknya melaksanakan adat tanpa memperhatikan nilai-nilai yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Mengenal Sistem Kekerabatan Matrilineal dalam Adat Minang. (2021, December 12). Kumparan. Retrieved November 20, 2022, from https://kumparan.com/berita-terkini/mengenal-sistem-kekerabatan-matrilineal-dalam-adat-minang-1x5Xa9LzJQi/full
Pendekatan Mimetik. (n.d.). Gurusiana. Retrieved November 20, 2022, from https://www.gurusiana.id/read/fiknimutiararachma/article/pendekatan-mimetik-2006522
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Pandangan Hamka atas Adat, Modernitas, dan Agama - Urban. (2019, December 1). Indonesiana.id. Retrieved November 20, 2022, from https://www.indonesiana.id/read/136289/tenggelamnya-kapal-van-der-wijck-pandangan-hamka-atas-adat-modernitas-dan-agama
Teori Mimesis: Pengertian dan Contohnya dalam Karya Seni Halaman all. (2022, April 13). Kompas.com. Retrieved November 20, 2022, from https://www.kompas.com/skola/read/2022/04/13/100000069/teori-mimesis--pengertian-dan-contohnya-dalam-karya-seni?page=all
Hamka. (2016). Tenggelamnya Kapal van der wijck. PTS Publishing House.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kritik Sastra Novel "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck"", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/patricaindira/6510f35cae1f07399044d152/kritik-sastra-novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck?page=all
Kreator: Patricia Orsa Indira
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
Sumber:
Read more:
http://bahasaindonesiaesema.blogspot.com/
Under Creative Commons License:
Attribution Non-Commercial
Follow us:
@Basando on Twitter
Basando on Facebook
========================