Translate

Sabtu, Juli 28, 2012

Tryout / Latihan Soal UKG Online (Bahasa Indonesia)

Tryout UKG Online yang akan saya sharingkan ini bukan sebuah “Bocoran Soal Uji Kompetensi Guru (UKG) Online″. Latihan Soal Uji Kompetensi Guru (UKG) Online yang memang tampilannya mirip software aslinya, berasal dari Sumber di dunia maya yang saya peroleh, yang semoga nantinya dapat digunakan sebagai acuan untuk belajar dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi Soal Uji Kompetensi Guru (UKG) Online yang sebenarnya, dan bahkan sebagai ajang pemanasan untuk menghadapi Soal Uji Kompetensi Guru (UKG) Online.




Berikut ini adalah menu “link” yang dapat digunakan untuk Berlatih Soal, sebagai Tryout dan Prediksi Soal Uji Kompetensi Guru (UKG) Online:
  1. Umum SD

  2. Bahasa Indonesia SMP

  3. Bahasa Inggris SMP

  4. Ilmu Pengetahuan Alam SMP

  5. Matematika SMP


Silahkan coba juga yang ini Soal UKG Online


Atau yang ini :
1. Uji Kemampuan Pedagogik Model 1
2. Uji Kemampuan Pedagogik Model 2
3. Uji Kemampuan Matematika


Dan untuk Simulasinya silahkan klik link dibawah ini :


Berikut beberapa link situs latihan soal UKG online yang bisa Anda coba:

1. Quizizz:

2. ProProfs:

3. Scribd:

4. Sonora:

5. Kumparan:

Situs Lainnya:

Tips:

  • Gunakan kata kunci yang tepat saat mencari soal latihan di internet. Contohnya, "latihan soal UKG pedagogik SD", "latihan soal UKG paket 1", "latihan soal UKG SMP", dan lain sebagainya.
  • Manfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan soal latihan yang lebih variatif.
  • Ikuti tryout UKG online yang diadakan oleh berbagai lembaga.
  • Diskusikan soal latihan dengan teman atau kolega sesama guru.
  • Evaluasi diri Anda setelah mengerjakan soal latihan dan pelajari materi yang masih belum dikuasai.

Semoga membantu!

Catatan:

  • Pastikan untuk selalu mencari informasi terbaru terkait UKG dari sumber yang terpercaya, seperti situs web resmi Kemendikbud.
  • Format dan materi soal latihan UKG online mungkin berbeda dengan soal UKG yang sebenarnya. Gunakan latihan soal ini sebagai panduan belajar dan jangan jadikan patokan utama.

Semoga Anda sukses dalam persiapan UKG!

Read more »

Bahan Belajar Uji Kompetensi Guru (UKG Online)

BAHAN BELAJAR UJI KOMPETENSI GURU (UKG)


Bapak Ibu Guru, Uji Kompetensi Guru (UKG) sudah pasti dilaksanakan mulai tanggal 30 Juli 2012, tetapi sampai saat ini masih banyak juga Bapak Ibu guru yang bingung apa sebenarnya yang perlu dipelajari. Menurut saya ada 2 hal yang perlu dipersiapkan oleh bapak Ibu guru:

a.    Penguasaan dasar-dasar penggunaan komputer (untuk UKG Online).
b.    Penguasaan Kompetensi Guru (Pedagogik dan Profesional).

Bapak Ibu guru, dalam buku PEDOMAN UKG tahun 2012 disebutkan bahwa tujuan UKG adalah :

1. Pemetaan penguasaan kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan profesional) sebagai dasar pertimbangan pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam bentuk kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan.

2. Sebagai entry point penilaian kinerja guru dan sebagai alat kontrol pelaksanaan penilaian kinerja guru.

Jadi menurut saya apapun hasil dari UKG ini tidak ada sangkut pautnya dengan pembayaran tunjangan profesi, namun demikian Bapak Ibu guru harus tetap mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Jika Bapak Ibu merasa bingung mau belajar apa, beberapa hari yang lalu saya telah mengupload materi-materi yang sekiranya bermanfaat untuk BAHAN BELAJAR UJI KOMPETENSI GURU (UKG), silahkan klik disini untuk melihat materi-materi tersebut.


Read more »

Daftar Peserta PLPG / Sertifikasi Guru 2012

Daftar Peserta PLPG / Sertifikasi Guru 2012

Bapak Ibu dan Rekan-rekan guru yang ingin mencari daftar peserta Sertifikasi / PLPG 2012, lengkap se-Indonesia, caranya :
1. Pilih Nama Provinsi
2. Pilih Nama Kabupaten
3. Pilih Jenjang sekolah
silakan klik di sini 

atau dari menu Pencarian :
1. Masukan/ketik Nomor Peserta
2. Klik icon pencarian di sebelah kanan kotak (tempat menulis Nomor peserta)
silakan klik di sini

Sumber : http://sergur.kemdiknas.go.id
Untuk Persiapan PLPG, Bagi yang membutuhkan : 
Contoh Materi PLPG Sertifikasi Guru klik di sini
Kisi-kisi UKA-Akhir (menurut informasi hampir sama dengan UKA-Awal) Klik di sini
Contoh Proposal PTK lihat di sini
Contoh Laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) lihat di sini

Read more »

Puisi: Aku (Chairil Anwar)

Aku adalah sebuah puisi karya Chairil Anwar, karya ini mungkin adalah karyanya yang paling terkenal dan juga salah satu puisi paling terkemuka dari Angkatan '45. Aku memiliki tema pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin "hidup seribu tahun lagi", namun ia menyadari keterbatasan usianya, dan kalau ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk meratapinya.

