Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Pencarian

01 Maret 2017

Teks Ulasan / Resensi Film Laskar Pelangi (contoh 2)




Laskar Pelangi (sebuah resensi)


Sejak mengetahui bahwa Laskar Pelangi akan dibuat film, maka sejak itu juga saya bertekad untuk menyaksikan filmnya.

Mengapa ?

Karena novel Laskar Pelangi juga merupakan salah satu novel yang paling berkesan bagi saya. Yang menceritakan pendidikan disebuah daerah dengan sangat gamblang, beserta suka duka guru maupun siswanya yang bening bagaikan air.

Hari ini merupakan pemutaran perdana film tersebut serentak di Indonesia (atau cuman Jakarta yah…), dan karena pengalaman dengan pemutaran perdana film-film lainnya, dimana biasanya penuh sesak atau memperoleh tempat duduk barisan depan yang amat sangat tidak nyaman sekali, maka hari ini, untuk pemutaran pukul 16.45, saya sudah antri di Plaza Senayan XXI pukul 10.00 WIB.


Akhirnya, malah menjadi pembeli tiket yang pertama.

Nah, bagaimana resensi dan kesimpulan saya ?

Film ini dibuka dengan adegan seorang anak kecil yang dibujuk untuk menggunakan sepatu bekas ke untuk berangkat ke sekolah. Bukan masalah bekasnya, tapi sepatu itu adalah sepatu untuk wanita (lengkap dengan warnanya yang pink) padahal anak ini adalah seorang laki-laki. Dialah Ikal, salah seorang tokoh utama dari film ini.

Schene berikutnya memperlihatkan latar belakang cerita, berupa sekolah lokasi di Indonesia, sebuah pulau yang bernama Belitung, yang merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia pada tahun 1970-an (settingan film ini memang bernuansa 70-an), namun di pulau tersebut terdapat 2 kehidupan yang amat kontras, yaitu kehidupan kelas atas para pegawai PN Timah dan kehidupan kelas bawah dari strata terendah di pulau tersebut. Pada kondisi inilah film ini bermain.

Adegan berikutnya adalah adegan pada sebuah sekolah dasar, yang bernama SD Muhammadiyah, yang juga merupakan SD satu-satunya yang bernafaskan Islam di daerah itu. SD ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat yang masih punya harapan dan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini karena SD lain biayanya amat tinggi dan tidak terjangkau oleh mereka.

Kondisi SD ini amat memprihatinkan, dengan bangku sekolah yang rusak sana sini, atap dan dinding ruangan yang juga berlubang, lantai tanah yang kadang digunakan juga untuk kandang kambing. Bahkan salah satu sisi sekolah sampai harus disangga dengan kayu untuk mencegah sekolah ini roboh.

Kendala berikutnya adalah, sekolah ini sudah memperoleh peringatan dari penilik sekolah, bahwa agar tetap dapat membuka kelas, maka jumlah siswa baru yang mendaftar, minimal 10 orang.

Ketegangan untuk menunggu siswa mencapai 10 orang inilah yang tergambar pada adegan-adegan selanjutnya. Bapak K.A. Harfan Efendy Noor yang dipanggil dengan Pak Harfan sang kepala sekolah, dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus sang guru sampai amat tegang menunggu murid terakhir, karena sampai pukul 11 siang, baru 9 orang yang mendaftar di sekolah tersebut.

Akhirnya, saat kepala sekolah sudah putus asa, dan sedang memberikan sambutan selamat datang sekaligus perpisahan untuk membubarkan sekolah, murid terakhir tampak berlari-lari untuk ikut sekolah disana. Sehingga, kuota minimal 10 orang terpenuhi.

10 orang murid tersebut adalah:

  1. Ikal, sang tokoh utama
  2. Lintang, anak sekorang nelayan, yang untuk bersekolah harus bersepeda 80 Km pulang pergi, sehingga baunya mirip bau hangus terbakar
  3. Mahar, sang seniman muda yang sejak kecil sudah menunjukkan bakatnya
  4. Sahara, satu-satunya wanita yang menjadi murid pada awal sekolah (nantinya akan ada murid berikutnya)
  5. Trapani, yang pada film ini tidak terlalu ditonjolkan
  6. Borek, yang suka mengganggu
  7. Kucai, sang ketua kelas
  8. A Kiong, satu-satunya siswa Hokian di SD itu
  9. Syahdan, yang juga tidak terlalu menonjol pada film ini
  10. Harun, anak terbelakang mental yang menjadi penyelamat SD Muhammadiyah, karena dialah yang menjadi murid ke 10 dan menyebabkan sekolah batal ditutup


Adegan berikutnya banyak diwarnai dengan pola belajar mengajar mereka, serta adegan-adegan dari kepala sekolah dan alasannya hingga tetap mempertahankan sekolah tersebut.

Salah satu petuah yang paling ditekankan oleh Pak Harfan adalah “Jangan terlalu banyak meminta, tetapi berusahalah untuk memberi sebanyak-banyaknya”.
 

Selanjutnya, mereka semakin akrab satu sama lain, bermain bersama, berpetualang bersama, bahkan pada suatu sore setelah hujan deras mereka berdiri diatas sebuah batu besar dan menyaksikan pelangi yang amat indah. Bu Mus yang mengikuti mereka lalu memanggil semua anak-anak tersebut dengan “Laskar Pelangi” dan inilah asal mula nama “Laskar Pelangi” untuk kelompok mereka.
 

Pada film ini juga diceritakan kisah “cinta monyet” Ikal dengan A Ling, anak penjual kapur tulis di kota, yang disebabkan karena Ikal melihat “kuku jarinya” saat menerima kapur tulis yang diberi. Juga diceritakan patah hati yang dialami Ikal, saat A Ling terpaksa harus pergi untuk melanjutkan sekolahnya.
 

Adegan kemudian banyak menyoroti 2 orang, yaitu Mahar dan Lintang dengan kelebihan masing-masing yang mewarnai kehidupan mereka.
 

Mahar, dengan sebuah radio transistor yang selalu menemani kemanapun dia pergi, adalah sebuah bibit seni yang tumbuh di tengah-tengah mereka. Tantangan pertama yang diberikan kepadanya adalah Karnaval 17 Agustus yang secara rutin dilaksanakan di Belitung.
Setiap tahun, karnaval ini menjadi sebuah cermin keberhasilan sekolah-sekolah, dan sebagai sebuah tradisi, selalu dimenangkan oleh SD PN Timah yang serba “terbaik” dan “ter-elite”. Tantangan untuk mendobrak kebiasaan ini sekarang ada di pundak Mahar. SD PN Timah selalu tampil dengan Marching Band terbaik dengan pakaian-pakaian terbaru dan berwarna warni, sehingga selalu menjadi juara. Bagaimana SD Muhammadiyah, dengan siswa yang melarat dan tidak ada dana satu rupiah-pun dapat menghadapi mereka ?
 

Setelah mencari ide berhari-hari bahkan sampai dianggap “gila” oleh teman-temannya, Mahar muncul dengan ide brillian, yaitu dengan tampil dengan kostum Suku Terasing yang menampilkan tarian suku terasing. Tentulah karena suku terasing hanya menggunakan daun-daunan sebagai pakaian, maka tidak diperlukan biaya apapun untuk tampil
 

Dengan koreografi yang khusus dirancang oleh Mahar dan dengan “senjata rahasia” yang dia siapkan, akhirnya SD Muhammadiyah menjadi juara umum pada karnaval tersebut

Karena kemenangan merekalah, maka salah seorang siswa SD PN Timah, seoang gadis tomboy yang susah diatur namun berani dan setia kawan, akhirnya pindah ke SD Muhammadiyah. Namanya adalah Flo.

Flo dan Mahar langsung saja akrab, dan sama-sama memiliki ketertarikan pada hal-hal yang bersifat “gaib.” Hal ini menyebabkan nilai-nilai mereka hancur dan terancam gagal pada ujian akhir. Namun, penyelesaian yang mereka cari rupanya tetap jauh dari akal sehat, yaitu mencoba mengunjungi seorang “dukun sakti” bernama Tuk Bayan Tula di Pulau Lanun untuk membantu menaikkan nilai ulangan mereka. Namun, pesan rahasia dari Tuk Bayan Tula yang sudah susah payah mereka cari rupanya amat jauh dari yang mereka harapkan…

Fokus cerita berikutnya adalah Lintang, yang merupakan siswa yang amat cerdas, yang dibuktikan dengan kecepatannya dalam menyelesaikan soal-soal Matematika tanpa mencatat sedikitpun. Pembuktian berikutnya adalah saat lomba cerdas cermat melawan SD PN Timah dengan skor yang cukup seru bahkan diwarnai dengan debat terhadap tim juri lomba.

Namun, si jenius ini akhirnya tidak dapat melanjutkan sekolahnya, karena sebagai anak sulung dan laki-laki satu-satunya, harus menggantikan ayahnya yang meninggal pada saat melaut.

Secara umum, film ini cukup mengasikkan dengan beberapa catatan:


Penggambaran karakternya kurang mendalam, utamanya pada karakter Mahar yang penuh dengan nilai seni yang luar biasa. Nilai seninya hanya ditunjukkan dengan radio transistor yang selalu dia bawa

Karakter Lintang pada awal tidak tergambarkan dengan baik sebagai siswa yang cerdas. Mengapa Bu Mus begitu mudahnya percaya dengan kepintaran Lintang hanya dengan sekali memberikan pertanyaan matematika ? Padahal, tidak akan sulit apabila ditambahkan 2-3 soal lagi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

Posisi tangan A Ling yang memperlihatkan kukunys sehingga membuat Ikal jatuh cinta malah dirusak dengan efek glare dan lens yang berlebihan, sehingga keindahan kuku A Ling justru tertutup.

Karakter Flo, sebagai gadis tomboy, amat jelek sekali. Akting yang amat kaku dan tidak tomboy seperti yang seharusnya.

Adegan karnaval tidak terlalu “heboh”, padahal pada bukunya, pembaca dapat menggambarkan dengan jelas “kehebohan” yang terjadi. Hal ini karena pemerannya hanya 10 orang, padahal menurut buku itu dilakukan juga oleh siswa-siswa lain selain 10 orang ini. Efek buah yang menyebabkan gatal juga tidak tampak sama sekali, hanya muncul dari amukan Syahdan ke Mahar setelah acara selesai.

Adegan Tuk Bayan Bula sangat hambar, tidak ada efek mereka susah payah kesana, padahal disampaikan mereka sampai melawan badai yang amat kuat, lha baju aja masih kering kok.

Adegan meninggalnya Pak Harfan yang menyebabkan Bu Mus tidak mengajar selama 5 hari justru memperlemah karakter Bu Mus yang amat perhatian pada siswanya.

Beberapa adegan yang tidak penting justru disampaikan dalam waktu lama (seperti adegan Mahar menyanyi) dan beberapa adegan yang harusnya diperkuat justru hanya ditampilkan sambil lalu.

Namun, lumayanlah dibandingkan dengan film-film Indonesia lainnya yang hanya menampilan horor tak jelas dan humor yang garing.
Silakan pembaca menilai sendiri. 




sumber:  http://www.khalidmustafa.info/2008/09/26/laskar-pelangi-sebuah-resensi.php








Sumber


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog