Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Pencarian

24 Februari 2014

Pohon Tanpa Akar

.

http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/20/fiksi-cinta-pohon-tanpa-akar-634588.html





Dinikahi pria lajang menawan nan mapan dan dari keluarga terpandang, siapa yang dapat mengelak bila itu adalah berkah. Menikah dan hidup bahagia selamanya bagai akhir dongeng adalah impian dari semua gadis, termasuk aku. Menangkup biduk rumah tangga berdua, mabuk dalam rengkuhan kebersamaan, aku tak pernah menyangka bila bahagia dapat usai…

***


Abimanyu Putra Dewangkara dan Btari Pramesti Dahayu

7 Januari 2006


Ku tatap sebuah undangan di meja rias, tercetak nama yang bertinta emas, namaku dan nama mas Manyu. Sungguh tak dapat kupercaya, hari ini, adalah hariku! Aku masih mematut diri di depan cermin sedari tadi. Kebaya berwarna broken white ini sangat indah, melekat pas pada tubuhku. Rambutku tergelung rapi, dan make up ku tampak… oh, ini sempurna! Aku berbinar-binar menatap bayanganku dalam cermin.

Aku tak tahu. Baru beberapa tahun yang lalu aku bertemu lelaki ini, namun tak terbesit sedikitpun dalam pikiranku untuk menjalin kasih dengannya. Karena ia bak pangeran. Bagaimana tidak, ia adalah anak dari salahsatu pengusaha tembakau yang paling kaya. Bermula saat ia sering membeli di toko kue ibuku, dan akhirnya menjadi pelanggan setia disana. Saat pertama kali kami berpapasan, tak dapat kuhindari, untuk mencuri pandang padanya. Ia tersenyum, senyuman yang membuatku, dan mungkin jutaan perempuan disana meleleh. Kesan pertama yang membuai. Ia begitu, menyejukkan…

Disamping itu, aku sendiri malah disibukkan dengan dunia modeling, yang justru tak ada hubungannya sama sekali dengan jurusan perkuliahan yang kuambil, yaitu pariwisata. Bermula karena aku terpilih menjadi gadis sampul sebuah majalah wanita, itupun karena kakak perempuanku yang memaksa. Jujur saja aku tak terlalu percaya diri pada awalnya, karena dalam bayanganku seorang model haruslah tinggi, kulitnya putih bak pualam, dan tentu saja kurus! Sedangkan aku berkulit sawo matang dan berambut hitam sebahu, serta berdarah Jawa tulen. Bagaimana tidak tulen, bapakku dari Jogja sedang ibuku dari Solo. Tapi mbak Naya bilang, justru kulit eksotiskulah yang menggambarkan bagaimana kecantikan perempuan Indonesia.

Pada akhirnya aku dan mas Manyu berkenalan dan aku kira kami menjalin pertemanan. Tak disangka, ia adalah teman yang menyenangkan, aku selalu bilang pada hati kecilku untuk tak jatuh hati padanya. Apa mau dikata, seiring pertemuan sebuah percikan asmara mulai tumbuh dan aku takut untuk jatuh padanya, karena ku takut, aku akan bertepuk sebelah tangan, akhirnya aku memutuskan pergi ke Amerika untuk menerima pekerjaan disana. Mencoba melakukan penghindaran. Aku sengaja tak memberikan atau melakukan contact apapun pada mas Manyu. Tak lebih dari 6 bulan aku kembali ke Indonesia untuk liburan. Dan malam aku pulang, malam itu juga aku mendapat kunjungan serta lamaran dari mas Manyu. Lajang berusia 28 tahun yang paling digilai perempuan itu memintaku menikahinya! Hal itu adalah hal tergila yang pernah terjadi dalam hidupku. Matanya yang sendu, pelukannya yang erat, pelukan yang menyiratkan kehilanganku. Oh, aku sungguh jatuh cinta padanya, aku tak dapat mengelak lagi, dan akhirnya aku tahu ia juga mencintaiku. Aku lebih dari bahagia. Tangisku pecah, kudekap ia erat. Dalam peluknya aku dengar ia berkata, ia tak ingin kehilanganku lagi. Aku terisak, mengiyakan lamarannya.

Aku tak melanjutkan lagi karirku. Karena aku tak ingin kehilangannya, aku memilih menemaninya. Dan disinilah aku, hari ini menikahinya …

***

Sungguh bersamanya tiada hari tanpa bahagia. Maksudku bukan layaknya buncahan besar, namun hanya buih-buih lembut yang membelai kehidupanku. Begitu nyaman di dekatnya. Dan aku amat bersyukur tentang hal itu.

Aku membantu ibu mengurus beberapa cabang toko. Teman-temanku heran, kenapa aku masih bekerja. Kan kamu sudah jadi Dayu yang dinikahi konglomerat ujar mereka. Memang jumlah nol di rekening suamiku terbilang fantastis. Namun, aku bukannya tipe istri pajangan, yang suka menghabiskan waktu dengan merawat diri, berbelanja, bergosip dan malas-malasan saja di rumah. Dan aku senang, karena aku punya hal untuk dikerjakan, karena jika berdiam diri saja di rumah, aku akan bosan setengah mati.

Namun bukan berarti aku tak merawat diri. Sebagai perempuan aku tahu kodratku. Aku juga tak ingin kalau mas Manyu, merasa kecewa karena melihat istrinya kumal! Jadi sesekali aku pergi merawat diri. Atau sebisa mungkin di rumah kulakukan perawatan wajah ala kadarnya, berolahraga, dan sesekali berdiet. Kenapa sesekali? Oh, kalau ibu kalian seorang pembuat kue-kue yang lezat, kalian akan tahu bagaimana rasanya godaan itu…

Aku juga belajar memasak. Kata pepatah dulu, dari perut turun ke hati. Kadang aku terkikik, sebenarnya itu adalah salahsatu usaha penghematan juga! Terbukti kami berdua jarang jajan di luar. Aku lebih suka berinvestasi di berbagai prodak keuangan daripada menghabiskan uang untuk segala fine dining yang kadang tak masuk akal harga per-setnya. Well, kelihatannya bakat menjadi ibu-ibu pada diriku tumbuh sendiri.

***

Bicara menjadi seorang ibu, aku butuh tiga tahun untuk menjadi perempuan yang sempurna. Selama tiga tahun pernikahan, terasa seperti tahun-tahun pacaran bagiku bersama mas Manyu. Dengan perbedaan umur empat tahun, aku tak merasa begitu sulit untuk masuk ke dalam cara berpikirnya.

Pada ulang tahunnya yang ketiga puluh satu, aku membungkus test-pack dengan hasil positif untuknya. Matanya yang jernih, membesar seakan terbelalak tak percaya dengan hadiah yang kuberi. Ia menciumku berkali-kali, mencium perutku juga, tempat dimana anak kami akan tumbuh.

Merawat ibu hamil tak membuat ia lelah. Ia sigap dan siaga menjagaku. Walaupun aku jadi lebih cerewet dan senewen, ia masih menjadi lelaki yang sabar.

Dan lahirlah Bhagaskara, putra kami. Ia begitu mirip denganku, kecuali kulitku. Setidaknya ia mewarisi gen bapaknya, dan sangat tepat. Aku masih berstigma layaknya masyarakat Indonesia pada umumnya, yang kulitnya tidak gosong itu lebih cantik atau tampan!

***

Sudah sewindu umur pernikahan kami. Bhagas sudah lima tahun. Aku tak menyangka ia akan tumbuh secepat itu. Tak terasa aku sudah harus mempersiapkan sekolah dasar untuknya.

Mas Manyu makin sibuk. Jam kerjanya mungkin dapat dibilang 27 jam sehari. Dia bekerja amat keras. Tiap kutanya mengapa ia begitu gencar, katanya saat ini adalah saat yang tepat unutk melakukan ekspansi perusahaan. Banyak investor yang mau mendanai proyeknya. Aku hanya dapat mendukungnya. Walaupun sebenarnya aku sangat rindu hadirnya di rumah. Tertawa bersama, menghidupkan lagi hari-hari bersama. Tapi aku menghibur diri, mungkin inilah saatnya ia sibuk, aku pikir akan ada saatnya kami bisa berkumpul bersama lagi.

Namun sebagai seseorang yang sudah lama tinggal bersamanya, aku bisa merasakan ada gelagat aneh nan tak wajar padanya. Aku lebih dari hafal aroma tubuhnya, namun lebih dari sekali kucium aroma tubuhnya bercampur wewangian wanita. Aku tak berani memikirkan lebih jauh. Aku masih berpikiran positif bila mungkin itu hanya parfum yang tak sengaja menempel waktu ia berada bersama klien-kliennya. Aku tak tahu, namun herannya wewangiannya hanya sejenis…

Perangainya juga tak lagi sama. Ia menjadi tak sabaran, dan amat buru-buru jika pergi ke kantor di pagi hari. Ia tak lagi sarapan bersamaku. Ingin aku memakluminya, ingin sekali, tapi rasanya sedih tak dapat kutolak dari dalam hatiku. Namun Bhagas selalu menemaniku, itulah yang menguatkanku tiap hari saat aku merasa hariku berat. Aku amat menyayanginya, dan aku tetap ingin kami menjadi satu keluarga yang utuh.

***

Saat ulang tahun mas Manyu yang ke tiga puluh enam, aku ingin sekali memberinya kejutan. Seperti saat aku mengejutkannya dengan kehadiran Bhagas dalam perutku. Tapi apa kejutannya? Aku berpikir keras. Akhirnya aku memutuskan untuk memasak masakan kesukaannya dan membawa strawberry cheese cake ke kantornya. Aku tak sabar mengejutkannya. Aku terus tersipu membayangkan wajahnya. Ini kali pertamaku untuk mengendap-endap dan memberinya kejutan.

Aku berpakaian dengan dress selutut berwarna biru muda yang cantik, memakai untaian gelang perak di pergelangan tangan kananku serta memakai pump shoes putih yang terasa timeless untukku. Aku bercermin dan aku tertawa karena aku berdandan seperti remaja yang ingin pergi berkencan.

Aku diantar oleh pak Gatot, supir pribadi kami yang sudah bekerja bertahun-tahun di keluarga mas Manyu. Aku mengecek berbagai persiapan dan aku rasa sudah semua. Dewi dalam batinku bergejolak gembira, aku yakin mas Manyu akan kembali hangat pada kami.

Ruang kerja mas Manyu di lantai dua puluh satu. Aku agak kerepotan dengan barang bawaan, walaupun sudah kumasukkan dalam keranjang piknik, tetap saja berat! Aku tak sabar dengan suara buka tutup liftnya, aku ingin segera sampai. Ting! Ah, sampai juga. Aku bergegas ke bagian resepsionisnya, namun perempuan itu melarangku untuk langsung masuk ke ruangan suamiku. Aku ngotot, karena ingin memberi kejutan, aku langsung masuk ke dalam ruangan.

Namun bukannya pemandangan mas Manyu yang sedang sibuk mengetik ataupun setidaknya melakukan percakapan lewat telepon. Aku melihat hal yang tak senonoh. Aku merasa dingin yang hebat menjalar dari ujung kakiku sampai keseluruh badanku. Bibir perempuan itu ada di wajah mas Manyu. Apapun tentangnya berantakan. Aku kelu. Mas Manyu menghardik perempuan itu keluar. Aku tak merasa memilki tenaga. Mas Manyu berceloteh, bibirnya tak henti bergerak, aku tak dapat mengerti apa yang sedang ia ucapkan. Aku bahkan tak ingin melihatnya. Ia mencoba memegang tanganku. Aku merasa jijik, aku teriak terisak di depan mukanya untuk melepaskan tangannya dariku. Tangannya. Tangannya yang baru saja melingkar pada perempuan jalang itu. Aku bergidik ngeri. Aku lari keluar. Segera masuk ke dalam lift. Dan tergugu hebat di dalamnya.

***

Sudah dua minggu peristiwa menjijikkan itu terjadi. Aku dan Bhagas pindah ke rumah ibu dan bapakku. Aku tak sudi lagi melihat, oh tidak, hanya mendengar namanya saja hatiku bagai terajam. Pedih.

Aku tak ingin lagi menyalakan ponselku. Aku hanya dirumah saja. Ibuku yang mengantar Bhagas sekolah. Aku seperti orang linglung. Aku sangat terpukul. Aku tak ingin bertemu siapapun. Tapi aku tak lagi menangis. Rasanya surut sudah berhari-hari.

Aku telah memberinya segalanya. Mengorbankan apa yang kupunya. Lalu ia menghancurkannya begitu saja dengan bola besar dan menghantam apa yang telah kubangun. Oh, aku marah sekali. Untuk apa dulu ia susah-susah mengejarku bila ia hanya ingin menyelingkuhiku. Dan untuk apa aku memabangun semua. Dan banyak tanya “untuk apa” yang kutanyakan dalam diriku yang tak mungkin ada jawabnya. Aku meneriakinya berengsek, bajingan, jalang apapun semua kata kasar dalam hatiku. Aku hanya tidur dan tidur untuk mengurangi apa yang bernama sakit dalam hatiku.

***

Aku pergi ke psikiater atas anjuran ibuku. Aku lebih dari terguncang. Pernikahan yang kujaga, malah dipatahkan sendiri oleh imamnya. Aku butuh ruang bernapas, lepas dari sakit.

Beberapa terapi yang diberi oleh psikiater itu terbukti menenangkanku. Aku bisa kembali memeluk dan mengobrol dengan Bhagas. Aku lihat pada matanya yang rindu diriku. Aku begitu sedih sampai meninggalkannya. Dan aku berjanji pada diriku untuk cepat lepas dari belenggu.

***

Minggu sore yang tenang, ibu mertuaku datang. Untungnya aku sudah merasa lebih baikan. Tapi aku tetap tak bisa menyambutnya dengan sekedar senyum.

Aku memiliki hubungan yang baik dengan ibu mertuaku. Ia juga menyayangiku layaknya anak kandungnya. Ibu mertuaku bertanya tentang kabarku. Dan basa-basi tentang kabar Bhagas dan entah hal lainnya.

Dan tiba-tiba ibu mertuaku bercerita, tentang perempuan dalam pernikahan yang diibaratkan dengan sebuah pohon. Katanya, sudah selayaknya yang paling tabah dalam pernikahan adalah perempuan. Bisa saja dedaunan gugur, namun janganlah jadi pohon yang mati. Tunggulah, tunggu musim berganti. Sebagai pohon, tak dapat berpindah. Tunggulah, jaga batang tetap kokoh, rengkuh dahannya sampai berbuah. Begitu katanya, kulihat matanya berlinang. Ibu mertuaku terisak, meminta maaf atas perbuatan mas Manyu padaku. Aku terkejut, maksudku, ini bukanlah salahnya. Aku memeluknya tulus. Aku tahu, ibu mertuaku juga merasakan hal yang sama sepertiku.

Perempuan di depanku bukanlah sembarang perempuan. Ia bagai beringin yang kokoh. Aku tahu, ayah mas Manyu punya tiga istri. Ibu mertuaku adalah istri pertama. Dan ia masih tetap dalam ikatan pernikahan. Begitulah prinsip yang ia jaga.

***

Namun bagiku masalah ini bukanlah tentang dedaunan yang gugur  dan akan tumbuh kembali. Sungguh masalah ini telah mencabuti akarku. Mengebiri bulu-bulu halusnya. Melandaikan dan menghaluskan batangku, sehingga mau ditanam lagi jelas aku tak dapat tumbuh.

Aku tak dapat memaksakan apa-apa lagi. Bersama cintaku kepada Bhagas, aku memilih kehidupan baru. Aku mengirim pesan singkat untuk mas Manyu, aku memintanya untuk mengurus perceraian secepatnya. Ia memintaku untuk bertemu dengannya, aku jelas menolak. Dari suaranya terdengar sejuta penyesalan, tapi semua sudah terlambat. Tak ada lagi yang tersisa. Rasaku sudah terbumi hanguskan untuknya. Asat tak bersisa.

***

Aku pernah jadi pohon, namun kini tanpa akar, yang lamat kemudian berubah menjadi sebiji benih, yang memilih untuk ditiup angin, membawaku ke tempat baru dimana aku akan tumbuh. 


-
A. Anindita
22:56
20/02/14





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Harap beri komentar yang positif. Oke boss.....

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog