Belajar Bahasa Indonesia Online SD SMP SMA KBBI PUEBI Buku Materi Pelajaran Tugas Latihan Soal Ujian Sekolah Penilaian Harian Silabus

Wanita Cantik Lahir Batin, Calon Istri Idaman

Wanita Cantik Lahir Batin, Kamu Harus Segera Nikahi Dia Model wanita seperti ini sangat langka. Baca selengkapnya: https://www.genpi.co/gaya-hidup/33478/wanita-cantik-lahir-batin-kamu-harus-segera-nikahi-dia

5 Mobil Mewah Termahal Yang Pernah Dijual di Indonesia

Punya khalayak otomotif yang kuat, lima mobil mewah termahal ini pernah dijual di Indonesia! https://carro.id/blog/5-mobil-mewah-termahal-yang-pernah-dijual-di-indonesia/

Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16

Bola.net - Asisten Shin Tae-yong, Nova Arianto mengapresiasi keberhasilan Timnas Indonesia U-16 menjuarai Piala AFF U-16 2022. https://www.bola.net/tim_nasional/timnas-indonesia-juara-piala-aff-u-16-2022-asisten-shin-tae-yong-jangan-layu-sebelum-berkemba-ca151c.html

Tesla Cybertruck Asli dalam Video Baru Dari Peterson

Diupload: 13 Apr 2023, Museum Otomotif Peterson memiliki prototipe Cybertruck pertama yang dipamerkan dalam pameran, selengakapnya di https://id.motor1.com/news/662022/tesla-cybertruck-asli-museum-peterson/

Kabar Baik untuk ARMY! BTS Kembali Dinobatkan sebagai Penyanyi K-Pop Terpopuler

Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman Soompi, BTS kembali menempati peringkat pertama sebagai penyanyi K-Pop terpopuler https://cirebon.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-042118224/kabar-baik-untuk-army-bts-kembali-dinobatkan-sebagai-penyanyi-k-pop-terpopuler-di-bulan-juni-2021

Pencarian

24 Februari 2014

Akhirnya Cinta

.


http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/21/fiksi-cinta-akhirnya-cinta-634813.html





  
sumber gambar: http://images6.fanpop.com/image/photos/33000000/Love-Wallpapers-love-33002163-1920-1200.jpg



“Jangan terlalu baik padaku, Ndra.”

Kepala lelaki itu sontak menoleh padanya. Menghentikan kesibukannya. Menatapnya dengan sorot mata tajam. Sorot mata yang menggetarkan hati Tania. Membuatnya menundukkan wajah. Tak sanggup membalas tatap Andra.

“Apa yang kau takutkan?”

Ada nada kesal dalam suara Andra. Nada kesal yang jarang Tania dengar keluar dari mulut lelaki yang selama ini selalu bersikap baik padanya.

Sepercik rasa bersalah hadir dalam hati Tania. Bukan maksud Tania membuat Andra kesal. Hanya saja kebaikan lelaki itu mulai menakutkan bagi Tania. Andai Andra tahu apa yang Tania rasakan. Andai Andra tahu tentang ketakutannya. Tentang rasa nyaman dan ketergantungan yang mulai dinikmatinya. Tentang kedatangan Andra yang mulai dia nantikan setiap harinya. Tentang perasaan lain yang mulai hadir di hatinya. Yang mulai mengkhawatirkannya. Memaksanya untuk menghentikan semuanya. Sebelum dia kembali terluka!

Tania menghela nafas panjang. Meraih gelas cappucino di atas meja. Meneguknya pelan. Mengaburkan kesedihan.

Dia tahu siapa dan bagaimana dirinya sebagai perempuan. Tania sadar bahwa dia bukan lagi perempuan sempurna. Bukan lagi perempuan dambaan para pria. Tania sadar dia hanyalah perempuan bodoh yang tak lagi berharga. Perempuan bodoh yang rela begitu saja menyerahkan mahkotanya yang berharga pada lelaki brengsek yang tak bertanggung jawab. Yang meninggalkannya tanpa kata sehari setelah Tania mengatakan tentang kehamilannya!

Perempuan bodoh yang tak pantas mengharapkan apapun dari sosok lelaki sebaik Andra. Yang bahkan tak pantas menerima kebaikan Andra.

“Apa kehadiranku mengganggumu, Tania?”

“Tidak! Tentu saja tidak!” Sambar Tania cepat.

Bodoh! Kenapa dia justru membuat Andra berpikir yang tidak-tidak? Tentu saja Andra tak pernah mengganggunya. Dan tentu saja Tania tak berhak membuat Andra merasa telah mengganggu hidupnya. Justru Tania harus berterima kasih pada Andra. Harus mensyukuri kehadiran Andra. Harus mampu membalas budi baik Andra. Dan bukan justru membuat Andra merasa serba salah.

Bukankah selama ini Andralah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan padanya. Yang menyelamatkan hidupnya. Yang menyelamatkan jiwa Tania sebulan lalu saat menemukannya berdarah-darah di toilet lantai dua kantor mereka. Yang memapahnya keluar gedung perkantoran. Membantunya menutupi apa yang tengah terjadi dari mata rekan kerja mereka. Yang mengantarkan ke rumah sakit terdekat. Yang menemaninya melalui saat-saat menegangkan menjalani kuret untuk menyelamatkan rahimnya. Yang menggenggam tangannya erat selama dia tak sadar.

Bahkan Andra rela berpura-pura mengaku sebagai suaminya untuk menyelamatkan nama baik Tania. Bahkan Andra tak pernah menyalahkan Tania atas tindakan konyol yang dilakukannya di toilet kantor mereka. Andra juga tak pernah menganggapnya perempuan rendah. Perempuan murahan yang rela menyerahkan mahkotanya pada pacar brengseknya. Pada Putra, lelaki brengsek tak bertanggung jawab yang meinggalkannya begitu saja setelah tahu tentang kehamilannya!

“Jika kau memang tak terganggu, kenapa kau memintaku menjauh?”

“Aku…”

‘Aku tak ingin jatuh cinta padamu, Andra. Karena aku bukan perempuan baik yang pantas bersanding denganmu.’

Tania mengatupkan mulutnya rapat. Khawatir isi hatinya meloncat keluar.

“Aku.. Aku tak ingin mengikatmu Andra. Kau punya kesibukan sendiri. Kau memiliki duniamu sendiri. Dan selama kau mengenalku, kau telah banyak meninggalkan kebiasaanmu. Kau banyak berkorban untukku. Aku hanya.. Kau.. Ahhh.. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Andra.”

“Benarkah itu alasannya? Bukan karena kau tak menginginkan kehadiranku?”

‘Itu juga!’

Tapi tentu saja tak Tania katakan. Dia tak mungkin mengatakan pada Andra bahwa dia memang tak menginginkan kehadiran lelaki itu lebih lama di dekatnya. Bahwa Andra harus secepatnya menjauh dari hidup Tania. Sebelum Tania jatuh cinta. Sebelum Tania tak mampu lagi membendung rasanya.

“Jika hanya itu alasannya, kau tak perlu khawatir Tania. Aku baik-baik saja. Tak ada yang kukorbankan. Justru aku mendapatkan lebih dari apa yang kuharapkan. Aku bahagia ada di dekatmu.”

‘Oh tidak!’

Tatapan Andra begitu lembut. Dengan binar-binar yang semakin menggetarkan dada Tania.

“Aku mencintaimu, Tania. Ijinkan aku membuatmu bahagia.”

Tania tergagap. Tak mampu berkata. Menatap Andra dengan sorot tak percaya. Jeda tercipta untuk beberapa saat di antara mereka. Andra masih dengan sorot lembut dan binar di matanya. Dan Tania masih dengan rasa tak percaya yang memenuhi dadanya.

“Tapi aku…”

“Kau perempuan luar biasa yang pernah kutemui, Tania. Please, jangan menolakku. Setidaknya biarkan aku membuatmu bahagia.”

Ingin rasanya mengatakan banyak hal pada Andra. Bahwa dia bukan perempuan sempurna. Bahwa Andra berhak mendapatkan perempuan yang lebih segalanya dari Tania. Tapi sorot mata lelaki itu, kebaikan Andra selama ini padanya dan jantungnya yang bertalu-talu tak mau diam. Membuat Tania hanya mampu menundukkan wajah. Terdiam dengan benak yang tak mau diam. Terus terdiam saat tangan lelaki itu meraih telapaknya. Menggenggamnya penuh kehangatan. Mengalirkan rasa percaya akan adanya cinta antara mereka.

***

Goresan Cerita Bungailalang





Share:

Momen

.

http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/20/momen-633398.html







sumber gambar: http://static3.wikia.nocookie.net/__cb20130430222043/creepypasta/images/9/92/Love2.jpg


 ========================


The Moment, Kenny G menggelitik lembut telingaku. Kuraih ponsel dan kumatikan alarm pertama yang kuset setiap hari.  Pelan kusingkirkan lengan Karso dari atas perutku. Rambut ikal panjangku, kutarik ke belakang dan kuikat dengan karet gelang bekas pembungkus makan siang yang melingkari pergelangan tanganku. Aku turun dari kasur dengan melangkahi Karso yang masih terlelap.

Kubuka jendela kamarku untuk menerima hadiah yang semesta berikan kepadaku setiap hari – kesejukan embun pagi. Karso sering menanyakan alarm pagiku yang mendayu-dayu dan terlalu awal di setiap paginya – jam 3 pagi.

“Jam segitu enak-enaknya kelonan tau!” dan “Alarm itu yo musik yang nge-rock, metal! Ini kok si kribo melankolis!”

Karso, pria yang terkadang tidak peka dan aku mencintainya. Keseharianku bergumul dengan debu, panas matahari, teriakan, sampah, dan anak-anak kolong. Gerah dan berkeringat. Kapan lagi aku merasakan sejuknya dunia kalau bukan pagi seperti ini. Aku tidak mau melewatkannya. Ini hakku. Aku menarik nafas dalam-dalam, membiarkan udara sejuk mengisi paru-paruku. Dan tentang alarm itu. Tidak semua orang mesti ditendang dulu baru bekerja. Sebuah tepukan atau sentuhan halus juga mampu.

-

Karso yang baru saja masuk kamar mandi sudah keluar lagi. Tangannya cepat meraih sebatang filter dari meja kecil di kamar. Membakar ujungnya. Menghisap dalam-dalam.

“Buku yang baru kubeli mana beb?”

Aku tidak menjawab. Aku sedang menyiapkan nasi goreng untuk sarapan di dapur. Karso menuju rak buku gantung di kamar, matanya menelusuri setiap punggung buku. Sepertinya buku yang dicari tidak ada, tangannya meninju udara.

“Buruan! Kebelet boker nih!”

“Buku apaan?”

“Buku Sketsa pensil, baru gue beli…”

Aku menuju ruang depan tempat motor diparkir. Mengambil kantongan hitam yang menggantung di stang motor. Dan kulempar ke arahnya.

“Nih!”

Dengan sigap Karso menangkap buku itu. Sambil mengedipkan matanya dia berlari ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, suaranya yang serak, membahana di kamar mandi.

“Kopi hitam, kental, gak pake gula!”

-

Matahari meninggi, anak-anak bersemangat melatih tulisan mereka. Aku baru saja membagikan mereka buku gambar baru dan selusin pensil warna. Kehidupan mereka keras, aku tidak mungkin bisa memahami mereka dengan memberikan mereka pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka merasa asing dan tertekan. Jadi, aku memutuskan memahami karakter mereka melalui coretan jemari kurus dan dekil mereka.

Aku menatap wajah mereka satu persatu. Aku sedih. Masa depan seperti apa yang bisa mereka wujudkan dengan masa kecil sesulit ini.

“Ada yang melihat Cuki? Kenapa dia nggak datang hari ini?”

Beberapa anak menatapku, menggeleng dan melanjutkan tulisannya.

Cuki. Anak itu paling rajin. Jam delapan pagi di sudah duduk di salah satu bongkahan batu itu. Duduk melipat tangan di dada dan menatap kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Cuki satu di antara anak-anakku yang mempertanyakan kehidupan mereka, “kenapa sih kami hidup di jalanan?”.

Jam makan siang sudah dekat Cuki belum juga datang. Biasanya dia dengan sigap membantuku membagikan nasi bungkus kepada anak-anak yang lain. Kata Cuki, “Begini, aku nggak hanya nerima doang. Aku memberi…”

Setelah makan siang aku melepas anak-anak. Aku  nggak bisa dengan seenaknya saja masuk ke dalam kehidupan mereka dan menjejalkan hal-hal baru ke dalam otak mereka. Mereka punya jalan hidup yang istimewa. Aku ingin menyentuhnya dengan halus dan tenang. Ada waktu untuk belajar dan ada waktu untuk mencari uang.

Kulirik pergelangan tanganku, sudah jam tiga sore. Matahari sudah melunak. Aku memutuskan untuk berjalan. Lumayan jauh untuk sampai ke kontrakan. Tapi aku jadi punya waktu yang banyak untuk merenung.

Ini tahun kelima sejak aku melarikan diri dari rumah. Lima tahun tidak bertegur sapa dengan semua keluargaku. Apa kabar mereka di sana.  Entahlah, kenapa aku memikirkan mereka belakangan ini. Mungkin aku sudah capek dengan rasa yang berkecamuk di pikiranku.

-

Aku bisa merasakan keringat mengalir di punggungku dan meluncur dari belahan dadaku padahal aku baru berjalan satu kilometer. Aku berhenti pada sebuah warung, mengambil sebotol air  mineral dan membayarnya.

Belum ada seratus langkah aku menemukan tubuh yang tergelung di samping tong sampah. Aku berhenti, menatap lekat. Memastikan kalau bercak merah di lengan bajunya bukan darah. Aku mendekat.

Ya Tuhan!

Darah! Lukanya masih baru. Aku panik. Aku melihat sekelilingku entah untuk apa. Aku tidak pernah menghadapi yang berdarah-darah seperti ini.  Aku mendorong tubuh itu pelan tak ingin menambah sakit padanya.

“Hey,”

Tubuh itu bergerak. Wajahnya yang disembunyikan di antara kedua kakinya yang ditekuk  diperlihatkan kepadaku. Mataku memanas dan jantungku berdetak sangat kencang. Wajah sendu dengan tatapan kosong tanpa air mata, ditambah luka sayat memanjang di pipi gadis kecil itu.

Ya Tuhan!

Aku berteriak dan melambaikan ke arah tukang ojek di persimpangan. Tubuh gadis itu kaku di gendonganku saat hendak menaikkan ke boncengan. Luka di pipinya cukup dalam. Berbahaya bila dibiarkan begitu saja. Bisa infeksi.

“Klinik terdekat bang!”

-

Aku berjongkok di ruang tunggu. Aku marah. Siapa yang tega melakukan itu kepada anak kecil. Jahat. Keterlaluan. Kurang ajar. Bangsat!

Gadis kecil itu berjalan menghampiriku. Begitu dingin. Aku tidak pernah bertemu anak kecil sedingin ini. Bekas jahitan di pipinya membuat hatiku meringis pedih. Aku memintanya duduk saat aku membayar tagihan di kasir.

Sebelum mengantarnya pulang, aku mengajaknya makan. Gadis kecil itu tidak banyak bicara. Dia melahap ayam goreng yang kupesankan untuknya. Sepiring nasi dan segelas es teh manis dilahap juga sampai tandas.

Aku tidak memesan makanan. Aku masih marah. Aku tidak berselera kalau sedang marah.

“Siapa yang melakukan itu?” tanyaku setelah dia menyedot habis es teh manis.

Dia menatapku, dia ragu untuk menjawab. Aku tersenyum.

“Aku pengen tau aja kok.”

Dia menunduk menggumam lirih.

“Apa? Gak kedengeran.”

Dia menatapku kali ini, lebih menantang, “Ibuku.”

Belum sempat aku menanggapi dia menambahkan.

“Enggak apa-apa kok, enggak begitu sakit. Ibu marah banget tadi sama Ayah. Samaku juga. Karena aku nakal, aku enggak dapat duit banyak. Aku bermain-main. Ibu marah, jadi Ibu pukul aku. Supaya aku enggak nakal lagi. Eggak sakit kok. Beneran.”

Aku tak bisa berkata-kata. Ini luar biasa.

“Kamu masih mau pulang sama Ibu?”

“Iya, pulang sama siapa lagi.”

“Kamu nggak benci sama Ibu?”

“Enggak. Aku sudah bilang, Ibu cuma marah karna aku nakal.”

Aku mengantarkan gadis kecil itu ke tempat aku menemukannya dan dia akan pulang sendiri – seperti permintaannya.

“Ibu akan memukulku kalau aku pulang dengan orang lain.”

-

Aku membuka kasar pintu kontrakan, melewati Karso yang sedang sibuk dengan laptopnya. Aku tak ingin dia melihat airmata yang membanjiri wajahku.  Aku mengunci kamar dan menangis sepuasnya.

“Beb? Ada apa?”

Kenangan berusia lima tahun yang kupendam selama ini menari-nari di mataku…

Saat itu aku baru saja lulus SMA, Timothy pacarku berniat serius dan ingin melamarku. Aku memintanya menunggu dua tahun lagi. Kupikir orangtuaku pasti tidak setuju. Timothy bersikeras mengingat usianya sudah 35. Akupun mengiyakan. Aku mencintai Tim lebih dari apapun. Tak ada yang lebih bahagia selain hidup bersama pria yang aku cintai.

Malam minggu, Tim datang dengan niatnya yang tulus. Mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangku. Meyakinkan orangtuaku tentang cinta kami. Kupikir orangtuaku akan bijak menanggapi putri kecilnya dilamar pria dewasa dan mapan. Ternyata tidak.

Ibu memeluk dan berusaha membawaku ke kamar. Ayah, mengusir Tim di depan mataku. Ayah mengancam 
akan melapor ke polisi kalau Tim berusaha mendekati aku.

Aku meronta dari pelukan Ibu. Kukejar Tim yang tertunduk lesu keluar dari rumah. Aku menangis, memohon supaya Tim membawaku pergi. Tim menggenggam kedua tanganku. Matanya berkaca-kaca. Tapi tak satu katapun keluar dari mulutnya.

“Bawalah aku Tim! Kumohon!”

Ayah berang kemudian menyeret dan melemparkanku ke kamar dan menguncinya dari luar. Aku berteriak begitu mendengar mesin motor Tim menjauh dari rumah. Aku hilang kendali. Aku tak sadar apa yang kulakukan dengan tubuhku.

Begitu aku bangun. Aku sudah terbaring lemah di rumah sakit. Kepalaku diperban, sakit sekali saat aku mencoba bangun. Kedua lenganku luka bekas dicakar, sepertinya dicakar hingga kuku tertancap ke kulitku.

Selama masa perawatan aku mogok bicara. Hingga aku kembali ke kamarku. Aku mendapati semua benda yang berbau Tim sudah lenyap dari kamarku. Masih dengan baju tidurku, aku meminta penjelasan kepada Ayah yang sedang menikmati kopi sore.

“Handphone Giselle mana Yah?” suaraku bergetar menahan amarah. Ayah diam saja.

“Beruang coklat Giselle? Gelang? Foto Tim, diary?!!” nadaku semakin meninggi dan membuat Ayah terkejut. Ayah bangkit, melempar koran ke lantai dan menjawab dengan dingin dan tegas.

“Sudah Ayah buang semua! Semua tentang laki-laki itu sudah Ayah buang!”

Spontan aku berlari menuju bak sampah di sudut komplek perumahan. Ayah mengejarku, Ibu menjerit-jerit histeris. Dengan kondisi tubuhku yang masih lemah, Ayah dengan mudah mendapatkanku. Ayah mencoba menyeretku. Aku menepis tangannya kasar. Aku menyelesaikan semuanya ketika tiba di rumah.

“Giselle bukan anak kecil!”

“Kamu mau menikah di umur 19 tahun? Yang benar saja!”

“Iya! Dan itu sudah Giselle pikirkan! Giselle sadar seratus persen sama apa yang keluar dari mulut Giselle!”

“Anakmu sudah gila Bu…” Ayah menggelengkan kepalanya sambil menatap Ibu yang berurai airmata.

“Ayah yang gila! Nggak bisa ngertiin anak perempuannya!” teriakku marah.

Plak!!!

Saat tamparan itu mendarat di pipiku. Untuk kedua kalinya aku tahu apa yang aku mau setelah yang pertama keinginanku untuk menikah diusia muda.

Aku membawa pakaianku seadanya dan aku meninggalkan rumah itu untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku mengikuti kemana hatiku akan membawaku.  Berhari-hari di bus, berhari-hari di kapal, dan berjalan jauh menyusuri jalanan.

Dan kemudian aku bertemu Karso, mengenal, menyayangi dan mencintainya.

-

Aku terbangun saat The Moment menelusup lembut di telingaku. Kukeluarkan ponsel itu dari sakuku. Kubuka jendela kamarku, sejuk empun pagi mencumbu wajahku. Aku berbisik lirih untuk diriku dan semesta.

“Aku ingin pulang.”

-

Karso bergelung di sofa ruang depan. Sebelum tanganku menyentuh puncak hidungnya dia terbangun. Nafasnya berat dan tersenyum sambil meraih tanganku.

“Sini, cerita sama Mas..”

Aku menyusup ke dalam pelukannya dan mulai bercerita tentang gadis kecil dengan luka sayat di wajah, yang membuat aku mengingat masa laluku, Ibu, Ayah, dan Giselle yang keras kepala. Karso mendengar sambil tangannya mengusap ubun-ubunku.

“Kita pulang ya sayang…?” Karso tahu apa yang aku mau. Aku tersenyum dan mengangguk.

-

Jemariku bergetar hebat saat menekan nomor telepon rumah. Wajahku panas dan mataku berair. Jantungku berdetak kencang saat telepon tersambung. Tiga nada sambung dan kemudian…

“Halo,” suara itu, aku sangat merindukannya. Air mataku mengalir. Karso yang duduk di sampingku menepuk halus pundakku.

“Bu, Giselle boleh pulang?” sekarang aku terisak-isak dan susah bernafas. Di seberang sana, Ibu berteriak memanggil Ayah dan menyebut namaku. Ibu menangis kencang. Di sela-sela tangisnya aku mendengar kerinduan untuk anak perempuan satu-satunya.

“Pulanglah Nak,”

***

Sumber gambar : http://www.djibnet.com/photo/2865201257-the-moment.jpg




Share:

Pohon Tanpa Akar

.

http://blog.kompasiana.com/2014/02/24/inilah-pemenang-even-fiksi-cinta-fiksiana-634235.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/20/fiksi-cinta-pohon-tanpa-akar-634588.html





Dinikahi pria lajang menawan nan mapan dan dari keluarga terpandang, siapa yang dapat mengelak bila itu adalah berkah. Menikah dan hidup bahagia selamanya bagai akhir dongeng adalah impian dari semua gadis, termasuk aku. Menangkup biduk rumah tangga berdua, mabuk dalam rengkuhan kebersamaan, aku tak pernah menyangka bila bahagia dapat usai…

***


Abimanyu Putra Dewangkara dan Btari Pramesti Dahayu

7 Januari 2006


Ku tatap sebuah undangan di meja rias, tercetak nama yang bertinta emas, namaku dan nama mas Manyu. Sungguh tak dapat kupercaya, hari ini, adalah hariku! Aku masih mematut diri di depan cermin sedari tadi. Kebaya berwarna broken white ini sangat indah, melekat pas pada tubuhku. Rambutku tergelung rapi, dan make up ku tampak… oh, ini sempurna! Aku berbinar-binar menatap bayanganku dalam cermin.

Aku tak tahu. Baru beberapa tahun yang lalu aku bertemu lelaki ini, namun tak terbesit sedikitpun dalam pikiranku untuk menjalin kasih dengannya. Karena ia bak pangeran. Bagaimana tidak, ia adalah anak dari salahsatu pengusaha tembakau yang paling kaya. Bermula saat ia sering membeli di toko kue ibuku, dan akhirnya menjadi pelanggan setia disana. Saat pertama kali kami berpapasan, tak dapat kuhindari, untuk mencuri pandang padanya. Ia tersenyum, senyuman yang membuatku, dan mungkin jutaan perempuan disana meleleh. Kesan pertama yang membuai. Ia begitu, menyejukkan…

Disamping itu, aku sendiri malah disibukkan dengan dunia modeling, yang justru tak ada hubungannya sama sekali dengan jurusan perkuliahan yang kuambil, yaitu pariwisata. Bermula karena aku terpilih menjadi gadis sampul sebuah majalah wanita, itupun karena kakak perempuanku yang memaksa. Jujur saja aku tak terlalu percaya diri pada awalnya, karena dalam bayanganku seorang model haruslah tinggi, kulitnya putih bak pualam, dan tentu saja kurus! Sedangkan aku berkulit sawo matang dan berambut hitam sebahu, serta berdarah Jawa tulen. Bagaimana tidak tulen, bapakku dari Jogja sedang ibuku dari Solo. Tapi mbak Naya bilang, justru kulit eksotiskulah yang menggambarkan bagaimana kecantikan perempuan Indonesia.

Pada akhirnya aku dan mas Manyu berkenalan dan aku kira kami menjalin pertemanan. Tak disangka, ia adalah teman yang menyenangkan, aku selalu bilang pada hati kecilku untuk tak jatuh hati padanya. Apa mau dikata, seiring pertemuan sebuah percikan asmara mulai tumbuh dan aku takut untuk jatuh padanya, karena ku takut, aku akan bertepuk sebelah tangan, akhirnya aku memutuskan pergi ke Amerika untuk menerima pekerjaan disana. Mencoba melakukan penghindaran. Aku sengaja tak memberikan atau melakukan contact apapun pada mas Manyu. Tak lebih dari 6 bulan aku kembali ke Indonesia untuk liburan. Dan malam aku pulang, malam itu juga aku mendapat kunjungan serta lamaran dari mas Manyu. Lajang berusia 28 tahun yang paling digilai perempuan itu memintaku menikahinya! Hal itu adalah hal tergila yang pernah terjadi dalam hidupku. Matanya yang sendu, pelukannya yang erat, pelukan yang menyiratkan kehilanganku. Oh, aku sungguh jatuh cinta padanya, aku tak dapat mengelak lagi, dan akhirnya aku tahu ia juga mencintaiku. Aku lebih dari bahagia. Tangisku pecah, kudekap ia erat. Dalam peluknya aku dengar ia berkata, ia tak ingin kehilanganku lagi. Aku terisak, mengiyakan lamarannya.

Aku tak melanjutkan lagi karirku. Karena aku tak ingin kehilangannya, aku memilih menemaninya. Dan disinilah aku, hari ini menikahinya …

***

Sungguh bersamanya tiada hari tanpa bahagia. Maksudku bukan layaknya buncahan besar, namun hanya buih-buih lembut yang membelai kehidupanku. Begitu nyaman di dekatnya. Dan aku amat bersyukur tentang hal itu.

Aku membantu ibu mengurus beberapa cabang toko. Teman-temanku heran, kenapa aku masih bekerja. Kan kamu sudah jadi Dayu yang dinikahi konglomerat ujar mereka. Memang jumlah nol di rekening suamiku terbilang fantastis. Namun, aku bukannya tipe istri pajangan, yang suka menghabiskan waktu dengan merawat diri, berbelanja, bergosip dan malas-malasan saja di rumah. Dan aku senang, karena aku punya hal untuk dikerjakan, karena jika berdiam diri saja di rumah, aku akan bosan setengah mati.

Namun bukan berarti aku tak merawat diri. Sebagai perempuan aku tahu kodratku. Aku juga tak ingin kalau mas Manyu, merasa kecewa karena melihat istrinya kumal! Jadi sesekali aku pergi merawat diri. Atau sebisa mungkin di rumah kulakukan perawatan wajah ala kadarnya, berolahraga, dan sesekali berdiet. Kenapa sesekali? Oh, kalau ibu kalian seorang pembuat kue-kue yang lezat, kalian akan tahu bagaimana rasanya godaan itu…

Aku juga belajar memasak. Kata pepatah dulu, dari perut turun ke hati. Kadang aku terkikik, sebenarnya itu adalah salahsatu usaha penghematan juga! Terbukti kami berdua jarang jajan di luar. Aku lebih suka berinvestasi di berbagai prodak keuangan daripada menghabiskan uang untuk segala fine dining yang kadang tak masuk akal harga per-setnya. Well, kelihatannya bakat menjadi ibu-ibu pada diriku tumbuh sendiri.

***

Bicara menjadi seorang ibu, aku butuh tiga tahun untuk menjadi perempuan yang sempurna. Selama tiga tahun pernikahan, terasa seperti tahun-tahun pacaran bagiku bersama mas Manyu. Dengan perbedaan umur empat tahun, aku tak merasa begitu sulit untuk masuk ke dalam cara berpikirnya.

Pada ulang tahunnya yang ketiga puluh satu, aku membungkus test-pack dengan hasil positif untuknya. Matanya yang jernih, membesar seakan terbelalak tak percaya dengan hadiah yang kuberi. Ia menciumku berkali-kali, mencium perutku juga, tempat dimana anak kami akan tumbuh.

Merawat ibu hamil tak membuat ia lelah. Ia sigap dan siaga menjagaku. Walaupun aku jadi lebih cerewet dan senewen, ia masih menjadi lelaki yang sabar.

Dan lahirlah Bhagaskara, putra kami. Ia begitu mirip denganku, kecuali kulitku. Setidaknya ia mewarisi gen bapaknya, dan sangat tepat. Aku masih berstigma layaknya masyarakat Indonesia pada umumnya, yang kulitnya tidak gosong itu lebih cantik atau tampan!

***

Sudah sewindu umur pernikahan kami. Bhagas sudah lima tahun. Aku tak menyangka ia akan tumbuh secepat itu. Tak terasa aku sudah harus mempersiapkan sekolah dasar untuknya.

Mas Manyu makin sibuk. Jam kerjanya mungkin dapat dibilang 27 jam sehari. Dia bekerja amat keras. Tiap kutanya mengapa ia begitu gencar, katanya saat ini adalah saat yang tepat unutk melakukan ekspansi perusahaan. Banyak investor yang mau mendanai proyeknya. Aku hanya dapat mendukungnya. Walaupun sebenarnya aku sangat rindu hadirnya di rumah. Tertawa bersama, menghidupkan lagi hari-hari bersama. Tapi aku menghibur diri, mungkin inilah saatnya ia sibuk, aku pikir akan ada saatnya kami bisa berkumpul bersama lagi.

Namun sebagai seseorang yang sudah lama tinggal bersamanya, aku bisa merasakan ada gelagat aneh nan tak wajar padanya. Aku lebih dari hafal aroma tubuhnya, namun lebih dari sekali kucium aroma tubuhnya bercampur wewangian wanita. Aku tak berani memikirkan lebih jauh. Aku masih berpikiran positif bila mungkin itu hanya parfum yang tak sengaja menempel waktu ia berada bersama klien-kliennya. Aku tak tahu, namun herannya wewangiannya hanya sejenis…

Perangainya juga tak lagi sama. Ia menjadi tak sabaran, dan amat buru-buru jika pergi ke kantor di pagi hari. Ia tak lagi sarapan bersamaku. Ingin aku memakluminya, ingin sekali, tapi rasanya sedih tak dapat kutolak dari dalam hatiku. Namun Bhagas selalu menemaniku, itulah yang menguatkanku tiap hari saat aku merasa hariku berat. Aku amat menyayanginya, dan aku tetap ingin kami menjadi satu keluarga yang utuh.

***

Saat ulang tahun mas Manyu yang ke tiga puluh enam, aku ingin sekali memberinya kejutan. Seperti saat aku mengejutkannya dengan kehadiran Bhagas dalam perutku. Tapi apa kejutannya? Aku berpikir keras. Akhirnya aku memutuskan untuk memasak masakan kesukaannya dan membawa strawberry cheese cake ke kantornya. Aku tak sabar mengejutkannya. Aku terus tersipu membayangkan wajahnya. Ini kali pertamaku untuk mengendap-endap dan memberinya kejutan.

Aku berpakaian dengan dress selutut berwarna biru muda yang cantik, memakai untaian gelang perak di pergelangan tangan kananku serta memakai pump shoes putih yang terasa timeless untukku. Aku bercermin dan aku tertawa karena aku berdandan seperti remaja yang ingin pergi berkencan.

Aku diantar oleh pak Gatot, supir pribadi kami yang sudah bekerja bertahun-tahun di keluarga mas Manyu. Aku mengecek berbagai persiapan dan aku rasa sudah semua. Dewi dalam batinku bergejolak gembira, aku yakin mas Manyu akan kembali hangat pada kami.

Ruang kerja mas Manyu di lantai dua puluh satu. Aku agak kerepotan dengan barang bawaan, walaupun sudah kumasukkan dalam keranjang piknik, tetap saja berat! Aku tak sabar dengan suara buka tutup liftnya, aku ingin segera sampai. Ting! Ah, sampai juga. Aku bergegas ke bagian resepsionisnya, namun perempuan itu melarangku untuk langsung masuk ke ruangan suamiku. Aku ngotot, karena ingin memberi kejutan, aku langsung masuk ke dalam ruangan.

Namun bukannya pemandangan mas Manyu yang sedang sibuk mengetik ataupun setidaknya melakukan percakapan lewat telepon. Aku melihat hal yang tak senonoh. Aku merasa dingin yang hebat menjalar dari ujung kakiku sampai keseluruh badanku. Bibir perempuan itu ada di wajah mas Manyu. Apapun tentangnya berantakan. Aku kelu. Mas Manyu menghardik perempuan itu keluar. Aku tak merasa memilki tenaga. Mas Manyu berceloteh, bibirnya tak henti bergerak, aku tak dapat mengerti apa yang sedang ia ucapkan. Aku bahkan tak ingin melihatnya. Ia mencoba memegang tanganku. Aku merasa jijik, aku teriak terisak di depan mukanya untuk melepaskan tangannya dariku. Tangannya. Tangannya yang baru saja melingkar pada perempuan jalang itu. Aku bergidik ngeri. Aku lari keluar. Segera masuk ke dalam lift. Dan tergugu hebat di dalamnya.

***

Sudah dua minggu peristiwa menjijikkan itu terjadi. Aku dan Bhagas pindah ke rumah ibu dan bapakku. Aku tak sudi lagi melihat, oh tidak, hanya mendengar namanya saja hatiku bagai terajam. Pedih.

Aku tak ingin lagi menyalakan ponselku. Aku hanya dirumah saja. Ibuku yang mengantar Bhagas sekolah. Aku seperti orang linglung. Aku sangat terpukul. Aku tak ingin bertemu siapapun. Tapi aku tak lagi menangis. Rasanya surut sudah berhari-hari.

Aku telah memberinya segalanya. Mengorbankan apa yang kupunya. Lalu ia menghancurkannya begitu saja dengan bola besar dan menghantam apa yang telah kubangun. Oh, aku marah sekali. Untuk apa dulu ia susah-susah mengejarku bila ia hanya ingin menyelingkuhiku. Dan untuk apa aku memabangun semua. Dan banyak tanya “untuk apa” yang kutanyakan dalam diriku yang tak mungkin ada jawabnya. Aku meneriakinya berengsek, bajingan, jalang apapun semua kata kasar dalam hatiku. Aku hanya tidur dan tidur untuk mengurangi apa yang bernama sakit dalam hatiku.

***

Aku pergi ke psikiater atas anjuran ibuku. Aku lebih dari terguncang. Pernikahan yang kujaga, malah dipatahkan sendiri oleh imamnya. Aku butuh ruang bernapas, lepas dari sakit.

Beberapa terapi yang diberi oleh psikiater itu terbukti menenangkanku. Aku bisa kembali memeluk dan mengobrol dengan Bhagas. Aku lihat pada matanya yang rindu diriku. Aku begitu sedih sampai meninggalkannya. Dan aku berjanji pada diriku untuk cepat lepas dari belenggu.

***

Minggu sore yang tenang, ibu mertuaku datang. Untungnya aku sudah merasa lebih baikan. Tapi aku tetap tak bisa menyambutnya dengan sekedar senyum.

Aku memiliki hubungan yang baik dengan ibu mertuaku. Ia juga menyayangiku layaknya anak kandungnya. Ibu mertuaku bertanya tentang kabarku. Dan basa-basi tentang kabar Bhagas dan entah hal lainnya.

Dan tiba-tiba ibu mertuaku bercerita, tentang perempuan dalam pernikahan yang diibaratkan dengan sebuah pohon. Katanya, sudah selayaknya yang paling tabah dalam pernikahan adalah perempuan. Bisa saja dedaunan gugur, namun janganlah jadi pohon yang mati. Tunggulah, tunggu musim berganti. Sebagai pohon, tak dapat berpindah. Tunggulah, jaga batang tetap kokoh, rengkuh dahannya sampai berbuah. Begitu katanya, kulihat matanya berlinang. Ibu mertuaku terisak, meminta maaf atas perbuatan mas Manyu padaku. Aku terkejut, maksudku, ini bukanlah salahnya. Aku memeluknya tulus. Aku tahu, ibu mertuaku juga merasakan hal yang sama sepertiku.

Perempuan di depanku bukanlah sembarang perempuan. Ia bagai beringin yang kokoh. Aku tahu, ayah mas Manyu punya tiga istri. Ibu mertuaku adalah istri pertama. Dan ia masih tetap dalam ikatan pernikahan. Begitulah prinsip yang ia jaga.

***

Namun bagiku masalah ini bukanlah tentang dedaunan yang gugur  dan akan tumbuh kembali. Sungguh masalah ini telah mencabuti akarku. Mengebiri bulu-bulu halusnya. Melandaikan dan menghaluskan batangku, sehingga mau ditanam lagi jelas aku tak dapat tumbuh.

Aku tak dapat memaksakan apa-apa lagi. Bersama cintaku kepada Bhagas, aku memilih kehidupan baru. Aku mengirim pesan singkat untuk mas Manyu, aku memintanya untuk mengurus perceraian secepatnya. Ia memintaku untuk bertemu dengannya, aku jelas menolak. Dari suaranya terdengar sejuta penyesalan, tapi semua sudah terlambat. Tak ada lagi yang tersisa. Rasaku sudah terbumi hanguskan untuknya. Asat tak bersisa.

***

Aku pernah jadi pohon, namun kini tanpa akar, yang lamat kemudian berubah menjadi sebiji benih, yang memilih untuk ditiup angin, membawaku ke tempat baru dimana aku akan tumbuh. 


-
A. Anindita
22:56
20/02/14





Share:

Rahasia Rencana Cinta

.


http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/02/20/putih-abu-dalam-harapan-palsu-633478.html





Siang itu Putri sedang makan siang di kantin sekolah bersama teman-temannya ketika tiba-tiba datang segerombolan peserta didik kelas XII dengan angkuhnya. Mereka sudah terkenal di sekolah dengan sebutan Geng Brody. Nama itu memang diambil dari nama ketua geng mereka, yaitu Brody Michael Williamson. Ya… nama itu memang terdengar tidak seperti kebanyakan nama anak asli Indonesia. Orang tua Brody memang blasteran Amrik dan Aussie. Namun, keduanya sudah lama tinggal di Indonesia. Brody dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, tepatnya di Cikarang. Kota yang penuh dengan kesibukan pabrik-pabrik dalam kawasan industri terbesar — kawasan industri JJ (Jababeka Jurong) — di Indonesia ini merupakan tempat Brody terbentuk mental dan karakternya.

Ayah dan ibu Brody adalah General Manager di dua perusahaan asing yang berbeda. Mereka ditempatkan di Indonesia oleh perusahaan induk di negaranya masing-masing. Ayah Brody berasal dari Amerika, tepatnya kota New York, sedangkan ibunya berasal dari Australia, tepatnya di kota Sidney. Mereka berdua bertemu di Indonesia dan menikah hingga akhirnya mendapatkan anak yang diberi nama Brody. Sejak lahir itulah, Brody tumbuh besar di Kota Cikarang yang “ganas”. Ia besar menjadi remaja yang selalu ingin menang dalam segala persaingan. Tak peduli cara yang harus dilakukannya, pokoknya dia harus mendapatkan apa yang dia inginkan.

***

Putri yang sedang asyik menikmati makanan favoritnya, yaitu nasi goreng sosis spesial, terganggu oleh ulah Brody yang tiba-tiba menyemprotkan saus tomat ke punggungnya. Kontan saja putri marah dan melempar piring berisi nasi goreng ke wajah Brody. Perkelahian hampir tak terhindarkan, namun pedagang-pedagang kantin yang sudah siap sedari tadi langsung memegangi Brody. Sementara teman-teman putri pun menahan dirinya agar tak berbuat lebih jauh. Para pedagang di kantin itu sudah paham dengan watak Putri dan Brody. Jika mereka berdua berjumpa, sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi. Ya, tepat seperti kejadian hari ini.

Setelah keduanya berhasil dipisahkan, suasana pun kembali tenang seperti biasa. Tentu saja Putri dan Brody sudah tidak lagi berada di kantin. Setelah pertempuran sengit seperti itu, biasanya mereka berdua akan saling menjauh. Putri menuju ruang ekskul tari dan menghabiskan jam istirahatnya di sana. Setelah kejadian pertempuran seperti hari-hari sebelumnya, teman-teman Putri selalu membelikan makanan bungkusan untuknya. Selanjutnya Putri akan menghabiskan makanan itu dengan tenang di ruang ekskul tari, jauh dari gangguan Brody.

Lalu ke mana biasanya Brody menjauh? Seperti halnya Putri, Brody pun menuju ruangan ekskulnya, yaitu ekskul panjat dinding. Di ruangan ini dia menghabiskan waktu istirahatnya sambil mendengarkan musik rock yang disetelnya dengan volume maksimal dan berjingkrak-jingkrak seolah berada dalam konser musik. Tentu saja guru-guru yang mengetahui hal ini akan menegurnya. Tetapi, setelah sang guru berlalu dan cukup jauh dari ruangan ekskul, Brody akan kembali melakukan aksinya.

***

Mereka yang tidak mengetahui kisah kasih Putri dan Brody, tentu saja akan sulit memahami kelakuan pasangan ini. Tapi, hampir semua siswa dan siswi di sekolah itu tahu kisah cinta mereka. Bahkan, para guru dan pedagang kantin pun mengetahui dengan jelas sejarah kehidupan asmara mereka berdua. Keduanya adalah pasangan yang “aneh” bagi sebagian orang. Namun, bagi sebagian yang lain, mereka adalah pasangan serasi. Sebenarnya mereka dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Keduanya selalu tampak sangat mesra di sekolah. Ke manapun mereka pergi selalu berdua, bagaikan perangko yang menempel pada amplop surat. Tentu saja hal ini diketahui oleh hampir seluruh penghuni sekolah. Kedekatan mereka ini selalu menjadi perhatian para guru. Jika mereka bertindak agak berlebihan dalam berpacaran, tentu saja guru-guru langsung menegurnya dan mengingatkan mereka.

Kisah cinta mereka berjalan semenjak MOS dimulai. Pada saat itu, Putri dan Brody adalah siswa dan siswi baru di sekolah. Mereka berdua kebetulan mendapatkan hukuman yang sama. Keduanya diminta untuk menghormat bendera Merah-Putih selama 2 jam karena sama-sama terlambat datang ke sekolah. Entah bagaimana ceritanya, pada kegiatan MOS hari itulah hanya mereka berdua yang terlambat datang ke sekolah. Hukuman itu mereka jalani, tapi tentu saja dengan sedikit obrolan perkenalan. Selama 2 jam itulah terjadi awal mula kisah kasih mereka di sekolah.

Hubungan mereka diwarnai dengan cerita putus-sambung beberapa kali. Hingga akhirnya setelah kenaikan kelas X, keduanya benar-benar putus dan tak pernah lagi terlihat bersama. Sebulan, dua bulan, hingga tiga bulan mereka berpisah. Banyak orang yang mengira bahwa mereka akan jadian lagi, tetapi ternyata perkiraan mereka semua salah. Putri dan Brody benar-benar berpisah dan tak pernah lagi berpacaran. Sejak itulah “perang dunia” antara kubu Putri dan Brody sering terjadi.

Beberapa teman Putri dan Brody yang tidak terlalu akrab tentu saja bingung dengan hal ini. Termasuk di dalamnya yaitu para guru dan pedagang kantin di sekolah yang juga heran melihat perubahan sikap mereka berdua. Bagi kebanyakan penghuni sekolah itu, Putri dan Brody dianggap sebagai satu-satunya pasangan yang paling awet dan tampak paling serasi. Mereka adalah perpaduan antara kecantikan-kecerdasan-bakat istimewa seorang gadis dengan ketampanan-kegagahan-keberanian seorang pemuda. Hanya teman dekat Putri dan Brody-lah yang mengetahui alasan perpisahan ini.

***

Pada hari terakhir Ujian Semester Genap, Brody yang biasanya pulang mengantar Putri, tak terlihat batang hidungnya. Putri yang kebingungan mencari Brody akhirnya menghubungi satpam yang berjaga di gerbang sekolah. Menurut penuturan Pak Satpam, selepas ujian semester itu Brody langsung tancap gas mengendarai motor Ninja 250 cc miliknya. Entah pergi ke mana. Masih menurut pengakuan Pak Satpam, sebelum pergi Brody terlihat menelepon seseorang dan sepertinya dia janjian untuk menjemput seseorang yang berada di ujung telepon itu.

Putri yang mempunyai firasat kewanitaan yang cukup kuat, cepat tanggap dan segera mengambil kesimpulan. Sebelumnya memang dia sudah pernah mendengar selentingan kabar bahwa Brody sedang mendekati gadis cantik kelas X di sekolah lain. Putri yang sudah mendapat info mengenai lokasi sekolah yang dimaksud segera menyadari bahwa dia harus mengambil tindakan. Tanpa banyak basa-basi, Putri segera mengajak sahabat-sahabat dekatnya untuk menuju sekolah tersebut. Mereka pun akhirnya tancap gas menyusul Brody.
Sesampainya di sekolah yang dimaksud, Putri tidak langsung masuk dan mencari Brody. Dia menanti di gerbang sekolah itu sambil mengamati motor-motor yang terparkir di depan sekolah. Benar dugaan Putri. Motor Ninja milik Brody terlihat di antara motor-motor itu. Tentu saja Putri mengenali motor tersebut, yang sehari-harinya digunakan Brody untuk mengantar jemput Putri pergi-pulang sekolah.

Putri mencari posisi yang tepat untuk mengintai dan menunggu Brody keluar dari sekolah tersebut. Tak berapa lama kemudian muncullah sosok Brody yang menunggangi motor Ninja kesayangannya itu. Sekali lagi dugaan Putri benar. Brody membonceng gadis cantik yang selama ini sering digosipkan sedang dekat dengannya. Dengan sigap Putri segera mengeluarkan ponsel miliknya dan mengarahkan kepada Brody. Jepret, jepret, jepret! Putri mendapatkan barang bukti.

Keesokan harinya Putri menemui Brody di kelasnya dan tanpa basa-basi langsung menyodorkan foto-foto yang didapatnya kemarin. Tak banyak ocehan yang keluar, selain caci-maki dan sumpah serapah yang mengalir deras dari mulutnya. Namun, pada bagian akhir dari perang mulut itu ada satu kata yang diucapkan Putri yang sangat jelas dan pasti didengar oleh seluruh isi kelas: PUTUS!!!

***

Hari demi hari berlalu. Minggu dan minggu berikutnya terlewati dengan hampa. Bulan menyusul bulan selanjutnya dengan keengganan seperti lesunya kehidupan Putri setelah ditinggalkan Brody. Kehidupan mereka berdua terpisahkan oleh jarak dan waktu. Brody yang berbeda kelas dengannya tak pernah lagi mengunjungi kelas Putri. Kalaupun mereka bertemu, kejadian selanjutnya sudah bisa ditebak: perang dunia ketiga. Waktu demi waktu sepertinya menjadi milik Brody dan kekasih barunya. Sementara itu, Putri sepertinya berhenti pada satu titik waktu.

Beberapa teman menyalahkan Brody. Sebagian yang lain membujuk Brody untuk meninggalkan kekasih barunya dan kembali kepada sang Putri. Adapun sisanya mengambil sikap tak peduli dengan kisah kasih “cinta anak monyet” itu sembari memasang papan bertuliskan ‘MASBULOH’ di jidatnya. Para guru dan pedagang kantin pun terbelah menjadi kubu yang perhatian dan kubu yang masa bodoh. Mereka yang sayang dan peduli pada Putri selalu memberinya semangat untuk melupakan masa lalu dan tetap tegar menghadapi masa depan. Bagi para orang tua ini, kisah “cinta anak monyet” ini jangan terlalu dirisaukan. Masih banyak hal penting lainnya yang dapat dilakukan oleh Putri.

Bagaimana dengan Brody? Semenjak kejadian itu, Brody memilih menghindari Putri. Kalaupun mereka kebetulan bertemu, kejadian selanjutnya sudah dapat ditebak: perang dunia ketiga. Brody sebenarnya sudah malas bertemu dengan Putri. Sepulang sekolah pun dia tak pernah lagi berlama-lama di sekolah untuk menunggu Putri, melainkan langsung tancap gas motor Ninja 250 cc miliknya untuk menemui kekasih barunya. Brody sepertinya memang telah menemukan pelabuhan baru untuk menambatkan kapal cintanya.

***

Tak terasa setahun telah berlalu sejak kejadian tertangkap basahnya Brody bersama kekasih barunya. Sepuluh bulan berikutnya pun terlewati hingga tibalah saatnya acara perpisahan kelas XII, beberapa minggu setelah UN berakhir.

Putri yang akhirnya mengalah dan pasrah pada keadaan telah mengikuti saran guru-guru yang peduli kepadanya. Dia berusaha melupakan kisah cintanya dan tak mau lagi mengenal pria dalam hidupnya. Dia telah berjanji dalam hati bahwa cukup satu pria saja dalam hidupnya yang menghancurkan harapan cinta masa depannya: Brody! Putri tak mau lagi hancur untuk kedua kalinya. Waktu-waktu luangnya diisi dengan kegiatan belajar, belajar, dan belajar. Putri benar-benar melupakan cinta. Energinya yang tersisa dicurahkan sepenuhnya untuk mengejar prestasi.

Tak percuma usaha yang dilakukan Putri. Sebelum dinyatakan lulus dari sekolah, Putri sudah terlebih dahulu dinyatakan diterima di jurusan Kedokteran Umum, Universitas Indonesia melalui jalur undangan. Semenjak berpisah dengan Brody, peringkat di kelasnya pun semakin meningkat dan tak pernah lepas dari tiga besar.

Pada acara perpisahan itu diumumkan sepuluh nama siswa-siswi peraih nilai UN tertinggi di sekolah tersebut. Nama Putri Cantika Mawangi disebut bersama dengan sembilan siswa-siswi lainnya dan diminta untuk naik ke atas panggung. Hal ini sebenarnya sudah diduga oleh banyak pihak, termasuk teman-teman Putri dan para guru. Mereka memang melihat perubahan yang terjadi pada diri Putri semenjak berpisah dengan Brody. Prestasinya melesat jauh.

Namun demikian, ada satu hal yang tak diduga oleh Putri. Ketika namanya disebut dan pada saat dia berjalan menuju panggung untuk menerima hadiah dari sekolah, tampak pemandangan yang tak dapat dilupakan oleh Putri. Siswa-siswi dan para guru yang hadir segera berdiri dan bertepuk tangan dengan gegap gempita serta ada sebagian siswa-siswi yang bersorak meneriakkan nama putri! Mereka begitu menyayangi Putri.

Di atas panggung Putri bersama sembilan orang lainnya bersiap menerima bingkisan dari sekolah atas keberhasilan mereka mendapatkan nilai UN tertinggi. Tak berapa lama kemudian Kepala Sekolah naik ke panggung dan menyerahkan bingkisan dan memberikan ucapan selamat kepada mereka.

***

Setelah prosesi penyerahan hadiah usai, kesepuluh orang siswa-siswi ini dipersilakan untuk duduk di tempatnya semula. Putri pun berjalan menuju tangga di samping panggung. Namun, sebelum dirinya mencapai pinggir panggung, tiba-tiba muncul seorang siswa yang berlari ke depan panggung dan berteriak, “Putri, tunggu!!”

Siswa ini segera berlari menuju tangga dan naik ke panggung. Putri terbelalak dan terpaku. Sang siswa segera meraih microphone yang dipegang oleh MC dan langsung mendekati Putri. Sambil terengah-engah dia lalu berkata melalui microphone.

“Put, aku sudah lama menantikan hari ini. Aku sudah yakin sejak awal bahwa kamu pasti berhasil meraih cita-citamu selama ini, mendapatkan nilai UN tertinggi dan diterima lewat jalur undangan di jurusan Kedokteran Umum, Universitas Indonesia. Aku sudah sering mendengarmu bercerita tentang cita-citamu ini pada saat kita masih bersama. Aku sadar bahwa hubungan kita pada waktu itu menyita waktu belajarmu. Prestasimu pun agak menurun semenjak kita terlalu sering jalan bersama. Aku menyadari hal itu. Aku tak ingin cita-citamu kandas gara-gara hubungan kita yang banyak menyita waktu belajarmu. Saat aku sadar itulah, aku mencoba mencari cara untuk menjauhi dirimu, tapi kau tak pernah mau berpisah denganku. Akhirnya dengan terpaksa aku merancang sebuah rencana masa depanmu yang sebenarnya aku benci. Aku memutuskan untuk berpisah denganmu dengan caraku sendiri agar kaudapat menggunakan waktu luangmu untuk mempersiapkan cita-cita yang kauinginkan. Izinkan aku untuk pertama kalinya memperkenalnya sepupu jauhku, Winda Sarah Lestari.”

Sejenak semua hadirin terdiam. Tiba-tiba muncullah seorang gadis cantik yang selama ini dibenci oleh Putri. Gadis itu berjalan perlahan ke depan panggung dan kemudian naik ke panggung untuk mendekati Putri.

“Perkenalkan, aku Winda, sepupu Brody,” ucap gadis itu sembari menjulurkan tangannya kepada Putri.

Putri masih terpaku dan tak memercayai apa yang terjadi saat ini di hadapannya. Dengan penuh kebingungan, Putri menyambut tangan gadis cantik yang bernama Winda itu. Sang siswa yang ternyata adalah Brody kemudian melanjutnya ucapannya.

“Winda adalah sepupu jauhku yang kulibatkan dalam rencana masa depanmu. Aku memintanya untuk berpura-pura menjadi pacarku. Aku sengaja bertindak begitu agar kau terpaksa lepas dariku. Hanya dengan cara itulah kau dapat lepas dariku. Sebenarnya aku tak sanggup berpisah denganmu, tapi demi cita-citamu aku rela melakukannya. Tanpa kausadari aku selalu memantau dirimu. Aku juga telah meminta bantuan kepada guru-guru untuk selalu memberi motivasi kepadamu agar selalu belajar, belajar, dan belajar. Aku meminta tolong kepada para guru untuk membuatmu melupakan aku dan fokus mempersiapkan cita-cita masa depanmu. Aku lakukan semua ini karena aku sangat menyayangimu.”

Perlahan air mata Putri terlihat mulai mengalir membasahi pipinya. Brody menatap Putri dan melihat hal itu. Lalu ia melanjutkan ucapannya.

“Kini, setelah semuanya tercapai, aku buka semua yang rahasia yang selama ini aku simpan. Aku katakan sekali lagi bahwa Winda adalah sepupuku. Aku tidak memiliki hubungan apapun selain hubungan saudara dengannya. Di hatiku selama ini hanya ada kamu seorang. Hanya kamu yang aku cintai. Saat ini, detik ini, di hadapan teman-teman semua dan para guru kita, aku memohon kepadamu. Aku mohon kau bersedia kembali kepadaku. Aku sayang kamu, Put.”

Putri tak kuasa lagi menahan tangisnya. Air matanya sudah membanjiri pipinya. Dengan terisak-isak dan suara yang lirih, Putri berkata, “Aku juga sayang kamu, Dy.”

***

=============================
Bekasi, 20 Februari 2014, 02.50 WIB
(Abank Juki)





Share:

Populer di Indonesia

Sahabat Sejati

Informasi Terkini

Populer Bulanan

Populer Mingguan

Kirim Pesan

Nama

Email *

Pesan *

Arsip Blog