Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Wanita Cantik Lahir Batin, Calon Istri Idaman

Wanita Cantik Lahir Batin, Kamu Harus Segera Nikahi Dia Model wanita seperti ini sangat langka. Baca selengkapnya: https://www.genpi.co/gaya-hidup/33478/wanita-cantik-lahir-batin-kamu-harus-segera-nikahi-dia

5 Mobil Mewah Termahal Yang Pernah Dijual di Indonesia

Punya khalayak otomotif yang kuat, lima mobil mewah termahal ini pernah dijual di Indonesia! https://carro.id/blog/5-mobil-mewah-termahal-yang-pernah-dijual-di-indonesia/

Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16

Bola.net - Asisten Shin Tae-yong, Nova Arianto mengapresiasi keberhasilan Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16 2022. https://www.bola.net/tim_nasional/timnas-indonesia-juara-piala-aff-u-16-2022-asisten-shin-tae-yong-jangan-layu-sebelum-berkemba-ca151c.html

Tesla Cybertruck Asli dalam Video Baru Dari Peterson

Diupload: 13 Apr 2023, Museum Otomotif Peterson memiliki prototipe Cybertruck pertama yang dipamerkan dalam pameran, selengakapnya di https://id.motor1.com/news/662022/tesla-cybertruck-asli-museum-peterson/

Kabar Baik untuk ARMY! BTS Kembali Dinobatkan sebagai Penyanyi K-Pop Terpopuler

Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman Soompi, BTS kembali menempati peringkat pertama sebagai penyanyi K-Pop terpopuler https://cirebon.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-042118224/kabar-baik-untuk-army-bts-kembali-dinobatkan-sebagai-penyanyi-k-pop-terpopuler-di-bulan-juni-2021

Pencarian

01 Maret 2017

Teks Ulasan / Resensi Film Laskar Pelangi (Contoh 3)

 

Film ini diambil dari novel best seller yang ditulis oleh Andrea Hiratta. Film ini adalah film yang fenomenal dan sangat mengandung pembelajaran yang bararti. Film ini disutrdarai oleh Riri Reza. Seorang sutradara terkenal. Pemerannya pun anak-anak yang berbakat dari Belitung asli dan berkoolaborasi dengan 12 aktor terbaik Indonesia. 

Seting film lascar pelangi ini mengambil latar tahun 7oan. Cerita ini diawali dengan konflik yang menceritakan tentang sekolah di pedalaman. SD Muhamadiyah di Desa Gatong Belitung yang akan ditutup jika murit yang mendaftar disekolah itu tidak sampai 10 anak. Bu Muslimah dan Pak Harfan selaku kepala sekolah dan guru di SD Muhamadiyah serta 9 calan murit di SD Muhamadiyah sedang menunggu dengan cemas berharap ada 1 murit yang mendaftar. 

Setelah menunggu lama akhirnya seorang anak yang bernama Harun menyelamatkan SD Muhamadiyah. Walaupun Harun anak keterbelakangan mental namun bu Halimah dan pak Harfan serta 9 murit lainnya sangat senang dan menerima Harun dengan penuh kebahagiaan. Bu Muslimah adalah sosok guru yang penuh kelembutan dan tidak pernah pamrih. Buktinya saja tanpa bayaran pun Bu MUslimah merelakan menghabiskan waktunya dengan membagikan ilmunya kepada murit-muritnya. 

Walaupun sekolah dengan bangunan yang reot dan tua Bu Halimah dan 10 Muritnya sangat bersemangat bersekolah. Dengan semangat 10 muritnya yang semangat . Bu Muslimah memberikan mereka penghargaan dengan menjuluki mereka dengan nama “laskar pelangi” 10 anak tersebut bernama ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, Trapani, Sahara, Kucai, A kiong, Borek dan Harun. 

Hari pertama mereka bersekolah di SD muhamadiyah menjadikan awal perkenalan yang indah dan berujung persahabatan yang sangat erat. Mereka pun mempunyai keunikan, karakter dan bakat yang berbeda-beda namun persahabatan mereka tetap tanguh dan erat. Semangat mereka untuk bersekolah sangatlah luar biasa. Setiap hari mereka menempuh jarak puluhan kilo untuk bisa sampai kesekolah. Ada yang berjalan kaki dan ada yang berjalan kaki. Padahal jalur yang mereka lalui sangat bahaya. 

Pernah ada seekor buaya yang menghalangi perjalanan nya ke sekolah. Dengan pengorbanan mereka seperti itu untuk memperoleh pendidikan sehingga mereka mempunyai impian-impian tentang masa depan yang tinggi bahkan mungkin secara logika pun impian itu hanya diangap khayalan tingkat tinggi. Dengan pejuang kecil di tengah kemiskinan dan ditutupnya SD Muhamadiyah. 

Kisah cerita yang indah terus berjalan dengan kejadian-kejadian yang menjadikan kenangan indah di SD Muhamadiyah, misalnya dengan menangnya Lintang salah satu murit yang sangat cerdas dalam lomba cerdas cermat dengan murit SD yang elit yang berada di kota. hal tersebut meruntuhkan pandangan salah satu guru yang mengajar di SD kota tersebut. Guru tersebut bernama Drs. Zulkifi Pandang an tu adalah beliau menganggap bahwa SD Muhamdiyah tidak akan menyagi pendidikan SD elit dan Kota. 

Namun nasib Lintang tidak semulus teman-temannya. Dia terpaksa meninggalkan sekolahnya karena ayah Lintang meninggal. Ia harus melnjutkan hidupnya dengan bekerja untuk menghidupi dirinya dan adek-adeknya . dan lascar pelangi sangatlah kehilangan dan sedih. Suatu hari ada murit cewek namun tomboy yang berasal dari latar belakang keluarga yang kaya. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan BUMN. Lascar bertambah personil. Menjadi 11 orang. 

Cerita film ini semakin penuh dengan tantangan setelah kedatangan Flo, nama murit kaya tersebut Akhir fim ini happy ending diceritakan bahwa Ikal salah satu murit lascar pelangi . yang sudah dewasa kembali ke tanah kelahiranya. Setelah mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk belajar di paris. Akhirnya impian Ikal sejak kecil terwujud. Ikal dari kecil bermimpi untuk belajar di prancis.. impian itu yang membawa Ikal slalu berjuang untuk mewujudkan impiannya. 

Pesan dan nilai yang disampaikan film ini sangatlah banyak. Salah satunya Di sisi nilai moral dan pendidikan dapat diambil dari cerita semangat anak-anak untuk sampai ke sekolah yang jauh dan bahaya. Dan juga perjuangan anak-anak laskar pelangi dalam memperjuangkan impian-impiannya. Selain itu pesan moralnya saat pelaksannaan ujian di SD PN Timah, SD elit di kota. SD yanganak-anaknya berpakaian bersih dan rapi berada di satu ruang dengan SD muhamadiyah yang perpakaian lusuh dan tidak bersepatu. 

Pihak SD PN Timah mengangap bahwa anak-anak tersebut tidak pantas berada disekolahnya. Mereka hanya melihat orang dari penampilan buka kualitas. Padahal kualitas ilmu sangatlah tinggi. Film ini menjadikan sebuah inspirasi generasi muda Indonesia. Bahwa sekolah dan mencari ilmu sangatlah penting dan harus diperjuangkan. Inspirasi ini tidak hanya dari golongan ekonomi menengah kebawah ataupun golongan ekonomi keatas. 

Untuk mencapai impiannya laskar pelangi yang dari keluarga yang sangat miskin dan tinggal di desa pelosok saja berjuang mati-matian.di era modern ini orang yang hanya bersekolah dengan faselitas yang berkualitas. Rugi besar jika menyia-nyiakannya Selain itu untuk anak-anak golongan ekonomi menenga kebawah mempunyai inspirasi untuk bersekolah dan mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi orang sukses. Menjadikan impian-impian itu adalah sebuah tantangan yang harus dicapai. 

Peran pemerintah pun sangat di butuhkan untuk masa depan generasi muda Indonesia untuk mencapai impian-impiannya. Pemeritah sebagai fasilitator penyedia faselitas pendukung. Misal membangun sekolah-sekolah di seluruh penjuru Indonesia sampau ke pelosok-pelosok. Dan mendatangkan guru-guru yang berkualitas dan professional. Sehingga generasi muda menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkualitas. Dan bisa meneruskan generasi Indonesia sebagai manusia berkualitas dan berguna bagi Negara Republik Indonesia.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hildasaadatinis/analisis-film-laskar-pelangi_5520599ea33311bd4646ce15




Sumber


Share:

Teks Ulasan / Resensi Film Laskar Pelangi (contoh 2)




Laskar Pelangi (sebuah resensi)


Sejak mengetahui bahwa Laskar Pelangi akan dibuat film, maka sejak itu juga saya bertekad untuk menyaksikan filmnya.

Mengapa ?

Karena novel Laskar Pelangi juga merupakan salah satu novel yang paling berkesan bagi saya. Yang menceritakan pendidikan disebuah daerah dengan sangat gamblang, beserta suka duka guru maupun siswanya yang bening bagaikan air.

Hari ini merupakan pemutaran perdana film tersebut serentak di Indonesia (atau cuman Jakarta yah…), dan karena pengalaman dengan pemutaran perdana film-film lainnya, dimana biasanya penuh sesak atau memperoleh tempat duduk barisan depan yang amat sangat tidak nyaman sekali, maka hari ini, untuk pemutaran pukul 16.45, saya sudah antri di Plaza Senayan XXI pukul 10.00 WIB.


Akhirnya, malah menjadi pembeli tiket yang pertama.

Nah, bagaimana resensi dan kesimpulan saya ?

Film ini dibuka dengan adegan seorang anak kecil yang dibujuk untuk menggunakan sepatu bekas ke untuk berangkat ke sekolah. Bukan masalah bekasnya, tapi sepatu itu adalah sepatu untuk wanita (lengkap dengan warnanya yang pink) padahal anak ini adalah seorang laki-laki. Dialah Ikal, salah seorang tokoh utama dari film ini.

Schene berikutnya memperlihatkan latar belakang cerita, berupa sekolah lokasi di Indonesia, sebuah pulau yang bernama Belitung, yang merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia pada tahun 1970-an (settingan film ini memang bernuansa 70-an), namun di pulau tersebut terdapat 2 kehidupan yang amat kontras, yaitu kehidupan kelas atas para pegawai PN Timah dan kehidupan kelas bawah dari strata terendah di pulau tersebut. Pada kondisi inilah film ini bermain.

Adegan berikutnya adalah adegan pada sebuah sekolah dasar, yang bernama SD Muhammadiyah, yang juga merupakan SD satu-satunya yang bernafaskan Islam di daerah itu. SD ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat yang masih punya harapan dan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini karena SD lain biayanya amat tinggi dan tidak terjangkau oleh mereka.

Kondisi SD ini amat memprihatinkan, dengan bangku sekolah yang rusak sana sini, atap dan dinding ruangan yang juga berlubang, lantai tanah yang kadang digunakan juga untuk kandang kambing. Bahkan salah satu sisi sekolah sampai harus disangga dengan kayu untuk mencegah sekolah ini roboh.

Kendala berikutnya adalah, sekolah ini sudah memperoleh peringatan dari penilik sekolah, bahwa agar tetap dapat membuka kelas, maka jumlah siswa baru yang mendaftar, minimal 10 orang.

Ketegangan untuk menunggu siswa mencapai 10 orang inilah yang tergambar pada adegan-adegan selanjutnya. Bapak K.A. Harfan Efendy Noor yang dipanggil dengan Pak Harfan sang kepala sekolah, dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus sang guru sampai amat tegang menunggu murid terakhir, karena sampai pukul 11 siang, baru 9 orang yang mendaftar di sekolah tersebut.

Akhirnya, saat kepala sekolah sudah putus asa, dan sedang memberikan sambutan selamat datang sekaligus perpisahan untuk membubarkan sekolah, murid terakhir tampak berlari-lari untuk ikut sekolah disana. Sehingga, kuota minimal 10 orang terpenuhi.

10 orang murid tersebut adalah:

  1. Ikal, sang tokoh utama
  2. Lintang, anak sekorang nelayan, yang untuk bersekolah harus bersepeda 80 Km pulang pergi, sehingga baunya mirip bau hangus terbakar
  3. Mahar, sang seniman muda yang sejak kecil sudah menunjukkan bakatnya
  4. Sahara, satu-satunya wanita yang menjadi murid pada awal sekolah (nantinya akan ada murid berikutnya)
  5. Trapani, yang pada film ini tidak terlalu ditonjolkan
  6. Borek, yang suka mengganggu
  7. Kucai, sang ketua kelas
  8. A Kiong, satu-satunya siswa Hokian di SD itu
  9. Syahdan, yang juga tidak terlalu menonjol pada film ini
  10. Harun, anak terbelakang mental yang menjadi penyelamat SD Muhammadiyah, karena dialah yang menjadi murid ke 10 dan menyebabkan sekolah batal ditutup


Adegan berikutnya banyak diwarnai dengan pola belajar mengajar mereka, serta adegan-adegan dari kepala sekolah dan alasannya hingga tetap mempertahankan sekolah tersebut.

Salah satu petuah yang paling ditekankan oleh Pak Harfan adalah “Jangan terlalu banyak meminta, tetapi berusahalah untuk memberi sebanyak-banyaknya”.
 

Selanjutnya, mereka semakin akrab satu sama lain, bermain bersama, berpetualang bersama, bahkan pada suatu sore setelah hujan deras mereka berdiri diatas sebuah batu besar dan menyaksikan pelangi yang amat indah. Bu Mus yang mengikuti mereka lalu memanggil semua anak-anak tersebut dengan “Laskar Pelangi” dan inilah asal mula nama “Laskar Pelangi” untuk kelompok mereka.
 

Pada film ini juga diceritakan kisah “cinta monyet” Ikal dengan A Ling, anak penjual kapur tulis di kota, yang disebabkan karena Ikal melihat “kuku jarinya” saat menerima kapur tulis yang diberi. Juga diceritakan patah hati yang dialami Ikal, saat A Ling terpaksa harus pergi untuk melanjutkan sekolahnya.
 

Adegan kemudian banyak menyoroti 2 orang, yaitu Mahar dan Lintang dengan kelebihan masing-masing yang mewarnai kehidupan mereka.
 

Mahar, dengan sebuah radio transistor yang selalu menemani kemanapun dia pergi, adalah sebuah bibit seni yang tumbuh di tengah-tengah mereka. Tantangan pertama yang diberikan kepadanya adalah Karnaval 17 Agustus yang secara rutin dilaksanakan di Belitung.
Setiap tahun, karnaval ini menjadi sebuah cermin keberhasilan sekolah-sekolah, dan sebagai sebuah tradisi, selalu dimenangkan oleh SD PN Timah yang serba “terbaik” dan “ter-elite”. Tantangan untuk mendobrak kebiasaan ini sekarang ada di pundak Mahar. SD PN Timah selalu tampil dengan Marching Band terbaik dengan pakaian-pakaian terbaru dan berwarna warni, sehingga selalu menjadi juara. Bagaimana SD Muhammadiyah, dengan siswa yang melarat dan tidak ada dana satu rupiah-pun dapat menghadapi mereka ?
 

Setelah mencari ide berhari-hari bahkan sampai dianggap “gila” oleh teman-temannya, Mahar muncul dengan ide brillian, yaitu dengan tampil dengan kostum Suku Terasing yang menampilkan tarian suku terasing. Tentulah karena suku terasing hanya menggunakan daun-daunan sebagai pakaian, maka tidak diperlukan biaya apapun untuk tampil
 

Dengan koreografi yang khusus dirancang oleh Mahar dan dengan “senjata rahasia” yang dia siapkan, akhirnya SD Muhammadiyah menjadi juara umum pada karnaval tersebut

Karena kemenangan merekalah, maka salah seorang siswa SD PN Timah, seoang gadis tomboy yang susah diatur namun berani dan setia kawan, akhirnya pindah ke SD Muhammadiyah. Namanya adalah Flo.

Flo dan Mahar langsung saja akrab, dan sama-sama memiliki ketertarikan pada hal-hal yang bersifat “gaib.” Hal ini menyebabkan nilai-nilai mereka hancur dan terancam gagal pada ujian akhir. Namun, penyelesaian yang mereka cari rupanya tetap jauh dari akal sehat, yaitu mencoba mengunjungi seorang “dukun sakti” bernama Tuk Bayan Tula di Pulau Lanun untuk membantu menaikkan nilai ulangan mereka. Namun, pesan rahasia dari Tuk Bayan Tula yang sudah susah payah mereka cari rupanya amat jauh dari yang mereka harapkan…

Fokus cerita berikutnya adalah Lintang, yang merupakan siswa yang amat cerdas, yang dibuktikan dengan kecepatannya dalam menyelesaikan soal-soal Matematika tanpa mencatat sedikitpun. Pembuktian berikutnya adalah saat lomba cerdas cermat melawan SD PN Timah dengan skor yang cukup seru bahkan diwarnai dengan debat terhadap tim juri lomba.

Namun, si jenius ini akhirnya tidak dapat melanjutkan sekolahnya, karena sebagai anak sulung dan laki-laki satu-satunya, harus menggantikan ayahnya yang meninggal pada saat melaut.

Secara umum, film ini cukup mengasikkan dengan beberapa catatan:


Penggambaran karakternya kurang mendalam, utamanya pada karakter Mahar yang penuh dengan nilai seni yang luar biasa. Nilai seninya hanya ditunjukkan dengan radio transistor yang selalu dia bawa

Karakter Lintang pada awal tidak tergambarkan dengan baik sebagai siswa yang cerdas. Mengapa Bu Mus begitu mudahnya percaya dengan kepintaran Lintang hanya dengan sekali memberikan pertanyaan matematika ? Padahal, tidak akan sulit apabila ditambahkan 2-3 soal lagi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

Posisi tangan A Ling yang memperlihatkan kukunys sehingga membuat Ikal jatuh cinta malah dirusak dengan efek glare dan lens yang berlebihan, sehingga keindahan kuku A Ling justru tertutup.

Karakter Flo, sebagai gadis tomboy, amat jelek sekali. Akting yang amat kaku dan tidak tomboy seperti yang seharusnya.

Adegan karnaval tidak terlalu “heboh”, padahal pada bukunya, pembaca dapat menggambarkan dengan jelas “kehebohan” yang terjadi. Hal ini karena pemerannya hanya 10 orang, padahal menurut buku itu dilakukan juga oleh siswa-siswa lain selain 10 orang ini. Efek buah yang menyebabkan gatal juga tidak tampak sama sekali, hanya muncul dari amukan Syahdan ke Mahar setelah acara selesai.

Adegan Tuk Bayan Bula sangat hambar, tidak ada efek mereka susah payah kesana, padahal disampaikan mereka sampai melawan badai yang amat kuat, lha baju aja masih kering kok.

Adegan meninggalnya Pak Harfan yang menyebabkan Bu Mus tidak mengajar selama 5 hari justru memperlemah karakter Bu Mus yang amat perhatian pada siswanya.

Beberapa adegan yang tidak penting justru disampaikan dalam waktu lama (seperti adegan Mahar menyanyi) dan beberapa adegan yang harusnya diperkuat justru hanya ditampilkan sambil lalu.

Namun, lumayanlah dibandingkan dengan film-film Indonesia lainnya yang hanya menampilan horor tak jelas dan humor yang garing.
Silakan pembaca menilai sendiri. 




sumber:  http://www.khalidmustafa.info/2008/09/26/laskar-pelangi-sebuah-resensi.php








Sumber


Share:

Teks Ulasan / Resensi Film Laskar Pelangi (contoh 1)





sumber: http://www.resensi-film.com/movie/laskar-pelangi/








Sumber


Share:

Contoh Ulasan Film (Film Review) Bahasa Indonesia - Rings (2017)

Review

Rings (2017)


Sama seperti kutukan video maut itu sendiri, franchise horor Jepang The Ring a.k.a Ringu seperti tidak pernah ada matinya. Sampai saat ini, kurang lebih sudah ada selusin adaptasi, dari novel sampai film yang beranak pinak, termasuk sekuel, remake, bahkan sampai cross-over gila-gilaan macam Sadako vs. Kayako yang edan tenan itu. 

Ya, di awal tahun ini kita kembali kedatangan sekuel baru The Ring, Paramount yang mengambil alih wara laba J-horror ini dari tangan Dreamworks masih percaya bahwa sosok Sadako (Samara dalam versi US-nya) masih punya daya pikat besar untuk dijual meski kita sama-sama tahu kualitas sekuel remake pertamanya itu luar biasa berantakan meski sudah dipegang langsung oleh sutradara Hideo Nakata yang sukses di versi Jepangnya termasuk memasang kembali bintang utamanya, Naomi Watts.

Harus diakui The Ring Two memang mengecewakan, padahal lima tahun sebelumnya, Gore Verbinski sudah melakukan hal luar biasa ketika berhasil membuat The Ring sebagai salah satu remake horor Jepang terbaik. Tetapi coba lihat pendapatan box-office-nya, The Ring Two masih sanggup menggondol 160 juta dari modal 50 juta Dolarnya. tentu saja sama sekali tidak buruk, jadi wajar-wajar saja jika Paramount masih yakin bahwa adaptasi novel Koji Suzuki ini masih cukup sakti, terbukti, sampai tulisan ini dibuat, sekuel keduanya yang diberi tajuk Rings sudah menghasilkan untung dua kali lipat meski harus diakui, kualitasnya juga dua kali lipat lebih buruk dari The Ring Two.

Cerita Rings mengambil set waktu 13 tahun dari seri pertamanya. Seperti mengikuti jaman dan tren modern, video kutukan Samara Morgan kini  bertransformasi dari kaset VHS jadul ke versi digital yang masih menebar ancaman maut yang sama mematikannya dari satu orang ke orang lain, salah satunya adalah tokoh utama kita, Julia (Matilda Lutz) yang hanya punya waktu tujuh hari setelah ia dan kekasihnya, Holt (Alex Roe) terlibat dalam eksperimen sinting seorang dosen bernama Gabriel Brown (Johnny Galecki). Dari sini kita akan menyaksikan perjuangan Julia dan Holt tidak hanya untuk melawan kutukan Samara dan tetap bertahan hidup namun di saat bersamaan keduanya juga dipaksa untuk menyibak masa lalu mengerikan sang hantu.

Ini buruk, luar biasa buruk, bahkan lebih buruk dari harapanmu yang paling rendah sekalipun sampai-sampai membuat Sadako vs. Kayako terasa menjadi tontonan horor yang bagus sekali. Premisnya tentu saja masih mengulang yang sudah-sudah di mana video kutukan Samara Morgan masih menjadi momok mengerikan. Ada usaha dari trio penulis naskah David Loucka, Jacob Aaron Estes dan Akiva Goldsman untuk menjadikan Rings berbeda ketika lebih memfokuskan pada masa lalu Samara Morgan ketimbang dua seri awal yang lebih memusatkan pada relasi ibu-anak, mereka sangat payah mengeksekusi backstory sang hantu perempuan berambut panjang itu.

Kita sudah bisa melihat segala kekacauan ini dari puluhan kilometer jauhnya, lihat saja adegan pembukanya yang sangat medioker itu sudah sangat salah, atau bagaimana kemudian plotnya berjalan berantakan dan membosankan, menyiksamu pelan-pelan bukan karena faktor horornya, karena jujur saja ini bukan jenis horor yang menakutkan, namun dari setiap kebodohan demi kebodohan serta rentetan jump scare malas yang dibuat oleh sutradara F. Javier Gutiérrez membuat 102 menit durasinya terasa berjam-jam lamanya. Mulai dari perkenalan karakter yang cheesy, bagaimana kutukan video itu memakan korban satu demi satu sampai melihat karakternya yang ke sana ke mari tidak jelas mencari petunjuk untuk menyibak masa lalu Samara yang sebenarnya bisa menjadi satu-satunya nilai jual dari Ring dihancur leburkan dengan cara bodoh, dan dengan sangat kurang ajar sudah melecehkan sumber aslinya, terlebih dengan klimaks ala Don’t Breath KW 2 yang penuh bencana, plus twist ending murahan yang membuatmu ingin meludahinya berulang-ulang.

Tidak ada Naomi Watts yang datang untuk menyelamatkan dari kehancuran total, sebagai gantinya, Rings diisi dengan para pendatang baru bermodal tampang dengan chemistry kosong yang malah membuat segalanya lebih buruk, jika ada satu-satunya penampilan yang bisa mendapatkan sedikit apresiasi mungkin hanya Vincent D’Onofrio sebagai pendeta buta yang aneh . Hasilnya, Rings malah membuat kita ilfil terhadap karakter Samara Morgan yang seharusnya bisa lebih mendapatkan perlakuan lebih terhormat dengan segala latar belakang masa lalunya yang mestinya bisa berkesan misterius dan menyeramkan, terganti dengan versi baru sebagai hantu yang membosankan.










Rings (2017)

3.8 Movienthusiast's


Summary
Sekuel yang sebenarnya tidak perlu ada. Rings adalah sebuah bencana total, tidak hanya buruk secara kualitas tetapi ia juga sedikit banyak telah kurang ajar melecehkan sumber aslinya dengan cara yang bodoh dan murahan.


