Translate

Senin, Juli 30, 2012

Majas atau Gaya Bahasa (Majas Perbandingan)

Majas atau Gaya Bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Majas PERBANDINGAN

Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Contoh: Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.

Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
Contoh: Sudah dua hari ia tidak terlihat batang hidungnya.

Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, " umpama", "ibarat","bak", bagai".
Contoh: Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.

Metafora: Gaya Bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau hampir sama.
Contoh: Cuaca mendung karena sang raja siang enggan menampakkan diri.

Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.

Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.

Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.

Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.

Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Contoh: Karena sering menghisap jarum, dia terserang penyakit paru-paru. (Rokok merek Djarum)

Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.

Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Contoh: Terimalah kado yang tidak berharga ini sebagai tanda terima kasihku.

Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Contoh: Gedung-gedung perkantoran di kota-kota besar telah mencapai langit.

Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
Contoh: Hembusan angin di tepi pantai membelai rambutku.

Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.

Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Contoh: Sejak kemarin dia tidak kelihatan batang hidungnya.

Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh: Indonesia bertanding volly melawan Thailand.

Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Contoh: Di mana saya bisa menemukan kamar kecilnya?

Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.

Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
Contoh: Perilakunya seperti ular yang menggeliat.

Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.

Perifrasa: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.

Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Contoh: Kita bermain ke rumah Ina.

Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama.
Contoh: Masalahnya rumit, susah mencari jalan keluarnya seperti benang kusut.

sumber: http://id.wikipedia.org

Read more »

Unsur Intrinsik Karya Sastra (Fiksi) Cerpen Novel

Unsur Intrinsik Karya Sastra (Fiksi)
Prosa (Cerpen atau Novel)




A. Tema
adalah ide pokok sebuah cerita, yang diyakini dan dijadikan sumber cerita.


B. Alur, Plot, atau Jalan Cerita
adalah susunan peristiwa atau kejadian yang membentuk sebuah cerita.

Alur dibagi menjadi 3 yaitu: 
  1. Alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian atau cerita yang bergerak ke depan terus. 
  2. Alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian atau cerita yang bergerak mundur (flashback). 
  3. Alur campuran adalah campuran antara alur maju dan alur mundur.
    Alur meliputi beberapa tahap:
    1. Pengantar: bagian cerita berupa lukisan, waktu, tempat atau kejadian yang merupakan awal cerita.
    2. Penampilan masalah: bagian yang menceritakan masalah yang dihadapi pelaku cerita.
    3. Puncak ketegangan / klimaks : masalah dalam cerita sudah sangat gawat, konflik telah memuncak.
    4. Ketegangan menurun / antiklimaks : masalah telah berangsur–angsur dapat diatasi dan kekhawatiran mulai hilang.
    5. Penyelesaian / resolusi : masalah telah dapat diatasi atau diselesaikan.

    C. Tokoh, Pelaku, atau Pemeran
    adalah yang berperan dalam sebuah cerita, dapat berupa manusia, hewan, atau benda-benda yang "dihidupkan". 

    Biasanya tokoh dibagi menjadi 3, yaitu:

    1. Protagonis (berasal dari bahasa Yunani πρωταγωνιστής (protagonistes), "orang yang berperan dalam bagian pertama suatu cerita, aktor utama")adalah tokoh utama dalam suatu hal seperti buku cerita, film, video game maupun teater. Dalam literatur, protagonis adalah tokoh yang melawan antagonis. Protagonis sering merupakan seorang pemeran utama , kadang-kadang seorang jagoan, atau hal lainnya yang merupakan konflik dengan antagonis. Protagonis biasanya baik dan tidak jahat. Namun dalam beberapa cerita, tidak semua protagonis menjadi jagoan atau baik. Adakalanya protagonis bertingkah seperti antagonis yang kemudian dikenal sebagai Protagonist Anti-Hero (Anti-Heroine untuk wanita).
    2. Antagonis; dalam literatur, antagonis adalah karakter yang melawan karakter utama atau protagonis. Antagonis sering merupakan seorang penjahat, kadang-kadang mungkin binatang, atau hal lainnya yang merupakan konflik dengan protagonis. Antagonis biasanya jahat dan tidak baik serta sering menjadi pembuat onar (ulah). 
    3. Tritagonis; yaitu tokoh pelerai; dapat juga menjadi tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis. Tokoh tritagonis adalah tokoh yang tidak memegang peran utama dalam cerita. Tokoh tritagonis biasanya tidak terlibat dalam semua bagian cerita. Keberadaannya berperan sebagai penghubung antara tokoh protagonis dan antagonis.

    Berdasarkan peranannya, tokoh diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

    1. Tokoh sentral yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan dalam drama. Tokoh sentral merupakan penyebab terjadinya konflik. Tokoh sentral meliputi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
    2. Tokoh utama yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai perantara tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh tritagonis.
    3. Tokoh pembantu yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkai cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak semua drama menampilkan kehadiran tokoh pembantu.

    D. Penokohan, Watak, perwatakan, atau Karakter
    Perwatakan disebut juga penokohan. Perwatakan/penokohan adalah penggambaran sifat batin seseorang tokoh yang disajikan dalam cerita. Perwatakan tokoh-tokoh dalam drama digambarkan melalui dialog, ekspresi, atau tingkah laku sang tokoh. Penggambaran watak tokoh dalam naskah drama erat kaitannya dalam pemilihan setting/latar atau tempat terjadinya peristiwa.

    Penggambarkan watak atau karakter seseorang tokoh yang dapat dilihat dari 3 segi yaitu melalui:
    1. Dialog tokoh
    2. Penjelasan tokoh
    3. Penggambaran fisik tokoh
    Ada 3 cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh cerita, yaitu:
    1. secara langsung; pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit hitam.
    2. secara tidak langsung; pada pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita. Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, ucapan, dan tingkah laku tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung.
    3. secara kontekstual; pada Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu kepada tokoh.
    Ada 3 macam cara untuk melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam cerita, yaitu:

    1. Cara analitik; Pengarang menceritakan atau menjelaskan watak tokoh cerita secara langsung. 
    2. Cara dramatik; Pengarang tidak secara langsung menceritakan watak tokoh seperti pada cara analitik, melainkan menggambarkan watak tokoh dengan cara:
    • melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh.
    • menampilkan dialog antartokoh dan dari dialog-dialog itu akan tampak watak para tokoh cerita.
    • menceritakan tingkah laku, perbuatan, atau reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa. 
    3. Cara gabungan analitik dan dramatik; Pengarang menggunakan kedua cara tersebut di atas secara bersamaan dengan anggapan bahwa keduanya bersifat saling melengkapi.


    E. Latar (Setting)
    adalah tempat, waktu, dan suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus jelas di mana berlangsungnya (latar tempat), kapan terjadinya (latar waktu), dan suasana serta keadaan ketika cerita berlangsung (latar suasana).





    F. Sudut Pandang (Point of View)
    adalah cara pengarang "mem-posisi-kan" dirinya dalam karya tersebut.

    Sudut pandang pengarang (SPP) secara garis besar dibedakan menjadi 2 yaitu:
    1. Sudut Pandang Orang I (kesatu atau pertama atau "aku-an"); SPP orang I ditandai dengan menggunakan "aku" atau "saya" sebagai tokoh cerita. 
    2. Sudut Pandang Orang III (ketiga atau "dia-an"); SPP orang III ditandai dengan menggunakan "dia/ia" atau 'nama pelaku' sebagai tokoh cerita.
    Sudut Pandang orang I (kesatu) dibedakan menjadi 2, yaitu:

    1. SPP orang I Pelaku Utama
    Contoh: (penulis sebagai "AKU", menjadi tokoh utama)
    Sore itu aku sedang menyapu halaman rumahku. Tiba-tiba aku dikagetkan suara benda jatuh. Aku melangkah menjauh sambil menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu suara mangga bekas codot yang jatuh.
    "Astagfirullah!" aku menenangkan diri.
    "Aku juga kaget, Mas," Kadir melongok dari jendela.
    "Kamu mendengar juga, Dir?" aku menoleh ke arah Kadir, "Padahal cuma ini," kupungut mangga yang tercabik-cabik gigitan codot itu. 
      
    2. SPP orang I Pelaku Sampingan
    Contoh: (penulis sebagai "AKU", menjadi tokoh sampingan)
    Sore itu Kadir sedang menyapu halaman rumahnya. Tiba-tiba dia dikagetkan suara benda jatuh. Dia melangkah menjauh sambil menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu suara mangga bekas codot yang jatuh.
    "Astagfirullah!" Kadir menenangkan diri.
    "Aku juga kaget, Mas," aku melongok dari jendela.
    "Kamu mendengar juga, Yok?" Kadir menoleh ke arahku, "Padahal cuma ini," Kadir memungut mangga yang tercabik-cabik gigitan codot itu.

    Sudut Pandang orang III (ketiga) dibedakan menjadi:

    1. SPP orang III Serbatahu; Dikatakan serbatahu maksudnya bahwa pengarang menceritakan sedetil mungkin sampai ke masalah yang ada dalam pikiran si tokoh cerita.

    Contoh:
    Sore itu Kadir sedang menyapu halaman rumahnya. Tiba-tiba dia dikagetkan suara benda jatuh. Dia melangkah menjauh sambil menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu suara mangga bekas codot yang jatuh.
    "Astagfirullah!" Kadir menenangkan diri.
    "Aku juga kaget, Mas," Doyok melongok dari jendela.
    "Kamu mendengar juga, Yok?" Kadir menoleh ke arah Doyok, "Padahal cuma ini," Kadir memungut mangga yang tercabik-cabik gigitan codot itu.

    2. SPP orang III Tidak Serbatahu atau Terbatas; Dikatakan "tidak serbatahu" maksudnya bahwa pengarang tidak menceritakan sedetil mungkin sampai ke masalah yang ada dalam pikiran si tokoh cerita. Kesannya pengarang tidak mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan terjadi.

    Contoh:
    Sore itu seorang laki-laki sedang menyapu halaman rumah. Tiba-tiba ada suara benda jatuh. Entah apa yang dia rasakan dan dia melangkah menjauh sambil menoleh ke arah suara tersebut. Ternyata suara itu suara mangga bekas codot yang jatuh.
    "Astagfirullah!" laki-laki itu menenangkan diri.
    "Aku juga kaget, Mas," seorang laki-laki lain melongok dari jendela.
    "Kamu mendengar juga, Yok?" laki-laki yang sedang menyapu tadi menoleh ke arah laki-laki yang ada di jendela, "Padahal cuma ini," laki-laki itu memungut mangga yang tercabik-cabik gigitan codot itu.


    G. Gaya Bahasa
    adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan perasaan atau pikiran dengan bahasa sedemikian rupa, sehingga kesan dan efek terhadap pembaca atau pendengar dapat dicapai semaksimal dan seintensif mungkin.

    Gaya bahasa ialah cara penyair menggunakan bahsa untuk menimbulkan kesan-kesan tertentu. Gaya digunakan untuk melahirkan keindahan (http://esastra.com/kurusu/kepenyairan.htm#Modul 11). Hal itu terjadi karena dalam karya sastralah ia paling sering dijumpai, sebagai wujud eksplorasi dan kreativitas sastrawan-sastrawati dalam berekspresi.

    Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiranmelalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis/pemakai bahasa (Gorys Keraf, 2002: 113). Suatu penciptaan puisi, juga bentuk-bentuk tulisan yang lain, misalnya cerpen, novel, naskah drama (Wacana sastra) sangat membutuhkan penguasaan gaya bahasa, agar puisi yang dihasilkan nanti lebih menarik, indah, dan berkualitas.
    Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, yaitu:
    • Gaya bahasa resmi
    • Gaya bahasa tak resmi
    • Gaya bahasa percakapan
    Gaya bahasa berdasarkan nada, yaitu:
    • Gaya sederhana
    • Gaya mulia dan bertenaga
    • Gaya menengah
    Gaya bahasa berdarkan struktur kalimat, yaitu:
    • Klimaks
    • Antiklimaks
    • Paralelisme
    • Antitesis
    • Repetisi

    H. Amanat
    adalah pesan atau nasihat yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita.

    Read more »

    Minggu, Juli 29, 2012

    Perbedaan Karya Fiksi dan Non-Fiksi

    Perbedaan utama antara fiksi dan nonfiksi terletak pada tujuan

    Maksud dan tujuan dari cerita atau narasi yang nonfiksi, seperti sejarah, biografi, cerita berita, dan cerita perjalanan, adalah untuk menciptakan kembali (to recreate) apa-apa yang telah terjadi secara aktual. Dapat dikatakan Narasi nonfiksi berisi fakta-fakta, sedangkan narasi fiksi mulai dengan mengatakan “Kalau seandainya ini semua adalah fakta-fakta, (maka beginilah yang akan atau harus terjadi)”.
     
    Cerita nonfiksi memusatkan perhatiannya pada realitas (kenyataan sebenarnya). Sementara Dalam cerita fiksi tugas penulis adalah membuat tokoh-tokoh imajinatif (khayalan) menjadi hidup dalam karyanya. Penulis harus meyakinkan pembaca bahwa motif-motif serta tindakan-tindakan tokoh adalah real atau nyata. Penulis sedapat mungkin mencerminkan bukan saja apa-apa yang dikatakan atau dilakukan oleh para tokoh tersebut, tetapi perasaan mereka, serta mengapa mereka bertindak sedemikian rupa.

    Read more »

    Faktor Penting dalam Membaca Puisi (Poetry Reading)

    Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membaca puisi:
    • Artikulasi; adalah perubahan rongga dan ruang dalam saluran suara untuk menghasilkan bunyi bahasa. Daerah artikulasi terbentang dari bibir luar sampai pita suara, dimana fonem-fonem terbentuk berdasarkan getaran pita suara disertai perubahan posisi lidah dan semacamnya. Pengucapan dan pelafalan kata-kata harus tepat.
    • Intonasi; adalah lagu kalimat atau nada; atau ketepatan penyajian tinggi rendah nada.
    • Vokal; yaitu hal mengenai suara; bunyi bahasa yang dihasilkan oleh arus udara dari paru-paru melalui pita suara dan penyempitan pada saluran suara di atas glotis. Dalam hal ini vokal yang keluar dari sang pembaca puisi harus jelas terdengar. Faktor ini berkaitan pula dengan volume atau lemah-lembutnya suara yang dikeluarkan.
    • Mimik; yaitu ekspresi wajah; adalah hasil dari satu atau lebih gerakan atau posisi otot pada wajah. Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal, dan dapat menyampaikan keadaan emosi dari seseorang kepada orang yang mengamatinya. Ekspresi wajah merupakan salah satu cara penting dalam menyampaikan pesan sosial dalam kehidupan manusia, namun juga terjadi pada mamalia lain dan beberapa spesies hewan lainnya.
    • Gestur; gerak isyarat; adalah bentuk komunikasi nonverbal yang dilakukan dengan gerakan anggota tubuh. Gerak isyarat dilakukan untuk menggantikan, atau bersamaan dengan komunikasi verbal. Dengan gerak isyarat, seseorang dapat mengekspresikan berbagai perasaan dan pikiran, dari perasaan jijik, permusuhan, hingga penerimaan dan kasih sayang. Banyak orang yang menggunakan gerak tubuh dan bahasa tubuh selain kata-kata ketika berbicara. Penggunaan gerak isyarat berbeda-beda dalam berbagai budaya, dan jumlah gerak tubuh yang pantas digunakan juga berbeda-beda dari suatu lokasi ke lokasi yang lain.
    • Penghayatan; pengalaman batin, seorang pembaca puisi harus dapat merasakan dan menghayati puisi yang dibacanya dalam batin atau hati nuraninya.

    • Pembinaan Puncak.

    Read more »

    Tujuan Membaca Puisi (Poetry Reading)

    Tujuan Membaca Puisi

    Tujuan membaca puisi tidak berbeda dengan tujuan sastra. Tujuan seorang pembaca puisi tak berbeda dengan tujuan sastrawan (penyair, pengarang puisi, atau penulis puisi). Keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi.

    Seorang penyair (sastrawan, pengarang puisi, atau penulis puisi) menyampaikan buah pikirannya, gejolak perasaannya, dan luapan emosinya melalui bahasa tulisan. Penyair menuliskan semua yang dirasakan dan dihayatinya.

