Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Pencarian

25 Juli 2012

Negara Tak Sanggup Urusi Masalah Literasi Anak

Gagasan SOLOPOS (23/7) dari Bandung Mawardi menyoroti sastra anak di Indonesia dan budaya pop yang lengket pada kehidupan anak-anak kita sekarang. Bandung Mawardi menyebut nasib literasi anak bukti ketidaksanggupan negara mengurusi ketersediaan bahan bacaan dan buku pelajaran untuk anak-anak Indonesia. Sesungguhnya dosa ini tidak semata milik negara hingga akhirnya dunia sastra kita seakan surut di tengah membanjirnya era serba instan dan virtual.

Kita akui bahwa sastra merupakan bekal masa depan generasi penerus kita, di mana sastra sering kali adalah potret budaya dan peradaban bangsa. Dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Sastra karya Rohinah M Noor (2011), dikutip wasiat Umar Bin Khattab kepada rakyatnya, “Ajarilah anak-anakmu sastra karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani.”

Minimnya sastra yang hadir di ruang keluarga kita dapat menjadi pemicu degradasi moral agen pelopor kita.

Dewasa ini, karakter agent of change bangsa tak urung menunjukkan kondisi yang progresif, krisis moral dan akhlak tengah menjalar pada seluruh lapisan masyarakat baik tua, muda maupun anak-anak. Degradasi moral warga membuat negeri seakan sedang babak belur dihantam berbagai masalah. Pertanyaan retoris muncul mencari penyebab degradasi moral generasi masa depan bangsa. Terlalu kusut mengurai permasalahan moral generasi kita karena sangat kompleks dan tidak ada penyebab mutlak yang dapat kita tunjukkan pada publik.

Kemudahan dan ketersediaan sumber informasi publik dalam tampilan gadget nyatanya tidak selalu membawa angin segar bagi kehidupan bermasyarakat. Kehadiran televisi di tiap ruang keluarga tersebut mampu mengubah minat baca buku pada anak-anak dewasa ini. Minat baca anak tergerus oleh budaya audio-visual yang menghadirkan tontonan yang serba menghibur. Padahal buku adalah jendela dunia, sastra mampu menjadi sarana dalam mengubah kondisi sosial masyarakatnya.

Mengutip gambaran loncatan masa praliterer langsung pada masa pascaliterasi seperti yang dituliskan oleh Rohinah M Noor (2011) di mana kepedulian orangtua untuk mengajarkan sastra kepada anaknya melalui tradisi mendongeng yang turun-temurun dimiliki negeri ini, kini sudah mulai terkikis. Selain itu, dapat dikatakan generasi sekarang juga tidak mengenal tahap literasi. Hasil penelitian Saleh dkk pada 1995 dan 1996 menunjukkan bahwa sebagian besar orang lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk menonton televisi dibandingkan membaca. Terkikisnya literasi juga terbukti dari hasil penelitian Taufiq Ismail yang dilakukan 1997 hingga 2005 yang menunjukkan kurikulum sastra tidak diperkenalkan saat bangku SMA.

Hasil survei dari The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura pada 2001 mengenai minat baca penduduk menempatkan Indonesia pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Hanya 4.421.739 orang yang mengunjungi perpustakaan dari 33 perpustakaan negeri di Indonesia yang tercatat pada 2008. Bagaimana mungkin anak-anak kita terjun mengenal literasi jika lingkungan mereka tidak begitu gemar baca tulis. Hal tersebut mempengaruhi pendidikan karakter anak negeri ini.

Minimnya generasi literer di negeri ini, dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang hadir dari keluarga sebagai lingkungan primer anak maupun dari negara selaku pemangku kebijakan pendidikan.

Pertama, faktor sejarah diakui mempengaruhi keadaan ini, di mana sejak zaman kerajaan dan kemudian disambung dengan masa penjajahan, kegiatan baca tulis banyak digeluti oleh kaum bangsawan dan borjuis zaman tersebut. Para kawula alit berpeluang sangat kecil untuk memasuki dunia keaksaraan. Tatanan feodal ini demikian mapan sehingga untuk waktu yang lama, wong cilik merasa tidak pantas memasuki dunia baca tulis. Kemudian tradisi tutur sudah membelenggu masyarakat kita. Tradisi itu juga menjadi salah satu sebab mengapa kita belum juga gemar membaca dan menulis. Dalam tradisi ini, peran tulisan dianggap kurang penting.

Kedua, layanan pendidikan yang tidak merata di Indonesia mampu menjadi persoalan minimnya generasi literer bangsa. Ketika sebagian masyarakat Indonesia masih mengalami buta huruf, minat baca tulis tidak mungkin muncul dalam kehidupan bermasyarakat tersebut. Program gemar membaca terutama bagi anak-anak sebagai sebuah budaya,  melalui keluarga, sekolah, pemerintah, media, sulit terwujud jika masih ada penduduk kita yang belum melek literasi atau bahkan belum melek huruf.

Ketiga, kondisi Indonesia sedang terjadi lompatan budaya dari budaya praliterer ke masa pascaliterer tanpa melalui masa literer. Artinya melompat menjadi masyarakat yang senang menonton televisi tanpa melalui budaya gemar membaca.

Keempat, masalah prioritas belanja buku yang masih kalah dibandingkan dengan prioritas belanja pokok yang terus melambung naik dan belanja lain-lain sebagai tuntutan life style kehidupan. Saat ini harga buku melambung tinggi, sangat mahal. Hal itu juga menyebabkan masyarakat enggan membaca. Masalah perekonomian Indonesia juga turut berkontribusi.

Peran serta orangtua dalam berproses bersama anak-anaknya dalam mengenal sastra  diharapkan mampu membekali masa depan generasi penerus kita. Tentu saja bukan bekal untuk mendapatkan kesuksesan materi, melainkan keberhasilan di dalam memperkokoh kepribadiannya. Hingga dipahami, sastra layaknya kawah candradimuka yang bakal menggodok kepribadian manusia sebagai agen perubahan yang syarat pada kebenaran dan kemanusiaan.


Sumber: klik di sini!
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog