PURNAMA DI BALIK AWAN
oleh Abank Juki aka Andriyansyah Marjuki
Adakah keindahan
Sunyi sepinya malam tanpa purnama
Adakah menawannya malam nir sinar purnama
Adakah cerahnya gelap pekat nan kelam nir purnama
Purnama, oh purnama, engkau sang purnama yang cerah
Engkaulah yang dinanti para pecinta nan dirundung duka
Engkaulah penghangat jiwa beku, kaulah yang kunanti
Kutunggu, kubuka jendela hatiku yang tertutup
Tengadahkan hadapku ke hamparan
Langit maha luas
Tiga
bulan berlalu sejak terakhir kali kulihat dirinya. Sejak pemecatan
dirinya yang menyakitkan. Aku ingat saat itu ia masih asyik bekerja di
balik meja kasir. Sebelum akhirnya sang manajer toko kami memanggilnya.
Setiap
hari ia selalu berada di posisi yang sama dengan tugas yang sama. Tak
pernah nampak kelelahan di rona wajahnya, melainkan senyum ramah kepada
setiap pelanggan. Tak nampak tanda-tanda adanya masalah besar dalam
hidupnya. Mungkin senyumnyalah yang menjadi salah satu faktor penarik
pelanggan untuk selalu kembali ke waralaba tempat kami bekerja.
Ia
bukan bidadari. Ia hanyalah perempuan yang terlalu tangguh menghadapi
kerasnya hidup. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ialah yang
menyangga tiang kehidupan keluarganya. Kadang aku heran, bagaimana
mungkin seorang kasir di waralaba seperti itu mampu menyekolahkan
adiknya di bangku SMP. Setahuku gaji kasir hanya cukup untuk ongkos dan
makan sehari-hari seorang diri saja. Bagaimana mungkin ia mampu?

Aku saja yang menjadi karyawan senior di waralaba tersebut hanya mampu
menghidupi diriku sendiri, bahkan kadang gajiku tak cukup untuk
mencukupi kebutuhan pribadi. Seringkali malah, orang tuaku memberi
subsidi kepadaku untuk sekadar uang makan dan ongkos menuju tempat
kerjaku itu.
Karena itulah, kadang otakku melenceng jauh dan
berpikiran negatif tentang Inov, perempuan yang terlalu tangguh itu.
Wajah cantiknya dan tubuh seksinya seringkali membuatku membayangkan
bahwa mungkin saja penghasilan lain ia dapatkan dengan memanfaatkan
kelebihannya itu. Lelaki normal mana yang tak tertarik dengan dirinya.
Sering
kucuri-dengar pembicaraan para pelanggan dengan dirinya. Selain dialog
standar berkaitan dengan pembayaran barang belanjaan, kadang terselip
pertanyaan (baik langsung maupun tersirat) mengenai nomor HP-nya ataupun
pin BB-nya. Bagiku itu adalah sebuah pertanda jelas dari ketertarikan
seorang lelaki kepada bidadari cantik seperti Inov.
***
Aku
bekerja di waralaba ini lebih dahulu daripada Inov. Kurang lebih setelah
setahun aku mulai kerja, datanglah Inov mengajukan lamaran. Awalnya
lamaran itu didiamkan selama kurang lebih dua minggu karena memang
tempatku bekerja ini belum membutuhkan karyawan/karyawati baru. Barulah
ketika ada salah satu karyawati yang mengundurkan diri, Inov dipanggil
untuk mengikuti tes dan wawancara. Tak butuh waktu lama, beberapa hari
kemudian dia diterima kerja dan mulai bertugas khusus sebagai kasir.
Tak
banyak yang kuketahui tentang dirinya pada awal dia bekerja. Selain
itu, memang aku tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Bagiku
cukup untuk mengetahui bahwa dia adalah rekan kerjaku. Ketidakpedulianku
itu tak bertahan terlalu lama hingga suatu sore datanglah seorang anak
kecil berseragam SMP yang mengaku sebagai adiknya Inov.
“Mas, mbak Inov-nya ada gak?”
Aku yang kebetulan berada di depan karena sedang membersihkan lantai agak keheranan.
“Mbak Inov?”
“Iya, Mas. Mbak Inov ada gak? Aku mau ketemu dia.”
“Ada di dalam. Tuh, dia di kasir. Emang kamu siapa?”
“Aku adiknya mbak Inov, Mas. Aku mau minta uang.”
“Minta uang? Kok, minta ke Mbak Inov? Uang buat apa?”
“Tadi di sekolah aku disuruh bapak guru beli buku. Kalau gak beli, aku gak boleh ikut ulangan.”
“Ohh… gitu. Kenapa gak minta ke ibu kamu?”
“Kata
Mbak Inov, kalau uang jajan aku boleh minta ke ibu, tapi kalau uang
untuk yang lain-lain aku gak boleh minta ke ibu. Aku disuruh minta ke
Mbak Inov aja.”
“Ohh… gitu. Ya sudah, tuh Mbak Inov-nya. Kamu masuk saja.”
Tak
berapa lama kemudian anak kecil itu masuk dan langsung menemui Inov.
Aku masih belum bisa melepaskan dialog tadi dari ingatanku. Rasanya ada
sesuatu yang ganjil. Hingga akhirnya aku tersadar setelah anak kecil
tadi keluar dan berpamitan.
“Mas, makasih ya…. Aku pulang dulu ya, Mas.”
“Oh, iya. Hati-hati ya….”
Sejak itulah aku menjadi “tertarik” untuk mengetahui kehidupan Inov lebih dalam.
***
Suatu
ketika aku berkesempatan untuk mengorek informasi langsung darinya.
Kebetulan pada hari itu aku mendapat giliran shift yang sama dengannya.
Sepulang kerja kuajak Inov untuk makan malam bersama. Jangan bayangkan
candle light dinner di restoran yang mewah! Aku hanya mampu mengajaknya
untuk makan malam di tukang nasi goreng pinggir jalan. Setelah memesan
nasi untuk kami berdua, mulailah aku membuka pembicaraan.
“Nov, kamu ingat gak, waktu adikmu datang minta uang ke kamu?”
“Iya, kenapa?”
“Gak apa-apa kok. Aku cuma penasaran aja sama kamu.”
“Penasaran kenapa? Emang ada yang salah ya, kalau mbak ngasih uang ke adiknya sendiri?”
“Bukan gitu maksudku. Emang orang tua kalian… maaf nih ya sebelumnya… nggak kerja gitu?”
“Penting ya… aku jawab pertanyaan itu?”
Aku
terdiam sesaat. Beruntunglah nasi goreng yang kami pesan tadi sudah
siap disajikan. Kebekuan sesaat tadi bisa mencair kembali. Setelah nasi
goreng terhidang di hadapan kami, mulailah kami menyantapnya. Setelah
beberapa suapan, aku mulai membuka obrolan kembali.
“Nov, maaf ya…. Aku gak ada maksud membongkar urusan keluargamu. Aku hanya ingin tahu saja.”
“Mmm…, ya sebenarnya gak apa-apa sih. Cuma aku heran aja, kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu urusan keluargaku?”
“Ya, gak apa-apa, Nov. Kalaupun kamu gak mau cerita, gak apa-apa kok.”
Kami
pun kembali beku. Di tengah kebekuan itu, kami hanya bisa menyantap
nasi goreng kami masing-masing. Entah rasanya bagi Inov, tapi bagiku
nasi goreng itu terasa hambar, hambar sekali.
Beberapa waktu
kemudian nasi goreng yang terhidang untuk kami telah tandas karena
memang kami berdua lapar. Setelah membayar nasi goreng untuk kami
berdua, aku bermaksud mengajaknya pulang. Tapi, ternyata Inov menahanku.
“Dika, tunggu.”
“Kenapa? Nasi gorengnya sudah dibayar kok. Ayo kita pulang!”
“Tunggu, aku mau ngomong sebentar.”
Aku
pun menurut saja. Kami kembali duduk di tempat yang sama. Kebetulan
pada saat itu pelanggan nasi goreng tidak terlalu banyak. Jadi, kami
bisa dengan leluasa melanjutkan obrolan.
“Dika…. Aku mau cerita, tapi janji ya… kamu gak akan cerita ke orang lain?”
“Iya, aku janji.”
“Sebenarnya
kedua orang tuaku sudah tidak bekerja lagi. Ibuku kadang hanya menjadi
tukang cuci di rumah tetangga yang kaya. Itupun tidak setiap hari.
Bapakku hanya pengumpul barang-barang bekas, plastik, dan kardus. Jika
sudah banyak barulah dia bawa ke tukang rongsok untuk dijual. Seminggu
sekali biasanya dia bawa semua barang bekas yang dia kumpulkan ke tukang
rongsok. Itupun paling hanya dapat 5 sampai 7 kilo saja. Uang yang
didapat bapakku paling banyak 20 sampai 30 ribu saja. Hanya cukup untuk
makan kami berempat. Seringkali kurang.”
Inov menghela nafas
sesaat. Kurasakan betapa beratnya helaan nafas Inov. Aku terdiam. Tak
mampu berkata apa-apa. Kemudian sambil sesekali menatap hampa gelapnya
langit tanpa purnama, Inov kembali melanjutkan ceritanya.
“Jadi,
orang tuaku hanya sanggup memberi uang jajan seadanya. Jika ada
keperluan lainnya untuk adikku, akulah yang harus memberinya uang. Aku
berusaha sekuat tenagaku agar adikku tidak sebodoh mbaknya. Aku hanya
lulusan SMP. Ijazah SMA yang kumiliki hanyalah ijazah Kejar Paket C.
Beruntung aku bisa diterima kerja dengan ijazah Kejar Paket C itu.”
Inov
kembali menghela nafas yang nampaknya semakin berat. Di sudut matanya
aku mulai melihat adanya tetes bening yang mengintip siap untuk meluncur
deras ke pipinya yang mulus. Aku beku. Tak mampu mengeluarkan suara.
Dinginnya malam kurasakan tak sedingin tubuhku yang kaku tak berdaya.
Inov kembali melanjutkan kisahnya.
“Aku bodoh, hanya lulusan SMP. Aku
tak ingin adikku sepertiku. Aku ingin dia terus sekolah hingga SMA.
Bahkan kalau bisa dan aku mampu, aku ingin dia kuliah mendapatkan gelar
sarjana.”
Tetes bening yang tadi mengintip sudah mulai mengalir perlahan. Aku masih membeku.
“Sekuatku,
semampuku, akan aku usahakan supaya adikku bisa terus sekolah. Aku tak
peduli kerja siang-malam. Aku tak peduli betapa lelahnya aku. Yang aku
pikirkan hanya adikku.”
Tetes bening lainnya mulai mengikuti
aliran yang sama. Kurasa sebentar lagi akan semakin deras. Aku tersadar.
Aku tak boleh membiarkannya menangis di tukang nasi goreng pinggir
jalan ini. Aku harus segera mengajaknya pulang.
“Nov, sudah cukup aku dengar ceritamu. Ayo, kita pulang! Sudah malam. Besok kan kita masuk kerja lagi.”
Tanpa
banyak kata lagi, kami pun akhirnya pulang. Aku antar dia ke rumahnya
yang kebetulan tak terlalu jauh. Setelah mengantarnya pulang, terngiang
kembali dialog di tukang nasi goreng itu. Otakku berputar, tapi kurasa
putarannya tidak beraturan, mungkin lebih tepatnya absurd.
***
Beberapa
minggu kemudian, ketika kami sedang melayani pelanggan seperti
biasanya, Inov dipanggil oleh manajer toko kami. Aku tak tahu apa
alasannya, dan juga tak mau tahu. Sikap acuh tak acuhku masih lekat. Tak
sampai setengah jam Inov sudah keluar dari ruangan manajer. Aku tetap
diam tak berusaha bertanya kepadanya.
Di luar dugaanku, Inov
berkata kepadaku bahwa ia ditawari pekerjaan baru oleh manajer kami.
Namun, lokasinya agak jauh. Setengah jam perjalanan dari waralaba yang
sekarang menjadi tempat kerja kami. Katanya sih, gajinya jauh lebih
besar, hampir dua kali lipat malah.
Aku tidak memberi saran apapun. Aku rasa dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi, rasa penaranku muncul.
“Terus gimana, Nov? Kamu mau?”
“Aku bingung, Dik. Gajinya memang lebih besar, tapi terlalu jauh buatku. Aku sudah nyaman berada di sini, dekat dengan rumah.”
“Ya… itu sih terserah kamu.”
Pembicaraan
terhenti sampai di situ dan kami pun melanjutkan pekerjaan kami
melayani pelanggan dengan penuh senyum. Tentu saja senyum Inov lebih
indah daripada senyumku.
Beberapa waktu berlalu dan Inov tetap pada keputusannya untuk bertahan di waralaba ini, yang dekat dengan tempat tinggalnya.
***
Pada
suatu malam sebelum kami pulang, kebetulan hari itu kembali aku
mendapat jadwal yang sama dengannya, kami melakukan penghitungan akhir
sebelum menyerahkan toko kepada karyawan lain yang melanjutkan shift
kami.
Penghitungan uang cash dan laporan barang terjual sudah
biasa kami lakukan dan biasanya tidak ada masalah berarti. Hanya sedikit
selisih, yang tak lebih dari 5000 rupiah, sudah biasa kami alami. Tapi,
malam ini kami kaget bukan kepalang. Selisih antara uang cash dan
laporan barang terjual ternyata sangat besar, mencapai hampir 300 ribu
rupiah. Tentu saja itu di luar perkiraan kami, khususnya Inov yang
berada di bagian kasir.
Penghitungan ulang kami lakukan hingga 3
kali dan akhirnya kami menyerah karena memang selisihnya tetap sebesar
itu. Kami berdua heran. Adakah yang mengambil uang cash di meja kasir?
Ataukah ini hanya kesalahan penghitungan saja? Inov terlihat sangat
terpukul karena baru kali ini selisihnya sebesar itu. Padahal selama
bekerja ia tak pernah meninggalkan meja kasir. Kalaupun ada keperluan ke
belakang, ia selalu menitipkannya kepada karyawan lain, termasuk aku.
Malam itu kami bingung.
Sampai akhirnya karyawan lain memberi
jalan keluar, yang bagiku sebenarnya bukanlah jalan keluar. Ia meminta
kami untuk membuat laporan khusus bahwa malam ini terjadi selisih
sebesar itu dengan alasan yang belum diketahui. Ia menyarankan bahwa
besok barulah kami mengecek ulang laporan penjualan.
Membuat
laporan khusus memang mudah, tapi itu artinya kami harus menyerahkan
laporan kepada manajer dan arti lanjutannya adalah kami harus siap
mendapatkan SP 1. Di tengah kebingungan yang semakin tak menentu, akupun
meng-iya-kan saran teman kami itu. Inov pun akhirnya kuajak membuat
laporan khusus itu. Setelah itu kami pulang dengan kekhawatiran mengenai
nasib pekerjaan kami berdua.
***
Keesokan harinya, seperti
yang telah kami duga, kami berdua dipanggil menghadap manajer. Tanpa
banyak penjelasan lagi, kami akhirnya mendapat sanksi. Aku mendapat SP
1. Kupikir Inov pun akan mendapatkan hal yang sama. Tapi, ternyata
sanksi untuk Inov lebih berat. Sang manajer beralasan bahwa karena
selisih ini adalah tanggung jawab Inov sebagai kasir, maka tidak ada
toleransi untuk Inov. Ia dipecat!
Aku tak percaya dengan apa yang
kudengar. Inov coba membela diri. Akupun berusaha membelanya. Tapi,
manajer kami tetap bertahan dengan keputusannya. Kesalahan Inov tak
dapat ditoleransi lagi. Inov harus meninggalkan pekerjaannya.
Di
sudut matanya tak kulihat tetes bening yang mengintip dan siap meluncur.
Aku heran, betapa tegarnya gadis ini. Beberapa saat kemudian baru
kusadari, ternyata tetes-tetes bening itu sudah meluncur deras sejak
tadi, membasahi pipinya yang lembut dan halus. Terisak ia meninggalkan
ruangan. Bahkan tak ada kata pamit terucap dari bibirnya kepada sang
manajer.
Inov dipecat tanpa pesangon. Ia hanya mendapatkan
gajinya bulan ini. Aku terdiam. Aku beku melihat Inov pergi terisak
meninggalkan waralaba ini. Kurasa Inov akan menyimpan benci yang teramat
sangat kepada manajer kami karena ia tak diberi kesempatan untuk
membela diri lebih jauh lagi. Aku merasakan kebencian itu.
Tak ada yang terlintas di otakku selain bayangan adiknya yang berseragam SMP, dengan wajah sendu. Aku beku.
***
Beberapa
hari setelah pemecatan itu, aku coba menghubungi Inov. Aku menanyakan
kabarnya dan mencari tahu apakah ia sudah bekerja kembali. Sambil
terisak ia mengatakan bahwa ia sekarang hanya diam di rumah. Ia sudah
melamar ke beberapa tempat tapi belum mendapatkan jawaban.
***
Sebulan
kemudian aku mendapatkan sms dari Inov. Ia mengatakan bahwa dirinya
sudah mendapat kerja. Gajinya lebih besar, lebih dari dua kali lipat
dibandingkan gajinya saat menjadi kasir di waralaba tempatku bekerja.
Tak banyak yang kusampaikan padanya selain ucapan selamat dan rasa
syukurku karena ia telah kembali bekerja. Kembali melintas di otakku
adiknya yang berseragam SMP, tapi kali ini dengan senyum yang merekah
lebar.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu pun demikian.
Tak terasa sudah tiga bulan Inov bekerja di tempatnya yang baru. Tiga
bulan persis setelah pemecatan dirinya.
Pada suatu hari Inov meneleponku.
“Dik, aku merasa ada yang aneh.”
“Aneh? Apanya yang aneh? Kamu sudah enak bekerja di tempat yang baru. Gajimu lebih besar. Apa yang aneh?”
“Justru
itu, Dik. Aku merasa semuanya terlalu mudah dan nyaman. Gajiku besar.
Lebih dari cukup untuk uang makanku sendiri. Aku bisa memberi kepada
orang tuaku lebih banyak dari sebelumnya. Keperluan sekolah adikku bisa
kupenuhi semua. Bahkan aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung.
Semuanya aneh, Dik. Semuanya terlalu mudah.”
Aku terdiam. Bukan
iri padanya, tapi aku bersyukur bahwa ternyata Inov mendapatkan balasan
kehidupan yang jauh lebih baik akibat pemecatan beberapa bulan lalu.
“Ya,
sudah…. Kamu bersyukur saja telah mendapatkan kehidupan yang sekarang
ini. Bekerjalah sebaik mungkin supaya kamu tidak dipecat lagi.” Aku
berpesan setengah bercanda.
Pembicaraan itupun berakhir. Aku
merasa Inov masih keheranan dengan kehidupannya yang sekarang, yang jauh
lebih baik dari sebelumnya.
***
Hari demi hari terus berlalu.
Tapi, entah mengapa keheranan Inov membayangi pikiranku. Keanehan yang
dirasakan Inov cukup beralasan. Sebelumnya ia bekerja sebagai kasir
dengan gaji yang pas-pasan. Kemudian ia dipecat tanpa pesangon sepeser
pun. Sekarang ia bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih dari cukup.
Aneh memang….
Beberapa hari kemudian aku terdorong untuk mencari
tahu masalah pemecatan Inov 3 bulan lalu kepada beberapa karyawan lain.
Kasus itu memang sudah dianggap selesai dengan dipecatnya Inov. Akupun
sebenarnya sudah melupakan kasus itu. Tapi, telepon dari Inov
menyegarkan ingatanku mengenai kejadian itu. Seingatku pada malam itu
memang uang cash yang ada di meja kasir sudah sesuai dengan laporan
penjualan barang. Tak ada selisih yang terlalu besar. Tapi mengapa pada
saat penghitungan akhir selisihnya menjadi sebesar itu? Otakku berputar
tanpa poros yang pasti. Absurd.
Beberapa hari selanjutnya aku
terus mencari informasi mengenai beberapa keanehan yang semakin
kurasakan. Karyawan lain mengatakan kepadaku bahwa sebaiknya aku
melupakan semua peristiwa itu. Toh, semuanya sudah berlalu dan Inov
sudah hidup lebih baik. Mereka benar, tapi otakku masih terus berputar
pada poros yang tak pasti.
***
Pada suatu malam yang gelap dan
dingin seperti biasanya, aku bersiap pulang setelah menyelesaikan
urusan pekerjaanku. Tak disangka manajer toko memanggilku.
“Dika, tunggu!”
“Ya, Pak. Ada apa?”
“Tunggu bapak. Ada yang ingin bapak bicarakan.”
“Semua pekerjaan sudah beres, Pak. Sudah rapi.”
“Bukan masalah pekerjaan, tunggu….”
Aku
terdiam dan menunggu manajerku itu. Kemudian ia mengajakku ke sebuah
kedai kopi yang berada di udara terbuka. Kebetulan malam itu cukup cerah
walaupun gelap membayangi. Sebenarnya ada purnama di atas sana, tapi
awan tebal menghalangi sinar indahnya.
Manajerku memesan dua gelas kopi kental untuk kami berdua. Kemudian ia mulai menyulut rokoknya. Pembicaraan pun di mulai.
“Dika…. Coba kau lihat ke atas, ke langit luas.”
“Iya, Pak. Kenapa? Cuma awan gelap dan pekat, Pak. Gak ada apa-apa.”
“Iya, memang hanya awan gelap dan pekat. Tapi, kau tahu kan sebenarnya di balik awan itu ada purnama yang cerah bersinar?”
“Iya, Pak. Memang sepertinya ada purnama yang bersinar indah. Memang kenapa, Pak?”
“Bapak
tahu, beberapa hari belakangan ini kamu mencari informasi mengenai
kejadian pemecatan Inov yang dulu itu. Kamu masih penasaran? Belum dapat
jawaban?”
“Iya, Pak. Saya masih penasaran. Bapak tahu kejadian sebenarnya?”
Akupun
kemudian ikut menyulut rokok untuk menemani hangatnya kopi kental yang
sudah tersaji sejak tadi. Pembicaraan kembali berlanjut.
“Kamu ingat kalau bapak pernah memanggil Inov dan menawarkan pekerjaan lain kepadanya?”
“Iya, Pak, saya ingat betul.”
“Kamu ingat Inov menolak pekerjaan itu dengan alasan terlalu jauh dari rumahnya?”
“Iya, Pak, saya ingat.”
“Kamu tahu kalau Inov hanya lulusan SMP? Kamu tahu Inov melamar kerja di waralaba ini menggunakan ijazah Kejar Paket C?”
“Iya, Pak. Inov pernah cerita kepada saya.”
“Dika….
Jujur saja, sejak awal Inov melamar sebenarnya Inov sudah ditolak. Inov
sebenarnya sudah tidak masuk kualifikasi administrasi karena syarat
minimal adalah lulusan SMA dan memiliki ijazah SMA. Bukan ijazah Kejar
Paket C. Memang kedua ijazah tersebut setara, tapi peraturan dari kantor
pusat menyatakan bahwa yang bisa diterima hanyalah lulusan SMA yang
memiliki ijazah SMA.”
“Lalu…?”
“Iya, sebenarnya Inov sudah ditolak
sejak awal. Tapi, ketika bapak membaca surat lamarannya sekali lagi, di
bagian bawah surat itu tertulis kata-kata: Saya bekerja bukan untuk
diri saya. Saya bekerja untuk menyekolahkan adik saya yang masih SMP.
Saya ingin agar ia tidak menjadi bodoh seperti mbaknya ini yang hanya
lulusan SMP. Saya ingin ia bisa melanjutkan hingga SMA, bahkan kalau
bisa hingga sarjana.”
Aku terdiam. Aku beku. Aku kemudian teringat bahwa Inov pernah menceritakan hal itu. Manajerku kembali melanjutkan ceritanya.
“Bapak
tidak menyadari, ketika membaca surat lamaran itu, air mata bapak
menetes membasahi surat lamaran Inov. Akhirnya bapak putuskan sedikit
melanggar aturan dari kantor pusat. Bapak putuskan memanggil Inov untuk
wawancara.”
“Akhirnya Bapak terima Inov kerja, kan?”
“Iya, setelah mendengar penjelasan langsung dari Inov, bapak putuskan untuk menerimanya bekerja.”
Aku sedikit tercerahkan. Putaran otakku mulai menemukan porosnya. Ternyata….
“Lalu, mengapa Inov dipecat, Pak? Bukankah Bapak yang menerimanya bekerja karena mengetahui kondisinya itu?”
“Iya, memang benar. Bapak yang menerimanya bekerja dan bapak pula yang memecatnya.”
Sambil menghisap rokoknya, manajerku itu kembali melanjutkan ceritanya.
“Setelah
beberapa waktu Inov bekerja, bapak merasa Inov adalah pekerja yang baik
dan seharusnya mendapat penghasilan lebih besar. Tapi, masalahnya
adalah di toko kita ini ada batasan maksimal gaji yang bisa didapatkan
oleh karyawan seperti kamu dan Inov. Bapak tidak mungkin menggaji Inov
lebih besar daripada ketentuan dari kantor pusat. Oleh karena itulah,
bapak sempat menawarinya untuk pindah bekerja.”
“Tapi, Inov tidak mau ya, Pak. Karena ia tidak mau bekerja jauh dari rumahnya.”
“Ya,
itulah masalahnya. Inov tidak mau menerima pekerjaan baru. Hingga
akhirnya bapak membuat skenario pemecatan itu. Bapak minta kamu tidak
salah paham dengan bapak. Bapak sendirilah yang membuat Inov dipecat.
Hanya dengan cara itulah Inov bisa dipaksa keluar. Bapak hanya ingin dia
bekerja di tempat lain yang penghasilannya lebih besar.”
Tak
terasa jari-jariku mengepal erat. Jika tidak kutahan emosi dan tidak
kuingat siapa yang berada di hadapanku ini, mungkin bogem mentah sudah
melayang ke wajah tanpa dosa itu.
“Dika, bapak tahu kamu emosi. Tapi, tahukah kamu, sekarang Inov bekerja di mana? Siapakah yang memanggilnya untuk bekerja?”
“Bapak???”
“Iya,
kantor tempat Inov bekerja sekarang adalah milik orang tua bapak.
Bapaklah yang mengajukan rekomendasi agar Inov dipanggil bekerja di
sana.”
Aku terdiam, beku, sedingin malam yang udaranya kurasa
menusuk tulangku hingga ke sumsum terdalam. Ku tengadahkan wajahku ke
langit. Di sana memang ada purnama yang bersinar cerah. Tapi, terkadang
ia tak perlu menunjukkan dirinya dan lebih memilih bersembunyi di balik
awan. Kini kurasakan bahwa otakku telah berputar normal pada porosnya.
##TAMAT##
(Abank Juki, Cikarang, Jumat, 13 April 2012, 21.28 WIB)
sumber:
https://www.kompasiana.com/abankjuki/550f2dbe813311b62cbc670b/purnama-di-balik-awan?page=all
*******************