 

AKU


Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Read more »

Cerpen: Purnama Di Balik Awan

PURNAMA DI BALIK AWAN

oleh Abank Juki aka Andriyansyah Marjuki



Adakah keindahan
Sunyi sepinya malam tanpa purnama
Adakah menawannya malam nir sinar purnama
Adakah cerahnya gelap pekat nan kelam nir purnama
Purnama, oh purnama, engkau sang purnama yang cerah
Engkaulah yang dinanti para pecinta nan dirundung duka
Engkaulah penghangat jiwa beku, kaulah yang kunanti
Kutunggu, kubuka jendela hatiku yang tertutup
Tengadahkan hadapku ke hamparan
Langit maha luas



Tiga bulan berlalu sejak terakhir kali kulihat dirinya. Sejak pemecatan dirinya yang menyakitkan. Aku ingat saat itu ia masih asyik bekerja di balik meja kasir. Sebelum akhirnya sang manajer toko kami memanggilnya.

Setiap hari ia selalu berada di posisi yang sama dengan tugas yang sama. Tak pernah nampak kelelahan di rona wajahnya, melainkan senyum ramah kepada setiap pelanggan. Tak nampak tanda-tanda adanya masalah besar dalam hidupnya. Mungkin senyumnyalah yang menjadi salah satu faktor penarik pelanggan untuk selalu kembali ke waralaba tempat kami bekerja.

Ia bukan bidadari. Ia hanyalah perempuan yang terlalu tangguh menghadapi kerasnya hidup. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya, ialah yang menyangga tiang kehidupan keluarganya. Kadang aku heran, bagaimana mungkin seorang kasir di waralaba seperti itu mampu menyekolahkan adiknya di bangku SMP. Setahuku gaji kasir hanya cukup untuk ongkos dan makan sehari-hari seorang diri saja. Bagaimana mungkin ia mampu?


Aku saja yang menjadi karyawan senior di waralaba tersebut hanya mampu menghidupi diriku sendiri, bahkan kadang gajiku tak cukup untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Seringkali malah, orang tuaku memberi subsidi kepadaku untuk sekadar uang makan dan ongkos menuju tempat kerjaku itu.

Karena itulah, kadang otakku melenceng jauh dan berpikiran negatif tentang Inov, perempuan yang terlalu tangguh itu. Wajah cantiknya dan tubuh seksinya seringkali membuatku membayangkan bahwa mungkin saja penghasilan lain ia dapatkan dengan memanfaatkan kelebihannya itu. Lelaki normal mana yang tak tertarik dengan dirinya.

Sering kucuri-dengar pembicaraan para pelanggan dengan dirinya. Selain dialog standar berkaitan dengan pembayaran barang belanjaan, kadang terselip pertanyaan (baik langsung maupun tersirat) mengenai nomor HP-nya ataupun pin BB-nya. Bagiku itu adalah sebuah pertanda jelas dari ketertarikan seorang lelaki kepada bidadari cantik seperti Inov.
***

Aku bekerja di waralaba ini lebih dahulu daripada Inov. Kurang lebih setelah setahun aku mulai kerja, datanglah Inov mengajukan lamaran. Awalnya lamaran itu didiamkan selama kurang lebih dua minggu karena memang tempatku bekerja ini belum membutuhkan karyawan/karyawati baru. Barulah ketika ada salah satu karyawati yang mengundurkan diri, Inov dipanggil untuk mengikuti tes dan wawancara. Tak butuh waktu lama, beberapa hari kemudian dia diterima kerja dan mulai bertugas khusus sebagai kasir.

Tak banyak yang kuketahui tentang dirinya pada awal dia bekerja. Selain itu, memang aku tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Bagiku cukup untuk mengetahui bahwa dia adalah rekan kerjaku. Ketidakpedulianku itu tak bertahan terlalu lama hingga suatu sore datanglah seorang anak kecil berseragam SMP yang mengaku sebagai adiknya Inov.

“Mas, mbak Inov-nya ada gak?”

Aku yang kebetulan berada di depan karena sedang membersihkan lantai agak keheranan.

“Mbak Inov?”

“Iya, Mas. Mbak Inov ada gak? Aku mau ketemu dia.”

“Ada di dalam. Tuh, dia di kasir. Emang kamu siapa?”

“Aku adiknya mbak Inov, Mas. Aku mau minta uang.”

“Minta uang? Kok, minta ke Mbak Inov? Uang buat apa?”

“Tadi di sekolah aku disuruh bapak guru beli buku. Kalau gak beli, aku gak boleh ikut ulangan.”

“Ohh… gitu. Kenapa gak minta ke ibu kamu?”

“Kata Mbak Inov, kalau uang jajan aku boleh minta ke ibu, tapi kalau uang untuk yang lain-lain aku gak boleh minta ke ibu. Aku disuruh minta ke Mbak Inov aja.”

“Ohh… gitu. Ya sudah, tuh Mbak Inov-nya. Kamu masuk saja.”

Tak berapa lama kemudian anak kecil itu masuk dan langsung menemui Inov. Aku masih belum bisa melepaskan dialog tadi dari ingatanku. Rasanya ada sesuatu yang ganjil. Hingga akhirnya aku tersadar setelah anak kecil tadi keluar dan berpamitan.

“Mas, makasih ya…. Aku pulang dulu ya, Mas.”

“Oh, iya. Hati-hati ya….”

Sejak itulah aku menjadi “tertarik” untuk mengetahui kehidupan Inov lebih dalam.
***

Suatu ketika aku berkesempatan untuk mengorek informasi langsung darinya. Kebetulan pada hari itu aku mendapat giliran shift yang sama dengannya. Sepulang kerja kuajak Inov untuk makan malam bersama. Jangan bayangkan candle light dinner di restoran yang mewah! Aku hanya mampu mengajaknya untuk makan malam di tukang nasi goreng pinggir jalan. Setelah memesan nasi untuk kami berdua, mulailah aku membuka pembicaraan.
“Nov, kamu ingat gak, waktu adikmu datang minta uang ke kamu?”

“Iya, kenapa?”

“Gak apa-apa kok. Aku cuma penasaran aja sama kamu.”

“Penasaran kenapa? Emang ada yang salah ya, kalau mbak ngasih uang ke adiknya sendiri?”

“Bukan gitu maksudku. Emang orang tua kalian… maaf nih ya sebelumnya… nggak kerja gitu?”

“Penting ya… aku jawab pertanyaan itu?”

Aku terdiam sesaat. Beruntunglah nasi goreng yang kami pesan tadi sudah siap disajikan. Kebekuan sesaat tadi bisa mencair kembali. Setelah nasi goreng terhidang di hadapan kami, mulailah kami menyantapnya. Setelah beberapa suapan, aku mulai membuka obrolan kembali.

“Nov, maaf ya…. Aku gak ada maksud membongkar urusan keluargamu. Aku hanya ingin tahu saja.”

“Mmm…, ya sebenarnya gak apa-apa sih. Cuma aku heran aja, kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu urusan keluargaku?”

“Ya, gak apa-apa, Nov. Kalaupun kamu gak mau cerita, gak apa-apa kok.”

Kami pun kembali beku. Di tengah kebekuan itu, kami hanya bisa menyantap nasi goreng kami masing-masing. Entah rasanya bagi Inov, tapi bagiku nasi goreng itu terasa hambar, hambar sekali.

Beberapa waktu kemudian nasi goreng yang terhidang untuk kami telah tandas karena memang kami berdua lapar. Setelah membayar nasi goreng untuk kami berdua, aku bermaksud mengajaknya pulang. Tapi, ternyata Inov menahanku.

“Dika, tunggu.”

“Kenapa? Nasi gorengnya sudah dibayar kok. Ayo kita pulang!”

“Tunggu, aku mau ngomong sebentar.”

Aku pun menurut saja. Kami kembali duduk di tempat yang sama. Kebetulan pada saat itu pelanggan nasi goreng tidak terlalu banyak. Jadi, kami bisa dengan leluasa melanjutkan obrolan.

“Dika…. Aku mau cerita, tapi janji ya… kamu gak akan cerita ke orang lain?”

“Iya, aku janji.”

“Sebenarnya kedua orang tuaku sudah tidak bekerja lagi. Ibuku kadang hanya menjadi tukang cuci di rumah tetangga yang kaya. Itupun tidak setiap hari. Bapakku hanya pengumpul barang-barang bekas, plastik, dan kardus. Jika sudah banyak barulah dia bawa ke tukang rongsok untuk dijual. Seminggu sekali biasanya dia bawa semua barang bekas yang dia kumpulkan ke tukang rongsok. Itupun paling hanya dapat 5 sampai 7 kilo saja. Uang yang didapat bapakku paling banyak 20 sampai 30 ribu saja. Hanya cukup untuk makan kami berempat. Seringkali kurang.”

Inov menghela nafas sesaat. Kurasakan betapa beratnya helaan nafas Inov. Aku terdiam. Tak mampu berkata apa-apa. Kemudian sambil sesekali menatap hampa gelapnya langit tanpa purnama, Inov kembali melanjutkan ceritanya.

“Jadi, orang tuaku hanya sanggup memberi uang jajan seadanya. Jika ada keperluan lainnya untuk adikku, akulah yang harus memberinya uang. Aku berusaha sekuat tenagaku agar adikku tidak sebodoh mbaknya. Aku hanya lulusan SMP. Ijazah SMA yang kumiliki hanyalah ijazah Kejar Paket C. Beruntung aku bisa diterima kerja dengan ijazah Kejar Paket C itu.”

Inov kembali menghela nafas yang nampaknya semakin berat. Di sudut matanya aku mulai melihat adanya tetes bening yang mengintip siap untuk meluncur deras ke pipinya yang mulus. Aku beku. Tak mampu mengeluarkan suara. Dinginnya malam kurasakan tak sedingin tubuhku yang kaku tak berdaya. Inov kembali melanjutkan kisahnya.

“Aku bodoh, hanya lulusan SMP. Aku tak ingin adikku sepertiku. Aku ingin dia terus sekolah hingga SMA. Bahkan kalau bisa dan aku mampu, aku ingin dia kuliah mendapatkan gelar sarjana.”

Tetes bening yang tadi mengintip sudah mulai mengalir perlahan. Aku masih membeku.

“Sekuatku, semampuku, akan aku usahakan supaya adikku bisa terus sekolah. Aku tak peduli kerja siang-malam. Aku tak peduli betapa lelahnya aku. Yang aku pikirkan hanya adikku.”

Tetes bening lainnya mulai mengikuti aliran yang sama. Kurasa sebentar lagi akan semakin deras. Aku tersadar. Aku tak boleh membiarkannya menangis di tukang nasi goreng pinggir jalan ini. Aku harus segera mengajaknya pulang.

“Nov, sudah cukup aku dengar ceritamu. Ayo, kita pulang! Sudah malam. Besok kan kita masuk kerja lagi.”

Tanpa banyak kata lagi, kami pun akhirnya pulang. Aku antar dia ke rumahnya yang kebetulan tak terlalu jauh. Setelah mengantarnya pulang, terngiang kembali dialog di tukang nasi goreng itu. Otakku berputar, tapi kurasa putarannya tidak beraturan, mungkin lebih tepatnya absurd.

***

Beberapa minggu kemudian, ketika kami sedang melayani pelanggan seperti biasanya, Inov dipanggil oleh manajer toko kami. Aku tak tahu apa alasannya, dan juga tak mau tahu. Sikap acuh tak acuhku masih lekat. Tak sampai setengah jam Inov sudah keluar dari ruangan manajer. Aku tetap diam tak berusaha bertanya kepadanya.

Di luar dugaanku, Inov berkata kepadaku bahwa ia ditawari pekerjaan baru oleh manajer kami. Namun, lokasinya agak jauh. Setengah jam perjalanan dari waralaba yang sekarang menjadi tempat kerja kami. Katanya sih, gajinya jauh lebih besar, hampir dua kali lipat malah.

Aku tidak memberi saran apapun. Aku rasa dia sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi, rasa penaranku muncul.

“Terus gimana, Nov? Kamu mau?”

“Aku bingung, Dik. Gajinya memang lebih besar, tapi terlalu jauh buatku. Aku sudah nyaman berada di sini, dekat dengan rumah.”

“Ya… itu sih terserah kamu.”

Pembicaraan terhenti sampai di situ dan kami pun melanjutkan pekerjaan kami melayani pelanggan dengan penuh senyum. Tentu saja senyum Inov lebih indah daripada senyumku.

Beberapa waktu berlalu dan Inov tetap pada keputusannya untuk bertahan di waralaba ini, yang dekat dengan tempat tinggalnya.
***

Pada suatu malam sebelum kami pulang, kebetulan hari itu kembali aku mendapat jadwal yang sama dengannya, kami melakukan penghitungan akhir sebelum menyerahkan toko kepada karyawan lain yang melanjutkan shift kami.

Penghitungan uang cash dan laporan barang terjual sudah biasa kami lakukan dan biasanya tidak ada masalah berarti. Hanya sedikit selisih, yang tak lebih dari 5000 rupiah, sudah biasa kami alami. Tapi, malam ini kami kaget bukan kepalang. Selisih antara uang cash dan laporan barang terjual ternyata sangat besar, mencapai hampir 300 ribu rupiah. Tentu saja itu di luar perkiraan kami, khususnya Inov yang berada di bagian kasir.

Penghitungan ulang kami lakukan hingga 3 kali dan akhirnya kami menyerah karena memang selisihnya tetap sebesar itu. Kami berdua heran. Adakah yang mengambil uang cash di meja kasir? Ataukah ini hanya kesalahan penghitungan saja? Inov terlihat sangat terpukul karena baru kali ini selisihnya sebesar itu. Padahal selama bekerja ia tak pernah meninggalkan meja kasir. Kalaupun ada keperluan ke belakang, ia selalu menitipkannya kepada karyawan lain, termasuk aku. Malam itu kami bingung.

Sampai akhirnya karyawan lain memberi jalan keluar, yang bagiku sebenarnya bukanlah jalan keluar. Ia meminta kami untuk membuat laporan khusus bahwa malam ini terjadi selisih sebesar itu dengan alasan yang belum diketahui. Ia menyarankan bahwa besok barulah kami mengecek ulang laporan penjualan.

Membuat laporan khusus memang mudah, tapi itu artinya kami harus menyerahkan laporan kepada manajer dan arti lanjutannya adalah kami harus siap mendapatkan SP 1. Di tengah kebingungan yang semakin tak menentu, akupun meng-iya-kan saran teman kami itu. Inov pun akhirnya kuajak membuat laporan khusus itu. Setelah itu kami pulang dengan kekhawatiran mengenai nasib pekerjaan kami berdua.
***

Keesokan harinya, seperti yang telah kami duga, kami berdua dipanggil menghadap manajer. Tanpa banyak penjelasan lagi, kami akhirnya mendapat sanksi. Aku mendapat SP 1. Kupikir Inov pun akan mendapatkan hal yang sama. Tapi, ternyata sanksi untuk Inov lebih berat. Sang manajer beralasan bahwa karena selisih ini adalah tanggung jawab Inov sebagai kasir, maka tidak ada toleransi untuk Inov. Ia dipecat!

Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Inov coba membela diri. Akupun berusaha membelanya. Tapi, manajer kami tetap bertahan dengan keputusannya. Kesalahan Inov tak dapat ditoleransi lagi. Inov harus meninggalkan pekerjaannya.

Di sudut matanya tak kulihat tetes bening yang mengintip dan siap meluncur. Aku heran, betapa tegarnya gadis ini. Beberapa saat kemudian baru kusadari, ternyata tetes-tetes bening itu sudah meluncur deras sejak tadi, membasahi pipinya yang lembut dan halus. Terisak ia meninggalkan ruangan. Bahkan tak ada kata pamit terucap dari bibirnya kepada sang manajer.

Inov dipecat tanpa pesangon. Ia hanya mendapatkan gajinya bulan ini. Aku terdiam. Aku beku melihat Inov pergi terisak meninggalkan waralaba ini. Kurasa Inov akan menyimpan benci yang teramat sangat kepada manajer kami karena ia tak diberi kesempatan untuk membela diri lebih jauh lagi. Aku merasakan kebencian itu.

Tak ada yang terlintas di otakku selain bayangan adiknya yang berseragam SMP, dengan wajah sendu. Aku beku.
***

Beberapa hari setelah pemecatan itu, aku coba menghubungi Inov. Aku menanyakan kabarnya dan mencari tahu apakah ia sudah bekerja kembali. Sambil terisak ia mengatakan bahwa ia sekarang hanya diam di rumah. Ia sudah melamar ke beberapa tempat tapi belum mendapatkan jawaban.

***

Sebulan kemudian aku mendapatkan sms dari Inov. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah mendapat kerja. Gajinya lebih besar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan gajinya saat menjadi kasir di waralaba tempatku bekerja. Tak banyak yang kusampaikan padanya selain ucapan selamat dan rasa syukurku karena ia telah kembali bekerja. Kembali melintas di otakku adiknya yang berseragam SMP, tapi kali ini dengan senyum yang merekah lebar.

Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu pun demikian. Tak terasa sudah tiga bulan Inov bekerja di tempatnya yang baru. Tiga bulan persis setelah pemecatan dirinya.

Pada suatu hari Inov meneleponku.

“Dik, aku merasa ada yang aneh.”

“Aneh? Apanya yang aneh? Kamu sudah enak bekerja di tempat yang baru. Gajimu lebih besar. Apa yang aneh?”

“Justru itu, Dik. Aku merasa semuanya terlalu mudah dan nyaman. Gajiku besar. Lebih dari cukup untuk uang makanku sendiri. Aku bisa memberi kepada orang tuaku lebih banyak dari sebelumnya. Keperluan sekolah adikku bisa kupenuhi semua. Bahkan aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Semuanya aneh, Dik. Semuanya terlalu mudah.”

Aku terdiam. Bukan iri padanya, tapi aku bersyukur bahwa ternyata Inov mendapatkan balasan kehidupan yang jauh lebih baik akibat pemecatan beberapa bulan lalu.

“Ya, sudah…. Kamu bersyukur saja telah mendapatkan kehidupan yang sekarang ini. Bekerjalah sebaik mungkin supaya kamu tidak dipecat lagi.” Aku berpesan setengah bercanda.

Pembicaraan itupun berakhir. Aku merasa Inov masih keheranan dengan kehidupannya yang sekarang, yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

***

Hari demi hari terus berlalu. Tapi, entah mengapa keheranan Inov membayangi pikiranku. Keanehan yang dirasakan Inov cukup beralasan. Sebelumnya ia bekerja sebagai kasir dengan gaji yang pas-pasan. Kemudian ia dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Sekarang ia bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Aneh memang….

Beberapa hari kemudian aku terdorong untuk mencari tahu masalah pemecatan Inov 3 bulan lalu kepada beberapa karyawan lain. Kasus itu memang sudah dianggap selesai dengan dipecatnya Inov. Akupun sebenarnya sudah melupakan kasus itu. Tapi, telepon dari Inov menyegarkan ingatanku mengenai kejadian itu. Seingatku pada malam itu memang uang cash yang ada di meja kasir sudah sesuai dengan laporan penjualan barang. Tak ada selisih yang terlalu besar. Tapi mengapa pada saat penghitungan akhir selisihnya menjadi sebesar itu? Otakku berputar tanpa poros yang pasti. Absurd.

Beberapa hari selanjutnya aku terus mencari informasi mengenai beberapa keanehan yang semakin kurasakan. Karyawan lain mengatakan kepadaku bahwa sebaiknya aku melupakan semua peristiwa itu. Toh, semuanya sudah berlalu dan Inov sudah hidup lebih baik. Mereka benar, tapi otakku masih terus berputar pada poros yang tak pasti.
***

Pada suatu malam yang gelap dan dingin seperti biasanya, aku bersiap pulang setelah menyelesaikan urusan pekerjaanku. Tak disangka manajer toko memanggilku.
“Dika, tunggu!”

“Ya, Pak. Ada apa?”

“Tunggu bapak. Ada yang ingin bapak bicarakan.”

“Semua pekerjaan sudah beres, Pak. Sudah rapi.”

“Bukan masalah pekerjaan, tunggu….”

Aku terdiam dan menunggu manajerku itu. Kemudian ia mengajakku ke sebuah kedai kopi yang berada di udara terbuka. Kebetulan malam itu cukup cerah walaupun gelap membayangi. Sebenarnya ada purnama di atas sana, tapi awan tebal menghalangi sinar indahnya.

Manajerku memesan dua gelas kopi kental untuk kami berdua. Kemudian ia mulai menyulut rokoknya. Pembicaraan pun di mulai.
“Dika…. Coba kau lihat ke atas, ke langit luas.”

“Iya, Pak. Kenapa? Cuma awan gelap dan pekat, Pak. Gak ada apa-apa.”

“Iya, memang hanya awan gelap dan pekat. Tapi, kau tahu kan sebenarnya di balik awan itu ada purnama yang cerah bersinar?”

“Iya, Pak. Memang sepertinya ada purnama yang bersinar indah. Memang kenapa, Pak?”

“Bapak tahu, beberapa hari belakangan ini kamu mencari informasi mengenai kejadian pemecatan Inov yang dulu itu. Kamu masih penasaran? Belum dapat jawaban?”

“Iya, Pak. Saya masih penasaran. Bapak tahu kejadian sebenarnya?”

Akupun kemudian ikut menyulut rokok untuk menemani hangatnya kopi kental yang sudah tersaji sejak tadi. Pembicaraan kembali berlanjut.
“Kamu ingat kalau bapak pernah memanggil Inov dan menawarkan pekerjaan lain kepadanya?”

“Iya, Pak, saya ingat betul.”

“Kamu ingat Inov menolak pekerjaan itu dengan alasan terlalu jauh dari rumahnya?”

“Iya, Pak, saya ingat.”

“Kamu tahu kalau Inov hanya lulusan SMP? Kamu tahu Inov melamar kerja di waralaba ini menggunakan ijazah Kejar Paket C?”

“Iya, Pak. Inov pernah cerita kepada saya.”

“Dika…. Jujur saja, sejak awal Inov melamar sebenarnya Inov sudah ditolak. Inov sebenarnya sudah tidak masuk kualifikasi administrasi karena syarat minimal adalah lulusan SMA dan memiliki ijazah SMA. Bukan ijazah Kejar Paket C. Memang kedua ijazah tersebut setara, tapi peraturan dari kantor pusat menyatakan bahwa yang bisa diterima hanyalah lulusan SMA yang memiliki ijazah SMA.”

“Lalu…?”

“Iya, sebenarnya Inov sudah ditolak sejak awal. Tapi, ketika bapak membaca surat lamarannya sekali lagi, di bagian bawah surat itu tertulis kata-kata: Saya bekerja bukan untuk diri saya. Saya bekerja untuk menyekolahkan adik saya yang masih SMP. Saya ingin agar ia tidak menjadi bodoh seperti mbaknya ini yang hanya lulusan SMP. Saya ingin ia bisa melanjutkan hingga SMA, bahkan kalau bisa hingga sarjana.”

Aku terdiam. Aku beku. Aku kemudian teringat bahwa Inov pernah menceritakan hal itu. Manajerku kembali melanjutkan ceritanya.

“Bapak tidak menyadari, ketika membaca surat lamaran itu, air mata bapak menetes membasahi surat lamaran Inov. Akhirnya bapak putuskan sedikit melanggar aturan dari kantor pusat. Bapak putuskan memanggil Inov untuk wawancara.”

“Akhirnya Bapak terima Inov kerja, kan?”

“Iya, setelah mendengar penjelasan langsung dari Inov, bapak putuskan untuk menerimanya bekerja.”

Aku sedikit tercerahkan. Putaran otakku mulai menemukan porosnya. Ternyata….

“Lalu, mengapa Inov dipecat, Pak? Bukankah Bapak yang menerimanya bekerja karena mengetahui kondisinya itu?”

“Iya, memang benar. Bapak yang menerimanya bekerja dan bapak pula yang memecatnya.”

Sambil menghisap rokoknya, manajerku itu kembali melanjutkan ceritanya.

“Setelah beberapa waktu Inov bekerja, bapak merasa Inov adalah pekerja yang baik dan seharusnya mendapat penghasilan lebih besar. Tapi, masalahnya adalah di toko kita ini ada batasan maksimal gaji yang bisa didapatkan oleh karyawan seperti kamu dan Inov. Bapak tidak mungkin menggaji Inov lebih besar daripada ketentuan dari kantor pusat. Oleh karena itulah, bapak sempat menawarinya untuk pindah bekerja.”

“Tapi, Inov tidak mau ya, Pak. Karena ia tidak mau bekerja jauh dari rumahnya.”

“Ya, itulah masalahnya. Inov tidak mau menerima pekerjaan baru. Hingga akhirnya bapak membuat skenario pemecatan itu. Bapak minta kamu tidak salah paham dengan bapak. Bapak sendirilah yang membuat Inov dipecat. Hanya dengan cara itulah Inov bisa dipaksa keluar. Bapak hanya ingin dia bekerja di tempat lain yang penghasilannya lebih besar.”

Tak terasa jari-jariku mengepal erat. Jika tidak kutahan emosi dan tidak kuingat siapa yang berada di hadapanku ini, mungkin bogem mentah sudah melayang ke wajah tanpa dosa itu.

“Dika, bapak tahu kamu emosi. Tapi, tahukah kamu, sekarang Inov bekerja di mana? Siapakah yang memanggilnya untuk bekerja?”

“Bapak???”

“Iya, kantor tempat Inov bekerja sekarang adalah milik orang tua bapak. Bapaklah yang mengajukan rekomendasi agar Inov dipanggil bekerja di sana.”

Aku terdiam, beku, sedingin malam yang udaranya kurasa menusuk tulangku hingga ke sumsum terdalam. Ku tengadahkan wajahku ke langit. Di sana memang ada purnama yang bersinar cerah. Tapi, terkadang ia tak perlu menunjukkan dirinya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Kini kurasakan bahwa otakku telah berputar normal pada porosnya.

##TAMAT##

(Abank Juki, Cikarang, Jumat, 13 April 2012, 21.28 WIB)

sumber:
https://www.kompasiana.com/abankjuki/550f2dbe813311b62cbc670b/purnama-di-balik-awan?page=all


*******************

Read more »

Cerpen: Nasi Bungkus Presiden

CERPEN (lebih tepatnya CERPENGET: cerita pendek banget) ini merupakan cerpen pertama saya di Twitter (http://twitter.com/#!/search/%23cerpenget). Saya sharing-kan di sini agar bisa dibaca oleh teman-teman. Mohon apresiasi (kritik dan saran) dari para pembaca sekalian. Terima kasih sebelumnya.

NASI BUNGKUS PRESIDEN

  Cerpen karya: Abank Juki
(Cikarang, Minggu, 8 April 2012, 05.00 WIB)

Sore itu ku berjalan susuri barisan gerbong kereta tua yang sudah pensiun. Di gerbong-gerbong yang sudah pensiun inilah tinggal beberapa keluarga kecil yang tidak mampu membeli apartement atau sekadar mengontrak sebuah kamar sempit di kota yang sudah tidak layak huni ini. Kota ini memang sudah hampir tak mengenal kata 'manusiawi'. Ketika aku berada di samping salah satu gerbong kereta tua dengan jendela yang sudah retak, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyayat hati.
“Bu... lapar....”

Kupertajam indera dengarku.
“Bu, pengen makan....”
“Iya nak, ibu tahu kau lapar. Tapi, ibu tak punya apa-apa. Tunggu bapak ya....”
“Bu... aku lapar.”
“Iya nak, ibu tahu. Tunggu bapakmu.”

Aku tak berdaya mendengarnya. Kuingin membantu, tapi... nasibku serupa. Sudah sejak pagi tadi perutku hampa. Hanya air mineral yang bisa kuteguk. Itupun hanya setengah botol yang tersisa. Beruntung kutemukan botol air itu di kursi gerbong kereta paling ujung yang baru saja tiba dari Surabaya. Tak biasanya aku kehabisan barang penumpang yang tertinggal.
“Bu, lapar....”
“Iyaaaa... nak... tunggu bapakmu.”


 

Tiba-tiba kulihat di kejauhan tampak seorang tua berjalan agak gontai. Dia menghampiri sumber suara yang kudengar tadi.
“Nak, Tuhan mendengarmu. Bapakmu sudah datang. Semoga ia membawa makanan.”
“Bu, bapak pulang.”
“Bapak... Ara lapar, mau makan.”
“Iya, nak, bapak juga dengar suaramu. Beruntung kita hari ini karena presiden kita mau menaikkan harga BBM. Semoga terus setiap hari berita itu muncul.”
“Pak, Ara lapar. Ara gak ngerti BBM. Ara mau makan.”
“Iya, nak. Bapak tahu. Bapak bawa makanan. Tapi, kamu harus bilang makasih.”
“Iya pak, makasih.”
“Bukan ke bapak nak, tapi ke presiden kita.”
“Emang makanan ini dari presiden ya pak?”
“Iya nak, karena presiden mau menaikkan BBM, hari ini bapak dapat makanan.”
“Pak presiden yang ngasih nasi bungkus ini pak? Bapak tadi ketemu presiden ya? Bapak hebat. Ara mau ketemu presiden pak. Ara mau bilang makasih ke presiden. Bapak antarkan Ara Ya....”
“Sudah, kamu makan dulu sana.... Habiskan ya nak.”

Sesaat ku terdiam. Kurenungkan dialog bpk dan anak itu. Presiden mmberi nasi bungkus? Kepada bapak tua yang tinggal di gerbong? Telingaku terganggukah? Bermimpikah aku? Atau memang benar sang presiden sebaik itu??

Alangkah baiknya sang presiden. Sungguh seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Aku terharu.

Namun tiba-tiba secuil otakku berontak. Tidak, presiden tidak sebaik itu. Kudengar tadi ada isu BBM akan dinaikkan. BBM naik. Bukankah hal itu berat untuk rakyat?? Termasuk aku dan bapak itu sekeluarga akan terkena dampaknya.

BBM naik. Presiden memberi nasi bungkus. Apa hubungannya???

Otakku yang kerdil ini tak sanggup temukan jawabannya. Aku linglung. Di tengah kelinglunganku aku limbung. Aku tertidur dgn perut yang hanya terisi air mineral setengah botol, yang tadi tertinggal.

Keesokan paginya ku terbangun. Seperti biasanya kususuri gerbong demi gerbong brharap ada makanan/barang penumpang tertinggal. Hari ini aku lebih beruntung. Kutemukan di salah satu gerbong, setengah roti sobek ukuran sedang dan seperapat botol air mineral. Tuhan berbaik hati padaku. Walau bukan presiden yang memberiku makan, aku bersyukur Tuhan masih sayang padaku.

Hari ini perutku lebih terisi. Sepertinya utangku pada perutku kemarin telah kulunasi. Kunikmati kebaikan Tuhan hari ini. Puas mengisi perut, ku berjalan susuri barisan gerbong-gerbong tua yang sudah pensiun. Aku di salah satu gerbong, sedang bapak tua yang mendapat nasi bungkus dari presiden itu dan keluarganya di gerbong selanjutnya.

Masih penasaran dengan kisah mereka kemarin. Aku pun lalu kembali mendekati mereka. Kucoba menguping untuk mendapatkan jawaban. Benarkah sang presiden memberikan nasi bungkus kepada bapak tua itu? Lalu apa hubungannya dengan BBM akan naik??

Dengan sabar kutunggu si bapak tua itu pulang. Lalu seperti hari-hari sebelumnya. Kudengar dialog dengan urutan yg sdh kuhapal.
“Bu, lapar... mau makan.”
“Iya nak, tunggu bapak pulang.”

Seperti sebelumnya pula, beberapa lama kemudian sang bapak tua pulang. Tentu saja membawa makanan untuk anaknya.
“Pak, lapar....”
“Iya nak, nih bapak bawa nasi bungkus lagi buat kamu. Ini dari presiden juga, nak.”
“Bapak ketemu pak presiden lagi?”

Sang bapak tua tak menjawab. Ia malah menjawab seperti tadi.
“Nasi ini dari presiden kita, nak.”

Lalu meminta anaknya makan.
“Sudah, makan dulu sana. Habiskan nasi dari pak presiden.”

Beberapa saat kemudian, sang ibu menarik bapak tua itu menjauh dari anaknya. Kemudian ia berbisik. Sayup kudengar dialog mereka, sementara si anak asik dengan makanannya.
“Bapak benar bertemu pak presiden? Benar bapak diberi nasi bungkus oleh presiden? Benar bapak.... Benar bapak....”

Rentetan pertanyaan berbisik itu meluncur deras dari mulut sang ibu. Seolah menumpahkan segudang rasa penasaran.

Hahahaha, ternyata rasa penasaranku tak kalah dengan sang ibu. Dalam hati kumerasa sebentar lagi penasaran itu 'kan terjawab.

Dengan tenang sang bapak memegang kedua pundak sang ibu.
“Bu, kita ini siapa? Presiden kita siapa? Kita tinggal di gerbong tua, beliau di istana. Dia tak mengenal kita bu, dia tak kenal bapak. Lagipula ibu percaya bahwa presiden memberi nasi bungkus kepada rakyat hina seperti kita??”
“Tapi pak.... Beberapa hari ini bapak bilang dapat nasi bungkus dari presiden.”
“Bu..., bapak sendiri takkan percaya seandainya hal itu benar.”
“Lalu pak.... Dari mana nasi bungkus itu?”

Rasa penasaranku semakin menjadi. Otakku mendidih, badanku bergetar menanti jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bu, bapak beberapa hari ini mendekati lokasi demonstrasi. Mereka katanya menolak kenaikan BBM. Bapak tidak tahu masalah BBM. Bapak juga tak peduli. Siang-malam kita tidak berhubungan dengan BBM. Yang bapak tahu, menurut teman-teman pemulung lainnya, di sana ada demonstrasi. Mereka menolak BBM naik.

Kata mereka, setiap siang sekitar jam 12-an pendemo itu istirahat. Mereka makan siang. Mereka bilang setiap siang itu ada beberapa orang yang datang membawa makanan, nasi bungkus. Nasi bungkus itu dibagikan kepada para pendemo. Tukang becak, pengemis, dan pemulung yang ada di sana dikasih juga, bu.

Beberapa hari ini bapak mendekati demonstrasi dan ketika pembagian nasi, bapak juga dapat bagian. Bapak tidak tahu siapa yang mengirim nasi bungkus itu. Bapak cuma tahu pak presiden ingin menaikkan harga BBM. Bagi bapak, nasi bungkus ini karena niat presiden, nasi ini dari presiden.

Seketika aku tergagap. Aku terdiam berjuta bahasa. Presiden memang baik hati. Presiden memang memberi nasi bungkus kepada bapak tua itu.

===TAMAT===

Demikianlah cerpenget pertama saya di twitter ini.
http://twitter.com/#!/search/%23cerpenget
Twitter Hashtag: #cerpenget
Facebook : 

PROFIL PENULIS
Nama : Abank Juki
Tentang : Seseorang yang masih berusaha untuk menjadi manusia yang baik dan ikhlas bagai matahari yang selalu menyinari dunia sepanjang waktu tanpa pamrih.
Facebook: 
Twitter: 
Sumber: 

Read more »

Cerpen: Ketika Mas Gagah Pergi

Ketika Mas Gagah Pergi

Oleh : Helvi Tyana Rosa






Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!

---------------Tamat------------

sumber:
http://dunia-cerpen.blogspot.com/2007/09/oleh-helvi-tyana-rosa-mas-gagah-berubah.html

****************

Read more »

Infomersial

Pencarian

Infomersial