CERITA: 2.5
PENYUTRADARAAN: 3
AKTING: 4
VISUAL: 5.5



sumber: http://movienthusiast.com/rings-2017/






Sumber


 
 
 
Share:

Contoh Ulasan Film (Film Review) versi Bahasa Inggris - Logan (Wolverine)


Logan review: Hugh Jackman’s Wolverine takes one last slice at the superhero game

James Mangold, director of 3:10 to Yuma, embraces a bit of mortal grime and delivers the most diverting superhero film in years

Hugh Jackman in Logan. Photograph: Ben Rothstein/ Marvel/Twentieth Century Fox


Film Title: Logan
Director: James Mangold
Starring: Hugh Jackman, Patrick Stewart, Richard E. Grant, Boyd Holbrook, Stephen Merchant, Dafne Keen
Genre: Action
Running Time: 140 min
   
Something peculiar happened to the western during its still current afterlife. As if in mourning for its own traditions, the genre became taken up with elegiac variations. Clint Eastwood’s Unforgiven, Tommy Lee Jones’s The Homesman and the Coens’ True Grit offer key examples of the type. Older men fight to cope with the advance of unwelcome futures.
The superhero flick isn’t at that stage yet. Even those awful DC things can make more money before breakfast than a proper film can manage in a year. But time passes. Super-bloke’s temples are turning grey. We may see more films like James Mangold’s Logan.

That would not be a bad thing. Pushing much of the genre’s flash to the side and embracing a bit of mortal grime, the director of 3:10 to Yuma (not quite an elegiac western) has delivered the most diverting superhero film in many years. Hugh Jackman returns as an aging Wolverine. Grumpier. More fatalistic. Forever responsible for people he’d rather leave to their fate. Give him a hat and a pig and he’s William Munny in Unforgiven.





Now known almost exclusively as Logan, the former X-Man lives a fairly wretched live some decades into the future. There is something of Children of Men about the scenario. No new mutants have been born in 20 years and, among the last of his kind, Logan now inhabits a disused mining property not far from the Mexican border. For uneasy companionship he has Caliban (Stephen Merchant), a lanky albino who can sense other mutants, and, hidden in an adjoining building, the aging, irascible Charles Xavier (Patrick Stewart). “I’m a nonagenarian!” he snaps when somebody suggests he may be a mere octogenarian.


Everybody is in an awful state. Professor X’s brain is ailing and, when you’re telepathic, that’s a dangerous condition to be in. Caliban is confined to quarters by fear of the sun and suspicion of others. Logan is not healing as he used to. The organs that house his blades become easily infected. It’s a hard life for the aging superbeing.


Merchant, Stewart and Jackman play delightfully off one another. The first is stuffed with pathetic desperation. The second gets by on crematorium humour. The third has the air of a man yearning for a reason to be good.


It would be nice to see these three very different actors attempt a sub-Beckettian sitcom, but nobody is getting $127 million to make something that recherché. Jackman rubs up against a young girl (Dafne Keeb) who may be from a new generation of mutants and, shaken out of miserable complacency, he and Professor X put themselves on the road. In a very contemporary turn, Canada ends up offering sanctuary from oppression in the United States.  

This talk of westerns is not so fanciful. As events progress, the film becomes obsessively fixated on George Stevens’s Shane. The fugitives watch the film in a hotel room. Snippets of the western’s themes work their way into the plot. Shane was merely reluctant to return to the life of the gunfighter. There is a hint here that there was never any real superhero life to begin with. Logan sneers at an X-Men comic book and makes cracks about grown men in tights.


The picture is trying very hard to be grown up here. You also sense this in 16-cert violence that, though conspicuously bloody, is no more “real” than the 12A version in Captain America: Civil War. Towards the close, villains start behaving very much as villains do in comic-book movies.


Mangold and his team do, however, inject sufficient levels of character to compensate for the concessions to conventionality. For once, a film derived from a Marvel source gives you something solid to hang on to. It’s much better than it needed to be. We look forward to the genre’s golden years with modest enthusiasm. 



sumber: http://www.irishtimes.com/culture/film/logan-review-hugh-jackman-s-wolverine-takes-one-last-slice-at-the-superhero-game-1.2992199





Sumber

Share:

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog