Kurikulum 2013
(Opini Mendikbud RI, Muhammad Nuh)
- Bagian 2 -
==============
===============
Perencanaan pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.
Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
===============
Tulisan sebelumnya ============== Tulisan selanjutnya
Sumber Tulisan
(Opini Mendikbud RI, Muhammad Nuh)
- Bagian 2 -
==============
===============
Perencanaan pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan
pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal.
Pertama,
hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan
dirumuskan sebagai kompetensi lulusan.
Kedua, kandungan materi yang
harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik
(masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang
diinginkan.
Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk
metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya
ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik.
Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan
pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan
keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran.
Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran.
Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak
akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam
Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD
dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang
produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang
ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.
Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tak ada
masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh,
hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat
ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari
70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII
SMP. Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan
praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan
tumpang tindih yang tak diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran,
kecepatan pembelajaran yang tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya
materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik
kurang dilatih bernalar dan berpikir.
Tulisan sebelumnya ============== Tulisan selanjutnya
Sumber Tulisan