Alisia Rininta, Asian Cinema, Boy William, Delly Malik Muharyoso, Dimas Anggara, Franda, Indonesian Cinema, Indri Giana, Iqbal Rais, Joehana Sutisna, Jordi Onsu, Movies, Natasha Rizki, Radio Galau FM, Ramon Y Tungka, Review, Tiara Sumiarto
Karena satu dan lain hal, sebuah film yang berjudul Radio Galau FM
sama sekali tidak berkisah maupun menyinggung mengenai kehidupan di
dunia radio. Satu-satunya hal yang berkaitan dengan radio di film ini
adalah ketika karakter utamanya mendengarkan sebuah program radio yang
penyiarnya berusaha untuk mengumpulkan para pendengarnya yang sedang
mengalami kegalauan hati.
Radio Galau FM justru merupakan
sebuah drama komedi romantis yang berorientasi pada kehidupan percintaan
di usia remaja yang dialami para karakternya. Menjadi remaja – suatu
periode ketika manusia sedang berusaha mencari jati dirinya – memang
bukanlah sebuah proses yang mudah untuk dijalani. But seriously… apakah romansa di kalangan remaja modern memang semengerikan apa yang digambarkan di dalam film ini?
Bara Mahesa (Dimas Anggara) adalah karakter utama dalam jalan cerita Radio Galau FM
ini. Sosok pemuda pelajar sekolah menengah atas ini memiliki penampilan
fisik cukup lumayan namun sayangnya memiliki riwayat percintaan yang
tidak begitu menyenangkan. Setelah tiga tahun tidak memiliki kekasih –
dan selalu merasa uring-uringan karenanya, Bara kemudian berkenalan
dengan adik kelasnya yang bernama Velin Caliandra (Natasha Rizki).
Singkat cerita, dari awalnya berteman, Bara akhirnya merasa bahwa Velin
adalah sosok yang sempurna untuk menjadi kekasihnya. Bara dan Velin
kemudian resmi pacaran. Sayangnya… setelah beberapa saat, Bara mulai
menyadari kalau Velin tidak sesempurna yang ia bayangkan.
Hubungan Bara dengan Velin semakin
menjauh ketika Bara mengenal kakak kelasnya yang bernama Diandra Pramita
(Alisia Rininta). Seperti halnya Bara, Diandra sedang mengalami masalah
dalam kehidupan percintaannya. Ia menganggap kekasihnya, yang merupakan
seorang mahasiswa, tidak pernah mampu mengerti akan dirinya. Merasa
senasib, Bara dan Diandra akhirnya menjadi sepasang kekasih – terlepas
dari fakta bahwa mereka masing-masing juga masih memiliki pasangan
masing-masing. Sial bagi Bara, Diandra juga tidak sesempurna yang ia
bayangkan. Akhirnya, kini Bara terjebak dalam kegalauan perasaan diri
sendiri atas berbagai problematika romansa yang ia alami.
Radio Galau FM sendiri
diadaptasi dari buku berjudul sama karya Bernard Batubara yang berisi
kumpulan cerita pendek bertemakan kegalauan hati (baca: kerisauan hati –
jika Anda masih asing dengan kata galau) penulisnya ketika berhadapan
dengan berbagai problema cinta. Sama seperti Poconggg Juga Pocong (2011), cerita-cerita pendek yang terangkum dalam buku Radio Galau FM sendiri terinpirasi dari kumpulan tweet bertema sama yang dikaryakan oleh Bernard melalui akun Twitter-nya @RadioGalauFM yang telah memiliki puluhan ribu followers tersebut.
Radio Galau FM
mungkin dimaksudkan sebagai sebuah film drama komedi romansa yang mampu
menangkap berbagai fenomena percintaan yang terjadi kalangan remaja
modern. Alih-alih menjadi sebuah film dengan kesan romansa yang hangat, Radio Galau FM
justru terkesan datar dalam penceritaan dramanya yang mengekploitasi
kisah drama percintaan remaja yang dilakukan secara berlebihan serta
diisi dengan sifat karakter-karakter yang begitu mengganggu.
Beberapa orang mungkin akan berargumen bahwa karakter-karakter yang dihadirkan dalam Radio Galau FM
adalah deretan karakter yang sesuai dengan sikap kaum remaja saat ini –
khususnya ketika berkaitan dengan masalah percintaan. Namun tetap saja,
perubahan-perubahan sikap yang dialami karakter Velin dan Diandra,
misalnya, setelah mereka menempuh masa berpacaran dengan karakter Bara,
lebih cenderung terlihat sebagai klise dan mengada-ada daripada sebagai
gambaran remaja modern yang akurat.
Karakter Bara, yang seharusnya
mendapatkan rasa simpati dari penonton atas berbagai perjuangan dan
masalah cinta yang ia alami, juga mengalami perubahan sikap dan karakter
mendadak di pertengahan film. Bara yang seharusnya menjadi romantic hero
justru berubah menjadi sosok plin-plan yang akhirnya justru menelan
karma percintaannya sendiri. Penggambaran sikap remaja modern? Boleh
saja. Namun rasa kesulitan untuk memiliki hubungan emosional terhadap
para karakter dalam sebuah jalan cerita jelas bukan sebuah hal yang
dapat diabaikan begitu saja.
Setidaknya, karakter-karakter dalam Radio Galau FM
setidaknya mampu dibawakan dengan baik oleh para jajaran pemerannya.
Dimas Anggara jelas belum memiliki daya tarik yang kuat untuk diletakkan
di garda terdepan penampilan sebuah film. Walau begitu, Iqbal Rais
mampu membuat Dimas mengeluarkan penampilan terbaiknya untuk tampil
sebagai karakter utama.
Hal yang sama juga berlaku bagi dua pendamping
Dimas, Natasha Rizki dan Alisia Rininta. Yang paling mampu mencuri
perhatian jelas adalah penampilan Joehana Sutisna yang berperan sebagai
karakter ayah Bara. Kehadirannya dalam setiap adegan mampu tampil begitu
komikal dan memancing hiburan yang maksimal.
Radio Galau FM memiliki kualitas
produksi yang jelas tidak mengecewakan, baik dari segi tata audio
maupun visual. Andhika Triyadi, sekali lagi, membuktikan bahwa dirinya
adalah seorang komposer musik yang sangat mampu meracik tatanan musik
yang mampu mengisi kekosongan emosional sebuah jalinan cerita.
Tata
musik Andhika sendiri tidak semaksimal yang ia tampilkan dalam Hari Untuk Amanda (2010) maupun Perahu Kertas (2012). Namun sangatlah jelas terasa bahwa ketika komposisi musik arahan Andhika mulai menyeruak diantara jalinan cerita, Radio Galau FM berhasil muncul menjadi sebuah presentasi cerita yang lebih baik.
Mungkin Radio Galau FM bekerja
secara berbeda bagi mereka yang memang menjadi target penonton utama
dari film ini. Pun begitu, tidak dapat disangkal bahwa – terlepas dari
kemampuan Haqi Achmad sebagai penulis naskah film dalam meramu
dialog-dialog romansa cheesy menjadi begitu menghibur serta
keberhasilan Iqbal Rais dalam mengarahkan para pemainnya serta kualitas
produksi film ini secara keseluruhan – Radio Galau FM memiliki
kelemahan yang begitu besar pada jalinan ceritanya yang dangkal dan
klise serta karakter-karakter yang jauh dari kesan mudah untuk disukai.
Bukanlah sebuah presentasi yang buruk, namun jelas masih jauh dari
kualitas yang istimewa.
Sumber Tulisan