    Sementara itu, seorang pembaca puisi (orang yang membaca puisi, mungkin si pengarang puisi itu sendiri atau orang lain) menyampaikan seluruh buah pikiran dan perasaan penyair tadi melalui bahasa lisan. 

    Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menyampaikan isi hati pengarangnya, sang penulis puisi.

    Read more »

    Saran dan Cara dalam Membaca Puisi (Poetry Reading)

    Saran 'Mursal Esten' dalam Membaca Puisi





    • Perhatikan judul puisi;
    • Lihatlah kata-kata yang dominan;
    • Selamilah makna konotatif;
    • Dalam mencari dan menemukan makna, yang benar adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa;
    • Tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya;
    • Jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip;
    • Temukanlah pertalian makna tiap unit puisi (kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait);
    • Carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi;
    • Perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis, religius, liris, atau epik), dan;
    • Tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan pada teks puisi itu sendiri.


    Dalam proses membaca karya sastra (puisi), pembaca berinteraksi dengannya dalam sejumlah cara.

    • Kognisi akan berperan aktif, bersinggungan dengan seluruh lapisan karya.
    • Strata bunyi-bunyi kata bisa saja menjadi nyata melalui ujaran, atau hanya melalui bunyi dan konfigurasi bunyi yang disadari dalam silent reading.
    • Hal itu bisa terjadi, atau bahkan dalam pembacaan yang bersifat individual, jika pembacaannya berkompeten, ia hampir tidak akan bisa menghindar dari aktualisasi kesatuan makna yang baik.
    • Gaps atau blanks yang terdapat pada struktur temporal karya, sebagai dimensi kedua, perlu dijembatani agar teks yang dibaca dapat dipahami (Sayuti dalam Sarumpaet, 2002:35).

    Read more »

    Tahap Pembacaan Puisi (Poetry Reading)

    Tahap Pembacaan Puisi

    • Membaca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi secara penuh);

    • Membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya vokal, tempo, timbre, interpolasi, rima, irama, dan diksi);

    • Membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan sebelumnya: segi-segi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya), dan;

    • Membaca puitis.

    Read more »

    Klasifikasi Jenis Ragam Membaca Puisi (Poetry Reading)

    Stanislavski (dalam Mulyana, 1997:36) telah mengelompokkan empat fenomena seni dalam pemeranan/pementasan.

    Klasifikasi Membaca Puisi Menurut Stanislavski
     
    Seni mekanis merupakan seni yang lapuk/usang/tradisional dan cenderung artifisial. Dalam hal membaca puisi, misalnya pembaca beranggapan bahwa kata-kata tertentu disimbolkan dengan cara tertentu pula.

    Seni penyajian serupa dengan seni seorang dalang. Pembaca puisi yang menggunakan seni ini akan senantiasa meniru sang dalang (pelatihnya) dalam hal pengucapan, sikap, maupun tindakannya.

    Seni eksploitasi dilakukan oleh pembaca yang sangat sadar dengan kelebihan dirinya. Oleh karena itu, dia berusaha menonjolkan kelebihannya, meskipun tidak dituntut dalam pembacaan puisinya. Hal itu, misalnya pembaca melenggak-lenggokkan tubuhnya seperti penari (karena dia memang guru tari), padahal dia sedang membaca puisi, bukan sedang menari.

    Seni penghayatan timbul dari diri pembaca. Pengalaman hidup pembaca yang terekam dalam bawah sadarnya akan terseleksi sesuai dengan transaksi yang terjadi berkat pembacaan puisinya. Oleh karena itu, setiap kata yang diucapkan sesuai dengan penghayatannya.


    Membaca puisi berarti berusaha menyelami puisi. Ada orang yang membaca puisi cenderung hanya mencari arti yang terkandung di dalamnya. Setiap kata yang ada dicari maknanya dalam kamus, lalu ditelaah tata bahasanya. Pembaca yang demikian ini tidak akan bisa mengerti isi suatu puisi. Puisi tidak selamanya masuk pada kamus atau tata bahasa karena puisi memiliki kebebasan tersendiri.





    Ragam membaca puisi dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan beberapa aspek, yaitu:


    1. Berdasarkan Tujuan:
    • Membaca puisi untuk memahami isi: Tujuannya adalah untuk memahami makna dan pesan yang terkandung dalam puisi. Pembacaan dilakukan dengan cermat dan teliti, dengan memperhatikan struktur puisi, pilihan kata, dan makna kiasan.
    • Membaca puisi untuk menghayati isi: Tujuannya adalah untuk merasakan emosi dan pengalaman yang disampaikan penyair dalam puisi. Pembacaan dilakukan dengan penuh penghayatan, dengan memperhatikan intonasi, tempo, dan ekspresi.
    • Membaca puisi untuk mendeklamasikan: Tujuannya adalah untuk membacakan puisi dengan suara yang jelas, lantang, dan menarik agar dapat dinikmati oleh pendengar. Pembacaan dilakukan dengan memperhatikan teknik vokal, gesture, dan mimik wajah.

    2. Berdasarkan Suasana Hati:

    • Membaca puisi dengan gembira: Puisi yang dibaca dengan gembira biasanya memiliki tema yang ringan dan ceria. Pembacaan dilakukan dengan tempo yang cepat, intonasi yang cerah, dan ekspresi wajah yang ceria.
    • Membaca puisi dengan sedih: Puisi yang dibaca dengan sedih biasanya memiliki tema yang kelam atau menyedihkan. Pembacaan dilakukan dengan tempo yang lambat, intonasi yang sendu, dan ekspresi wajah yang sedih.
    • Membaca puisi dengan marah: Puisi yang dibaca dengan marah biasanya memiliki tema yang kritis atau menyindir. Pembacaan dilakukan dengan tempo yang tegas, intonasi yang keras, dan ekspresi wajah yang marah.

    3. Berdasarkan Teknik:

    • Membaca puisi dengan teknik tartil: Teknik ini dilakukan dengan membaca puisi secara perlahan dan jelas, dengan memperhatikan arti setiap kata. Cocok untuk puisi dengan makna yang kompleks dan mendalam.
    • Membaca puisi dengan teknik ekspresif: Teknik ini dilakukan dengan membaca puisi dengan penuh penghayatan, dengan memperhatikan intonasi, tempo, dan ekspresi. Cocok untuk puisi dengan tema yang emosional.
    • Membaca puisi dengan teknik dramatik: Teknik ini dilakukan dengan membaca puisi seolah-olah sedang memerankan tokoh dalam puisi. Cocok untuk puisi dengan tema yang naratif atau dialogis.

    4. Berdasarkan Media:

    • Membaca puisi tanpa alat peraga: Pembacaan puisi dilakukan tanpa menggunakan alat bantu apa pun.
    • Membaca puisi dengan alat peraga: Pembacaan puisi dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti kostum, properti, atau multimedia.

    5. Berdasarkan Jumlah Pembaca:

    • Membaca puisi tunggal: Pembacaan puisi dilakukan oleh satu orang.
    • Membaca puisi berpasangan: Pembacaan puisi dilakukan oleh dua orang, dengan masing-masing orang membacakan bagian yang berbeda.
    • Membaca puisi paduan suara: Pembacaan puisi dilakukan oleh banyak orang secara bersama-sama.

    Perlu diingat bahwa ragam membaca puisi tidak harus selalu terpaku pada kategori-kategori tersebut. Seorang pembaca puisi dapat mengkombinasikan berbagai ragam untuk menghasilkan pembacaan puisi yang unik dan menarik.

    Berikut beberapa contoh penerapan ragam membaca puisi:

    • Membaca puisi "Doa Anak Negeri" karya Chairil Anwar dengan teknik tartil untuk memahami makna dan pesan patriotisme yang terkandung dalam puisi.
    • Membaca puisi "Sunda" karya Amir Hamzah dengan teknik ekspresif untuk menghayati keindahan alam dan budaya Sunda yang digambarkan dalam puisi.
    • Membaca puisi "Balada si Burung Burung" karya W.S. Rendra dengan teknik dramatik untuk memerankan tokoh-tokoh dalam puisi dan menyampaikan kritik sosial yang terkandung di dalamnya.

    Semoga penjelasan ini bermanfaat!




    Read more »

    Pencarian