“Breeaaak …!” seru sutradara. “Bungkus!” lanjutnya.
Ia pun berjalan melenggang dari setting di bilangan Depok seraya
membuka kancing baju deretan paling atas. Ada kelelahan yang segera
menyergap dan tampak dari wajahnya yang bermakeup. Namun belum melintasi
salah satu lighting di salah satu sudut setting sebuah rumah besar,
beberapa orang menyerbunya.
“Bang Haji … Pak Ustadz …!”
Tak ada yang bisa diperbuat selain senyum dikembangkan. Termasuk dengan
sabar mesti melayani mereka: berjabat tangan, tanda tangan dan foto
bersama. Bahkan ketika kemudian seseorang menyeruak dengan susah-payah.
“Bang Haji …elus perut saya dan minta doanya, ya. Biar ntar anaknye jadi
orang baik, kayak Pak Ustadz,” kata ibu muda berperut buncit sambil
mendekati lelaki itu.
Usai acara melayani penggemar berjumlah puluhan di tempat syuting, ia
membersihkan wajah dengan kapas dan cairan pembersih. Kaki
diselonjorkan.
”Pekerjaannye gua demen, tapi yang bikin kagak demen
dengan ibadah yang sering ketinggalan begini. Lu udeh shalat?” tanyanya
seraya menuju salah satu kamar mandi untuk segera berwudlu, mengambil
air sembahyang.
Deddy Mizwar, jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan ia benar-benar
tak enak hati mendapat sebutan ustadz seperti dalam peran-perannya di
hampir semua sinetron. Maka ia kerap dengan halus menampik untuk acara
dengan dirinya menjadi ustadz, bukan di depan camera.
“Udeh, omong-omong
pengalaman … apa ya, pengalaman spiritual, gitu. Atau gua cerita dalam
menjalankan ibadah, gitu aja, ye?” jawabnya setiap kali diminta untuk
berceramah dengan muatan agama – seperti kemahirannya memainkan sebagai
tokoh ustadz.
Deddy Mizwar belakangan identik dengan itu: Bang Haji atau Pak Ustadz. Tak kurang dan tak lebih. Kendati tak bisa ditampik, serenteng peran tokoh panutan yang
diperaninya bak menyatu dalam dirinya. Lelaki kelahiran Kemayoran,
Jakarta itu menjalani kehidupannya baik-baik dan di jalan yang
lurus-lurus saja.
Jika tak ada kegiatan di luar rumah, lebih memilih
tumpukan buku-buku yang bisa mencerahkan hidupnya. Yang menenangkan
hatinya. Sehingga ia tak pernah galau dengan kehidupan glamour yang
kerap mengepung artis sebagai profesinya.
Rumah tangganya pun jauh dari
dera gossip. Anak perempuannya yang sempat bermain bareng di layar
sinema – karena kemampuannya, bukan karena nama Deddy Mizwar – memilih
jadi orang media televisi. Setelah menyabet salah satu gelar None
Betawi.
Bang Haji dari rumahnya di bilangan Pondok Gede akan menyetir sendiri ke
kantor, termasuk dengan jeep willys bak terbuka. Atau jalan ke mana
tanpa beban seorang yang menyandang gelar selebritis. Sehari-hari ia
lebih senang mengenakan baju gamis. Kalau memungkinkan, setiap ke acara
apa saja. Kondangan pun ia bisa berbaju seperti itu.
“Gue sebenarnya
males makan di luar nih, Rin,” katanya sehabis rapat di kantor
perusahaan PH-nya di mobil menuju sebuah hotel bintang lima di Kuningan.
“Mana udah malem, jauh dan mahal lagi.”
“Kan yang bayar bukan Bang Haji.”
“Iye. Juga bukan lu yang bayar, kan?” Lalu, kami tertawa.
Deddy Mizwar tak suka basa-basi, apalagi berakting berpura-pura
menjalani hidup. Pemeran Jenderal Nagabonar yang naïf itu lebih senang
dunia akting dengan menseriusi naskah-naskah yang baik dan menantang.
Tak pelak, ia memilih untuk soal yang satu itu, termasuk ketika ia
bermain dalam layar lebar sejak tahun 1976 lebih bergaul dengan Asrul
Sani, penulis handal Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang satire itu. Atau
naskah Arswendo Atmowiloto: Opera Jakarta garapan Syumanjaya. Juga
sutradara Wahyu Sihombing dan Arifin C. Noer.
“Gua selalu pengin
mendapat naskah yang bagus, dan ayo kita beradu akting di situ,” ungkap
peraih Piala Citra dan 12 kali menjadi nominator Festival Film Indonesia
serius.
Hal itu dikatakannya saat habis menerima surat pemberitahuan karena filmnya dipuji
(lagi) oleh panitia Festival Film Bandung (FFB) saat negeri ini sedang
krisis, tahun 1998. Boleh jadi ia pemain film (sinema) dengan rekor
paling banyak, di samping masih aktif di usianya 57, dan laris – lihat
saja berapa produk yang dibintangiklani.
Tak bisa mungkiri, Deddy Mizwar yang berlatar belakang teater, kerap
gelisah dengan film yang lebih mudah dipilih – seperti ia setuju dengan
KOMPAS karena saking sedikitnya film bagus dalam film yang
difestivalkan. Jika ia menerima menjadi ketua Badan Pertimbangan
Perfilman Nasional (BP2N), karena berniat untuk memperbaiki “sistem”
perfilman yang ada di negeri ini. “Biar kagak ramainya, doang,” katanya
setengah bercanda.
Kegalauan Deddy bisa dimengerti. Termasuk ketika demam sinetron yang
berlabel “religi” yang menurutnya mendangkalkan akal sehat masyarakat
dalam memahami Islam. Kecil persentase kematian seseorang “berdosa”
dengan cara yang super aneh atawa berlebihan: mayatnya memanjang,
tubuhnya mengeluarkan belatung dan sejenisnya.
Deddy dengan cerdas
membuat sinetron tandingan setelah merembugkan dengan tim penulis
skenario, di antaranya Wahyu AS yang sudah bekerja belasan tahun di
perusahaannya. Yakni salah satu adegannya ketika di lubang kubur yang
digali terus-menerus mengeluarkan air, sempat membuat mereka yang
melayat kebingungan.
Deddy yang berperan sebagai tokoh panutan (agama)
sempat berkernyit kening. Namun ia meminta mereka yang menggali terus
menggali. Ternyata di dasar lubang makam itu ada pipa PAM yang bocor.
Terjawablah sudah, bukan karena ada orang meninggal karena dosanya yang
diidentikkan dengan hal aneh secara berlebihan.
“Kita ini suka dengan
yang aneh-aneh seperti Mbah Jambronglah, maka masyarakat akan terbawa
aneh-aneh,” cetus alumnus IKJ – Institut Kesenian Jakarta itu.
Deddy konsekuen (ia kerap mengistilahkan: istiqomah) dengan jalan yang
dipilih dalam membuat film yang tidak mendangkalkan akal sehat. Ia
selektif dalam memproduksi. Bila dianggap tak ada naskah yang cocok, ia
memilih momentum yang tepat. Memilih kualitas cerita skenario dan
memainkannya secara serius. Maka ia pun bertanggung jawab terhadap kru
dalam memproduksi sebuah film atau sinetron dengan imbalan memadai.
Kendati ia dengan mudah lumer kalau ada orang pengin bekerja dengannya,
walau kemampuan belum terasah. Asal serius dan tekun. Namun instingnya
jalan, sehingga banyak pemain, penulis naskah skenario dan bidang yang
dimenangi dalam ajang festival film.
Ia menjadi panutan di lingkungannya. Juga oleh sutradara, yang notabene
kerap diangkatnya, sementara ia berkonsentrasi sebagai pemain,
berakting. Maka suasana guyup dan guyon yang menyelinap menjadi bagian
dari kerja kreatif di dunia sinema. Dan tanpa dikomando, mereka bekerja
serius di masing-masing bidangnya. Saling membantu apabila ada yang
perlu diuluri. Dan Deddy tetap tak melupakan ibadahnya di sela-sela
kepadatan waktunya berperan sebagai “haji” atau “ustadz”.
Lorong Waktu, Hikayat Pengembara dan Para Pencari Tuhan (PPT) adalah
buah keseriusan panjang Deddy Mizwar dalam menggeluti dunia sinema
bermuatan moral (agama). Ia tetap membumi dengan garapannya, sehingga
bisa diterima audience-nya. Ratingnya tinggi, di atas rata-rata dan
ajeg. Sehingga iklannya mengerojok tanpa melindas idealismenya. Ia tak
lelah dengan pencarian thema yang membumi, meski kedengaran remeh-temeh
dan aneh-aneh. Seperti Kentut, Alangkah Lucunya (Negeri ini) atau Kiamat
Sudah Dekat.
Ia tak lelah dengan pencarian thema dan cerita yang baik. Ia
melakoninya, dan ingin apa yang diambilnya bermanfaat bagi banyak orang
yang menghormati buah kerja dan karyanya. Deddy ingin, di lingkungannya,
mencari “kebenaran” dan “kelurusan” di dunia yang memasuki era
tumpang-tindih. Itu sebab ia yang sudah terseret dengan jalan sunyi,
jalan melalui sinema yang digeluti ingin banting stir? Karena terbersit
untuk membenahi rambu-rambu yang ditabrak tokoh masyarakat? Sedangkan ia
hanyalah seorang haji, seorang ustadz dalam film-filmnya.
Deddy Mizwar ada di antara rombongan pekerja seni yang mendatangi
Kantor KPK di Jalan HR Rasuna Said Jakarta untuk mendukung lembaga
pemberantasan korupsi, Minggu lalu. Juga namanya mengintip ke permukaan
sebagai yang akan dicalonwakilkan Gubernur Jawa Barat oleh Partai
Keadilan Sejahtera. Sebuah tawaran yang tidak aneh di dunia yang lain.
Karena tahun 2009 bahkan ia sempat mendeklarasikan untuk masuk bursa
Calon Presiden bersama dengan Jenderal (Purn) Saurip Kadi di TIM,
Jakarta. Juga sempat diskenariokan (oleh PDI Perjuangan) dengan menjadi
pasangan Jokowi dalam pilkada DKI Jakarta lalu.